Selasa, 13 September 2011

Indonesia, Masalah Politik Rakyat Hingga Pejabat

Mungkin sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat mengenai masalah-masalah politik di Indonesia. Ketika kita menyaksikan berita di televisi, atapun membaca di koran atau internet, mungkin kita akan menyaksikan begitu banyak berita-berita politik di Indonesia yang berhubungan dengan korupsi, sampai dengan kisah cinta para pejabat Negara.

Melongok kasus di beberapa tahun terakhir seperti kasus bank century yang tidak jelas lagi penyelesaiannya, kasus Gayus Tambunan, dan kasus pertengahan tahun 2011 yaitu kasus suap mantan bendahara salah satu partai politik, Nazaruddin.

Oleh karena itu tidak mengherankan sebagian dari masyarakat banyak yang mengatakan bahwa politik adalah sesuatu yang jahat dan kejam. Bahkan ketika saya membeli sepiring makanan khas Jakarta yang bernama “ketoprak”, sang penjual mengatakan kepada saya bahwa politik adalah sesautu yang sulit untuk didefinisikan.

Sesungguhnya pendapat ini dapat dibenarkan dan dapat pula disalahkan. Oleh karena itu ada baiknya untuk mengupas hakikat politik sebelum masuk pada isu politik di negeri kita tercinta, yaitu Indonesia.

Ketika saya mencoba untuk mendefinisikan mengenai politik itu sendiri, sesungguhnya saya merasa sulit untuk merangkai kata-katanya, tetapi pengertian menurut beberapa sumber mengatakan bahwa politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan khususnya dalam Negara .

 Politik dalam arti lain didefiniskan sebagai kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat . Namun di sisi lain, sesungguhnya politik sendiri dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Contoh dalam lingkungan rumah seperti pemilihan ketua RT, atau dalam lingkungan sekolah seperti fungsi OSIS sebagai lembaga legislatif sekolah, dan contoh-contoh lain di lingkungan sekitar yang berkaitan dengan kekuasaan, atau proses untuk meraih kekuasaan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Mungkin itu sedikit definisi yang saya jabarkan mengenai politik.

Jika merujuk pada definisi tersebut, politik merupakan suatu kegiatan yang berarah kepada suatu kekuasaan, khususnya kekuasaan di masyarakat. Tak dapat dipungkiri, Indonesia menjadi suatu Negara yang menyimpan catatan kisah dalam kehidupan politiknya. Di beberapa tahun terakhir, suatu kasus semisal bank century menjadi suatu ledakan yang mengagetkan publik pada saat itu.

Karena memang kasus tersebut tidak juga selesai sampai saat ini. Dan dalam kasus tersebut telah memukul mundur Sri Mulyani dari jabatan menteri keuangan. Bahkan dalam catatan kisah Bank Century telah menyimpan kisah yang mengharukan.

Kisah tersebut merupakan kisah seorang remaja berumur 19 tahun, Alanda Kariza. Kisah ini cukup meledak di dunia maya. Ternyata, kisah Bank Century tidak hanya menggusur Sri Mulyani dari jabatan menteri keuangan, tetapi menggusur cita-cita dan harapan gadis ini.

Alanda mencurahkan isi hatinya di blog pribadinya, Selasa (8 Februari 2011), terkait kasus Century yang telah melibatkan ibunya, Arga Tirta Kirana. Dalam isi “curhat”-nya, Alanda menuangkan kesedihan yang mendalam karena harapan-harapan dia untuk membanggakan ibunya telah sirna.

Hal ini dapat dilihat dalam perkataannya, “jika ditanya apa cita-cita saya, saya hampir selalu menjawab bahwa saya ingin membuat Ibu saya bangga. Tidak ada yang lebih menyenangkan dibanding Ibu menceritakan aktivitas saya kepada orang lain dengan wajah berbinar-binar. Semua mimpi yang saya bangun satu per satu, dan semoga semua bisa saya raih, saya persembahkan untuk beliau” .

Lalu sebetulnya apa masalah yang mengaitkan ibu Alanda tersebut?. Arga didakwa terlibat dalam pemberian kredit pada PT Canting Mas Persada, PT Wibowo Wadah Rezeki, PT Accent Investmen Indonesia, serta PT Signature Capital Indonesia. Ia dianggap tidak melakukan analisa aspek legal terlebih dahulu .

