Selasa, 28 Februari 2012

Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia

Jatuhnya rezim orde baru yang mengakibatkan terjadinya reformasi politik, belum sepenuhnya menghasilkan perbaikan kehidupan bagi masyarakat Indonesia. Hal ini ditandai dengan munculnya protes, demonstrasi, pendudukan kantor-kantor pemerintah oleh masyarakat yang banyak terjadi di berbagai daerah sebagai indikator dari besarnya ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintahnya. Krisis kepercayaan rakyat terhadap pemerintah seharusnya menjadi evaluasi kinerja pemerintah untuk melakukan pembenahan. Melihat dari kenyataan di Indonesia, reformasi politik tidak cukup untuk memberikan kebaikan bagi masyarakat. Diperlukan reformasi birokrasi khususnya bidang pelayanan publik.

Dalam hal memahami masalah-masalah yang dihadapi birokrasi publik, perlu mengidentifikasi variabel-variabel yang terkait dengannya. Variabel tersebut berupa lingkungan budaya, sejarah dan politik yang ikut membentuk perilaku birokrasi publik di Indonesia. Birokrasi publik tidaklah tumbuh dari ruang kosong melainkan berada pada lingkungan tertentu, sesuai dengan variabel-variabel yang terkait dengannya. Selain dari variabel-variabel yang merupakan faktor eksternal, faktor internal juga menjadi indikator kinerja birokrasi publik. Faktor internal tersebut berupa perilaku pejabat-pejabat dalam birokrasi, yang cenderung berorientasi pada kekuasaan, dan tidak mementingkan pelayanaan publik yang seharusnya menjadi tugas utama bagi birokrasi pelayanan publik. Antara kedua faktor tesebut, tentunya saling berhubungan dimana faktor eksternal banyak mempengaruhi faktor internal. Latar belakang sejarah, budaya, politik banyak mempengaruhi perilaku para pejabat birokrasi.

Misalnya dalam variabel budaya yang berkembang dalam birokrasi publik. Salah satunya adalah budaya paternalisme yang sangat kuat, mendorong pejabat birokrasi untuk lebih berorientasi pada kekuasaan daripada pelayanan, memposisikan diri sebagai penguasa. Menjadikan masyarakat sebagai objek kekuasaan dimana masyarakatlah yang membutuhkan bantuan bukan sebagai kewajiban untuk disejahterakan. Sentralisasi kekuasaan pada pimpinan juga salah satu penyebab rendahnya kinerja birokrasi publik. Pemusatan tersebut didorong oleh struktur birokrasi yang hierarkis, dimana kewenangan penuh ada pada pejabat atasan sedangkan pejabat birokrasi yang berhubungan langsung dengan pengguna jasa tidak memiliki wewenang untuk merespon dinamika dalam penyelenggaraan pelayanan. Semua hal ini pun akhirnya menjadi sumber berkembangnya praktik-praktik KKN. Peluang inilah yang sangat besar dilakukan oleh para atasan dalam struktur birokrasi.

Osborne dan Plastrik (1998) menggunakan metafora biologi untuk menjelaskan mengapa pemerintah dan birokrasinya gagal mengembangkan kinerja pelayanan yang baik. Ada lima DNA (kode genetika) dalam tubuh birokrasi dan pemerintah yang mempengaruhi kapasitas dan perilakunya. Kelima sistem DNA tersebut adalah misi (purpose), akuntabilitas, konsekuensi, kekuasaan, dan budaya. Pengelolaan kelima DNA ini sangat menentukan sikap dan perilaku dari suatu birokrasi dan pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

Ditinjau dari sejarahnya, birokrasi di Indonesia berkembang sejak masa kerajaan sampai dengan reformasi. Pada masa kerajaan, sebagian besar wilayah Indonesia menganut sistem kerajaan yang terdiri atas beberapa kerajaan. Pada sistem kerajaan, kekuasaan tertinggi dan terpusat pada raja atau dapat dikatakan raja sebagai pemegang kekuasaan mutlak. Beberapa ciri birokrasi pada masa kerajaan adalah bahwa tugas pelayanan hanya untuk pribadi raja dan raja berkehendak untuk melakukan apapun terhadap para pejabat kerajaan termasuk kepada rakyat. Urusan pemerintahan yang menyangkut masalah internal kerajaan dilakukan dengan membentuk lembaga-lembaga kementerian, diantaranya kementerian yang mengurusi keuangan kerajaan, dan juga lembaga kementerian yang mengurusi eksternal kerajaan yaitu kementerian yang mengurus masalah tanah dan pemerintahan. Kementerian tersebut dikepalai oleh perdana menteri . Setiap pejabat tinggi kementerian diberikan fungsi militer dimana masing-masing pejabat diberikan prajuritnya sendiri.

