Kamis, 08 September 2011

Tikus Kecil Kelurahan

Ketika saya menginjak umur 17 tahun, sebagai warga Indonesia sudah memiliki kewajiban yaitu membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP). Akhirnya saya mengajukan permohonan untuk membuat KTP kepada ketua RT di lingkungan saya.

Ketika saya sedang mengajukan permohonan yang ketika itu di temani ayah saya, ayah saya memberikan uang sebesar Rp.20 ribu kepada sang ketua RT dan seketika itu sang ketua RT langsung mengeluarkan surat permohonan pembuatan KTP yang ditujukan ke kantor kelurahan.

Pada saat itu dalam benak timbul pertanyaan, apakah mengajukan permohonan untuk surat pembuatan KTP harus dikenakan biaya? Bukankah mengambil surat permohonan pembuatan KTP itu gratis atau tidak dikenakan biaya sedikitpun? Itulah pertanyaan yang kerap muncul ketika saya mengajukan permohonan untuk pembuatan KTP.

Tanpa berpikir lagi saya datang ke kantor kelurahan yang ditunjuk, dan saya menuju loket pembuatan KTP. Tidak menunggu lama nama saya dipanggil dan difoto oleh pegawai setempat. Kemudian saya dihadapkan oleh ‘oknum’ yang sebenarnya dia adalah pegawai kelurahan.

Lalu dia dengan wajah yang tidak ramah dan membuat hati saya sedikit kesal, dia bertanya kepada saya dengan pertanyaan, “Kamu punya uang berapa?”. Mendengar pertanyaan itu saya sedikit mengalihkan pertanyaan nya dengan bertanya balik, “KTP saya bisa jadi kapan?”.

Lalu dia menjawab, “Besok saja kesini lagi, pak lurah sedang sibuk!”. Akhirnya saya mengeluarkan dompet saya dengan mengeluarkan uang Rp 20 ribu seraya mengatakan, “Nanti sore saya kembali lagi”. Dan akhirnya saya pulang dan kembali sore hari dan mengambil KTP saya yang telah dicetak.

Melihat kejadian tersebut, sesungguhnya saya tahu bahwa kejadian itu tidak hanya dialami oleh saya. Tetapi dialami pula oleh masyarakat yang ingin membuat atau memperpanjang KTP. Dan ketika ditelusuri, kejadian ini hampir terjadi di setiap daerah di Negara kita, Indonesia. Dalam Perda No 11/DPRD/2010, uang retribusi untuk pembuatan KTP Rp. 15 ribu.

Mungkin kejadian yang saya alami tidak seperti pengalaman beberapa orang yang sampai dipungut hingga Rp 100 ribu. Tetapi jelasnya, uang yang saya berikan pastinya bukan untuk biaya retribusi melainkan masuk ke kantong pegawai lurah yang tidak bertanggung jawab tersebut.

Seperti inilah fakta yang terjadi di Negara Indonesia. Korupsi sudah terjadi dari lingkup yang kecil seperti RT. Mengambil uang yang bukan haknya dan menjadi ‘tikus-tikus’ pengerat memanfaatkan masyarakat yang sedah memiliki kebutuhan. Sudah sepatutnya untuk semua ini di rubah. Memberantas korupsi mulai dari lingkungan yang kecil.

0 comments:

Posting Komentar