Arga telah melanggar pasal 49 ayat (1) huruf a Undang-Undang nomor 10 tahun 1998 yang berbunyi, “...membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam proses laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank.” Ancaman pidana maksimal dalam dakwaan primer adalah 15 tahun penjara dengan denda Rp 200 miliar . Arga dituntut hukuman 10 tahun penjara dengan denda hukuman Rp. 10 miliar.

Kenyataan tersebut membuat Alanda protes. Dia tidak rela jika ibunya dituntut 10 tahun penjara dan inilah yang membuat dia merasa putus harapan. Ditambah lagi, Alanda merasa bahwa ada ketidak adilan hukum menimbang tuntutan terhadap Robert Tantular (pemilik Bank Century) 8 tahun penjara dan denda Rp. 50 miliar lebih ringan dari tuntutan terhadap Ibunya, Arga Tirta Kirana.

Alanda menganggap bahwa kesalahan Robert Tantular lebih besar daripada ibunya. Maka jika meninjau hal ini, sesungguhnya siapakah yang salah? Siapakah yang sesungguhnya bersalah sehingga merenggut harapan gadis yang sama sekali tidak mengenal hukum dan politik?

Gadis itu tidaklah buta, sepolos apapun, seorang manusia akan merasakan ketika ketidakadilan melanda dirinya. Atau mungkin ini hanya sekedar emosi Alanda saja karena tidak rela Ibunya yang dia sayangi dituntut oleh hukum.

Saya pun menimbang dan mencoba melihat hal ini, sebetulnya ini hanyalah sebagian kecil kasus yang telah mengorbankan orang-orang yang tidak mengerti apa-apa. Dalam benak saya, masalah yang dihadapi Alanda ini adalah kenyataan pahit yang harus dihadapi, dan inilah dampak dari perbuatan-perbuatan ‘jahat’ pihak yang tidak bertanggung jawab.

Ini hanyalah contoh kecil. Indonesia, tanah air kita tercinta telah merekam kejadian-kejadian anak manusia yang berstatus pejabat namun hatinya ‘jahat’.

Di contoh kasus lain yang lebih kecil lagi namun bersifat nasional (terjadi hampir di beberapa tempat) yaitu penyalahgunaan wewenang pada tingkat RT, RW, dan kelurahan. Pernah terjadi yang saya alami ketika saya mengurus KTP ketika saya memasuki umur 17 tahun.

Ketika itu saya ditemani ayah saya mendatangi ketua RT untuk memohon surat pengantar kelurahan untuk keperluan pembuatan KTP. Ketika kami mengajukan permohonan kepada ketua RT, ternyata ketua RT tersebut meminta uang untuk surat pengantar tersebut.

Akhirnya, saya serahkan uang sebesar Rp. 20 ribu dan seketika itu sang ketua RT tersebut mengambil surat pengantar kelurahan dan menandatanginya dan juga meminta tanda tangan ketua RW. Pada saat itu, saya merasa heran.

Apakah untuk mengambil surat pengantar kelurahan harus dengan membayar terlebih dahulu? Bukankah semua itu tidak membutuhkan biaya apapun atau gratis? Ataukah ini hanya kecurangan yang dilakukan pemerintah di lingkungan rumah? Ini menjadi pertanyaan besar dalam pikiran saya. Akhirnya saya melanjutkan proses pembuatan KTP yang sedang saya butuhkan.

Dua hari kemudian, saya mendatangi kantor kelurahan untuk memproses pembuatan KTP. Kemudian saya mendatangi loket pembuatan KTP dengan menyerahkan surat pengantar dari RT. Setelah itu saya menunggu, dan tak lama kemudian saya dipanggil untuk melakukan pemotretan. Setelah pemotretan, saya dihadapkan pada seorang pegawai kelurahan yang mengurus pembuatan KTP. Lalu dia bertanya kepada saya, “Kamu punya uang berapa?”.

Saya pun akhirnya mengalihkan pertanyaan, “KTP saya kapan bisa saya ambil?”. Pegawai tersebut berkata, “Nanti-nanti saja ya, pak lurah sedang sibuk.” Akhirnya saya memahami apa yang di inginkan oleh pegawai tersebut. Kemudian saya mengambil uang Rp. 20 ribu dan menyerakan kepada pegawai tersebut seraya berkata, “Nanti sore saya kembali ke sini untuk mengambil KTP saya”.