Kemudian pada masa penjajahan belanda yang tidak mengubah sistem birokrasi sebelumnya. Corak birokrasi yang tidak berubah secara substansial walaupun adanya pembaruan sistem birokrasi secara struktural. Sentralisasi kekuasaan tetap ada dimana secara hierarkis, kekuasaan birokrasi tertinggi berada pada tangan Gubernur Jenderal Belanda. Jumlah pegawai birokrasi pada masa ini masih relatif kecil dengan alasan bagi Belanda bahwa untuk mengatur masyarakat negara jajahan yang tingkat pendidikannya masih rendah, tidak memerlukan struktur birokrasi pemerintahan yang besar. Walaupun begitu, struktur birokrasi yang efisien ditopang oleh kekuatan militer yang kuat dan profesional. Bagi Belanda, kekuatan militer sangat penting untuk menekan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat yang potensial mengancam kekuasaan politik pemerintah kolonial.

Tidak berbeda dari masa kolonialisme, masa orde baru juga memiliki corak birokrasi yang sama. Rezim orde baru yang menjadikan Soeharto sebagai presiden yang otoritarian. Sentralisasi kekuasaan, hierarki birokrasi yang memanjang tetap dirasakan pada masa ini. Namun, pada masa ini terjadi penyerapan pegawai birokrasi yang sangat besar. Penambahan jumlah pegawai negeri sipil secara besar-besaran pada masa orde baru membawa dua dampak penting. Pertama, penyediaan lapangan pekerjaan di bidang pemerintahan. Pegawai negeri yang tertampung pada akhirnya melampaui kapasitas. Tumbuhnya struktur organisasi baru di berbagai instansi pemerintahan, baik di pusat maupun didaerah. Perekrutan yang terus-menerus dilakukan tanpa memperhatikan kejelasan kriteria, profesionalitas, dan kebutuhan organisasi. Penambahan jumlah instansi yang terus-menerus menyebabkan tidak terciptanya efisiensi pelayanan publik. Kedua, karena jumlah pegawai negeri yang sangat besar menjadikan dominasi birokrasi di segala aspek kehidupan publik. Hampir menyentuh segala aspek kehidupan tersebut menyebabkan masyarakat senantiasa berurusan dengan birokrasi sejak lahir hingga kematiannya. Secara politis, dengan dominasi birokrasi dapat menguatkan kedudukan presiden serta partainya untuk menjadi yang teratas. Dominasi birokrasi sepenuhnya dikuasai oleh Golkar dan militer.

Gerakan reformasi di Indonesia, merupakan harapan baru bagi masyarakat Indonesia untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Reformasi politik yang mengubah rezim otoriter menjadi pemerintahan yang demokratis menjadikan masyarakat lebih bebas untuk menyampaikan gagasan-gagasan. Desentralisasi kekuasaan yang mulai dirasakan sejak gerakan reformasi ini muncul, diharapkan pula reformasi birokrasi di Indonesia. Penghapusan praktik KKN, kemudian perubahan paradigma bahwa kepentingan bagi pelayanan masyarakat adalah yang utama. Namun, reformasi birokrasi ini belum berjalan dengan baik mengingat masih banyaknya praktik KKN, sulitnya mekanisme dalam berurusan dengan birokrasi, masih adanya budaya orientasi kekuasaan, dan lain sebaginya. Semua ini menjadikan keharusan untuk terus menerus diperbaiki oleh pemerintah. Reformasi birokrasi dalam penyelenggaraan pelayanan public bertujuan untuk menciptakan kinerja birokrasi yang lebih profesional dan akuntabel. Masyarakat seharusnya mendapatkan kepuasan total dari pelayanan birokrasi.

Dengan memperhatikan masalah-masalah tersebut, diperlukan untuk mempernaiki kinerja birokrasi pelayanan publik walaupun sangat kompleks dan memiliki dimensi yang sangat banyak. Pengaruh sejarah kebudayaan dan politik dalam birokrasi di Indonesia masih cukup kental. Diperlukan intervensi pemerintah yang tidak hanya mengubah secara struktural birokrasi, melainkan non-struktural yang menuntut nilai-nilai, budaya, dan etika pelayanan yang berbeda serta kelonggaran hubungan hierarki.

Salah satu contoh kebijakan yang dapat menyentuh dimensi-dimensi persoalan penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana dikatakan oleh Agus Dwiyanto adalah customer’s charter yang berarti petunjuk dan referensi bagi birokrat dalam menjalankan tugasnya yang berisi hak-hak yang dimiliki masyarakat dalam suatu pelayanan. Dikatakan bahwa customer’s charter juga sebagai alat publik untuk mengawasi jalannya penyelenggaraan pelayanan serta menempatkan masyarakat pengguna jasa sebagai pusat perhatian dari sistem pelayanan.

Bagi saya, upaya reformasi hanya dapat terwujud manakala kesadaran pelayanan publik dalam setiap birokrat. Nilai-nilai dan budaya birokrasi sejak dulu haruslah digusur atau digantikan dengan budaya yang baru yang lebih mensentralkan pada kepentingan publik. Kepuasan masyarakat adalah yang utama dan seharusnya jika dikatakan secara kasar, birokrasi adalah pelayan dan seharusnya kesadaran utama bagi birokrat adalah menjadi seorang pelayan. Melayani publik dengan baik, memberikan kemudahan, dan dengan ini diharapkan masyarakat Indonesia kembali mempercayai penuh kepada pemerintah.

Daftar Pustaka :
Dwiyanto, Agus dkk. 2006. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

0 comments:

Posting Komentar