Minggu, 05 Februari 2012

Ujian Nasional yang Mencerdaskan

“UN-phobia” (fenomena ketakutan berlebih terhadap Ujian Nasional) bagaikan penyakit menular yang melanda dikalangan pelajar Indonesia . Bagaimana tidak, setiap kali menjelang Ujian Nasional (UN), dapat dipastikan “penyakit” ini diderita oleh kalangan pelajar (khususnya pelajar yang akan mengikuti Ujian Nasional). Untuk mengatasinya, pihak sekolah telah mempersiapkan secara matang, bahkan persiapan tersebut sejak awal tahun pelajaran. 

Berbagai tambahan mata pelajaran, pendalaman materi, tryout sekolah, bahkan menjadi mitra lembaga bimbingan belajar untuk memberikan materi tambahan bagi siswa-siswi yang akan menghadapi ujian nasional. Setiap harinya, para siswa-siswi kelas XII (bagi SMA) ataupun kelas IX (bagi SMP) diberikan materi-materi belajar yang orientasinya adalah menghadapi UN. 

Bagi saya, itu tidaklah masalah. Karena dapat dikatakan Ujian Nasional adalah “pintu gerbang” menuju jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Namun yang bermasalah adalah, sikap berlebihan pihak sekolah yang terlalu memprioritaskan pada persiapan UN. Sikap berlebihan tersebut dapat dilihat dari setiap jam-jam mata pelajaran yang diajarkan oleh guru hanyalah soal-soal UN, bahkan terkesan mengesampingkan mata pelajaran yang tidak di UN-kan. 

Pada akhirnya, siswa tidak mendapatkan pendidikan yang semestinya dari sekolah karena tiap jam mata pelajaran hanya untuk UN. Bahkan yang lebih buruk lagi, guru-guru disekolah menjerumuskan untuk berbuat tidak jujur alias saling mencontek (walaupun hanya sebagian kecil) dengan alasan “lulus 100%”. 

Sungguh hal ini sangat memalukan. Jika seperti ini terus, bagaimana mungkin sekolah sebagai institusi pendidikan mencerdaskan para siswa-siswi yang menimba ilmu. “Mencerdaskan kehidupan bangsa” itu merupakan kutipan dari pembukaan UUD 1945 sebagai tujuan dari pendidikan. Kemudian berdasarkan UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 3, tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab . 

Hubungan mendasar antara tujuan pendidikan nasional dan sekolah adalah bahwa sekolah sebagai pelaksana dari tujuan pendidikan nasional tersebut. Sebagai institusi pendidikan, sekolah berperan dalam pembentukan karakter, akhlak dan moral, serta pembentukan keimanan serta ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Namun sayangnya, karena orientasi sekolah yang “hanya” mementingkan kesiapan siswa menghadapi UN, tujuan tersebut hampir menghilang. 

Ujian Nasional yang Mencerdaskan 

Perlu ditekankan kembali, wacana ini hanyalah opini berdasarkan pandangan pribadi penulis (termasuk penjabaran sikap sekolah terhadap UN). Wacana ini sesungguhnya hanya merubah sebagian kecil penerapan sistem UN. Dalam hal ini, UN tetap dijadikan sebagai standarisasi kelulusan siswa menuju jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Namun, standarisasi tersebut sebagai pemetaan kemampuan siswa/siswi, bukan sebagai penentu mutlak kelulusan. 

Memang betul, persyaratan kelulusan pada tahun 2011 persentase peran sekolah dalam penentu kelulusan lebih banyak dibanding tahun-tahun sebelumnya yang ditentukan hampir mutlak secara nasional . Walaupun begitu, sikap sekolah tetap saja berlebihan dalam mempersiapkan siswa/siswi menghadapi UN. Maksud saya merubah sebagian kecil sistem adalah merubah sudut pandang sekolah dan juga para siswa-siswi terhadap UN. 

Sekolah dan para pelajar perlu disosialisasikan mengenai UN bahwa UN bukanlah penentu segalanya. Pemerintah perlu bekerja “ekstra” dalam menerapkan hal ini. Walaupun wacana ini bersifat normatif, namun bisa saja ini dapat menghasilkan sesuatu yang lebih baik walaupun tidak se-ideal yang diharapkan. Setidaknya, ini menjadi bentuk usaha untuk merealisasikan tujuan pendidikan nasional dan mendidik pelajar menjadi cerdas dan berakhlak mulia.

0 comments:

Posting Komentar