Setelah itu saya kembali pulang dan kembali ke kantor kelurahan pada sore harinya. Dan ternyata, KTP saya sudah dapat di ambil dan sudah di laminating.

Melihat apa yang saya alami, ternyata kejadian tersebut tidak hanya saya saja yang mengalami, banyak di orang lain yang mengalami hal serupa dan terjadi hampir di setiap daerah. Dari hal kecil seperti ini membuktikan betapa buruknya praktek politik di Indonesia dengan melihat kecurangan yang terjadi dari pemerintahan tingkat rendah, yaitu Rukun Tertangga (RT) dan kelurahan.

Akhirnya muncul pertanyaan kembali, apakah kecurangan ini terjadi di setiap struktur pemerintahan? Ataukah ini merupakan suatu kebiasaan bangsa yang besar ini?.

Dengan melihat contoh kasus yang terjadi dari yang bersifat kecil sampai yang besar, ternyata ini telah menjadi budaya bangsa ini. Lalu jika semua ini terus berlanjut, apakah bangsa yang besar ini dapat maju? Atau kemungkinan buruk bangsa ini akan mengalami keterpurukan.

Kekuasaan pemerintah yang digunakan tidak pada tempatnya, adalah suatu ketidak adilan yang merugikan bangsa ini khususnya rakyat Indonesia. Ini menjadi tugas seluruh komponen bangsa untuk bergerak memecahkan masalah yang telah menjamur di negeri ini.

Masalah-masalah yang telah menjamur itulah yang dikenal dengan nama korupsi. Menurut Muhammad Ichlas (anggota DPR-RI Komisi XI Dapil Sumbar I), fenomena korupsi di Indonesia dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut.

Pertama yaitu pembungkaman fakta. Muchammad Ichsan mengambil contoh pada kasus penggelapan pajak yang diketahui setelah Susno Duadji (mantan Kabag reskrim Mabes Polri) skandal tersebut kepada Satgas pemberantasan mafia hukum. Dan mungkin masih banyak kasus-kasus lain yang belum tersentuh hukum.

Hal ini terjadi karena terjadi pembungkaman fakta dan tidak adanya transparasi. Semua kasus tersebut masih tebang pilih penegakkan hukum . Kedua yaitu politisasi korupsi. Tindakan korupsi yang terjadi di kalangan pejabat hanya terungkap jika ada “politik balas dendam”. Semua ini terjadi karena tidak adanya nilai keadilan hukum. Hukum yang terbentuk masih lemah dalam realisasinya. Hukum hanya menjadi catatan tertulis yang berupa ‘coretan’ yang tidak berarti apa-apa.

Ketiga yaitu kemiskinan karakter. Kemiskinan karakter para pejabat yang tidak pernah merasa puas. Jika melihat total gaji anggota DPR yang mencapai 50 – 100 juta rupiah, seharusnya tindakan korupsi sudah tidak ada lagi. Namun karena kemiskinan moral sehingga sifat kebinatangan yang tidak pernah puas masih ‘menilap uang rakyat’.

Tak heran jika kemiskinan karakter ini terus berlanjut, akan banyak rakyat yang kelaparan, putus sekolah karena mahalnya biaya pendidikan, dan lain sebagainya. Ketiga factor itulah yang dipaparkan Muhammad Ichsan dalam opininya .

Tidak dapat dipungkiri lagi, Indonesia menjadi Negara yang memiliki tingkat korupsi tinggi karena kasus penyalahgunaan kekuasaan ataupun korupsi terjadi dari tingkat yang rendah hingga tingkat yang tinggi. Dan yang patut disedihkan lagi, korupsi pun terjadi di kalangan polisi lalu lintas yang tidak jujur dalam menilang pengendara yang bersalah.

Dengan istilah ‘uang damai’, mereka melepaskan pengendara yang seharusnya di tilang. Bukankah ini merupakan bukti bahwa moral bangsa ini berada dalam kemerosotan yang sangat pesat. Maka ini menjadi tugas besar bangsa ini, untuk setidaknya mengurangi kecurangan yang terjadi di tanah air ini, Negara Indonesia.

0 comments:

Posting Komentar