Senin, 08 Juli 2019

Bagaimana Islam Membela Kaum Tertindas?

Perbincangan tentang pembebasan kaum tertindas bukanlah topik yang baru-baru ini saja dibahas. Diskursus ini secara spesifik telah ada sejak kemunculan kritik ekonomi Marx, baik Marxisme klasik sampai dengan era post-Marxisme sekalipun. Premis tentang keadilan dan kebebasan secara terus-menerus menjadi topik utama di dalamnya.

Musuh utama yang dilawan adalah satu: kapitalisme, yang menjadi akar permasalahan ketidakadilan dan alat penindas rakyat miskin. Sampai saat ini, – atas nama globalisasi dan modernisasi – kapitalisme mentransformasi dirinya menjadi kekuasaan hegemonik. Kondisi ini mengakibatkan kapitalisme telah terstruktur secara legal dalam bentuk institusi formal yang menjadi agen-agennya (seperti kemunculan IMF, Bank Dunia, dll).

Kekuasaan yang telah melanggeng ini mampu memberikan pengaruh yang besar terhadap kehidupan sosial, politik dan ekonomi hampir pada sebagian besar negara di dunia. Khususnya di negara-negara dunia ketiga, yang menjadi korban ketidakadilan selalu rakyat miskin yang memang pada dasarnya adalah kaum lemah (musthadafin).

Islam yang dibawa oleh Muhammad bin Abdullah sejak awal bertujuan untuk menghapuskan segala bentuk ketidakadilan yang ada di muka bumi. Bangsa Arab pada era-Jahiliyah (kebodohan) memiliki kebiasaan feodal yang sangat kuat. Dalam catatan sirah nabawiyah, bangsa Arab sebelum kemunculan Islam selalu dijumpai perbudakan sampai dengan permainan terhadap perempuan dengan menjadikannya sebagai properti bagi laki-laki.

Kondisi inipun berubah setelah Muhammad shollallahu alaihi wa sallam membawa Islam dengan menghapuskan sistem perbudakan (walaupun sepeninggalan Nabi, perbudakan tidak lantas langsung hilang, namun semangat penghapusan perbudakan itu telah muncul), memuliakan kaum lemah, mengantarkan seluruh manusia dari kegelapan (min Az-zulumat) kepada cahaya Islam (nuur Al-islam).

Tema-tema tentang aqidah pun salah satunya adalah kesetaraan manusia di hadapan Allah SWT di atas ketaqwaan, bahwa sesungguhnya Allah melihat dari kadar ketaqwaan seseorang, bukan dari harta, tahta ataupun penampilannya (Lihat Q.S. Al-Hujuraat ayat 13). Hal yang fundamental dari itu adalah tidak adanya Tuhan diantara manusia. Tidak selayaknya manusia menghamba kepada sesama manusia.

Apa yang dicontohkan Rasulullah seperti memerdekakan budak, mengecam kemewahan yang tidak peduli terhadap golongan fakir dan anak yatim, menikahi janda-janda miskin – dan lain sebagainya – adalah jelas bahwa kehadiran Islam memiliki semangat bagi pembebasan kaum tertindas. Sikap Muhammad ini ditegaskan pada Q.S. Al-Qashash ayat 5, bahwa Allah memuliakan dan meneguhkan kedudukan musthadafin di dunia.

Belajar Dari Pengalaman Hijrah

Kurang lebih sepuluh tahun umat Islam Mekah mengalami penindasan dari kaum Quraisy yang membenci Islam. Kebencian mereka bukan hanya terletak pada ajaran teologis Islam yang dikhawatirkan akan memecah belah kesatuan kaum mereka, tetapi juga kekhawatiran akan kehilangan posisi politik dan ekonomi yang dikuasai oleh kekuasaan oligarkis yang telah mengakar sejak lama (Supriyadi 2004).

Struktur kelas masyarakat Mekah sebelum peristiwa Hijrah setidaknya terbagi atas dua: kelas penindas Quraisy dan kelas tertindas kaum muslimin. Penindasan kaum Quraisy semakin menjadi-jadi mengingat banyak kaum miskin Mekah yang “diselamatkan” oleh Muhammad dari cengkeramannya dan memperkenalkan sebuah ajaran Islam yang terbilang baru saat itu.

Secara material, dapat dikatakan bahwa ajaran yang dibawa Muhammad ini dianggap oleh golongan penindas Quraisy akan mengancam kedudukan sosial dan politik mereka. Sehingga, kita mengenal dalam sejarah Islam adanya perang antara umat Muhammad dan kaum Quraisy. Perang antara mereka yang penindas dan tertindas ini yang selalu menjadi keabadian sejarah manusia.

Sebagaimana yang dituliskan oleh Marx dalam Manifesto Partai Komunis,

Sejarah dari semua masyarakat yang ada hingga sekarang ini adalah sejarah perjuangan kelas. Orang merdeka dan budak, patrisir dan plebejer, tuan bangsawan dan hamba, tukang ahli dan tukang pembantu, pendeknya penindas dan yang tertindas, senantiasa ada dalam pertentangan satu dengan yang lain, melakukan perjuangan yang tiada putus-putusnya, kadang-kadang dengan tersembunyi, kadang-kadang dengan terang-terangan, suatu perjuangan yang setiap kali berakhir dengan penyusunan-kembali masyarakat umumnya atau dengan sama-sama binasanya kelas-kelas yang bermusuhan” (Karl Marx dan Friedrich Engels 1848).

Puncak pembebasan kaum tertindas adalah saat dimana Muhammad bin Abdullah memindahkan kaum muslimin Mekah menuju tempat yang bernama Yatsrib (Madinah). Peristiwa yang dinamakan Hijrah itu membuahkan hasil yang sangat besar bagi umat Islam, yaitu terbentuknya negara Madinah di bawah kepemimpinan Muhammad.

Di bawah bendera Islam, umat Islam dipersaudarakan (ta-akhi) dan dihapuskanlah segala bentuk perbedaan. Kesatuan atas persaudaraan (Al-Ukhuwah) sangatlah dirasakan oleh kaum muslimin pada saat itu. Melalui ajaran Islam, tidak ada lagi feodalisme dan telah hilanglah sistem perbudakan secara gradual.
           
Peristiwa yang besar ini jika kita hubungkan dengan kebangkitan kapitalisme pasca revolusi industri, akan terlihat relevansinya. Marx mengkritik penghisapan nilai-lebih yang menjadi sumber akumulasi kapital dengan mengeksploitasi kaum yang tidak memiliki alat produksi (rakyat pekerja). Berangkat dari kritik Marx ini – melalui filsafat materialisme dialektika historis – Marx bercita-cita suatu saat kaum tertindas ini akan melakukan perlawanan terhadap penindasnya, merebut kekuasaan atas alat produksi, dan terciptanya struktur masyarakat tanpa kelas.

Mungkin, semangat ini sesungguhnya telah dilakukan pada saat peristiwa hijrah dalam sejarah Islam. Kita akan melihat pola yang sama pada zaman Eropa modern dengan era Mekah di mana dakwah Islam pertama kali dilakukan. Jika pada masa Eropa Modern terjadi penindasan terhadap kaum proletar, begitupula pada era Mekah klasik terjadi penindasan terhadap kaum muslimin. Dalam solusi atas kritik Marx, jawaban untuk tercapainya cita-cita masyarakat komunis adalah perjuangan revolusioner.

Meskipun tidak dapat disamakan sepenuhnya, kita akan melihat sebuah irisan yang menghasilkan reaksi yang sama dari kaum muslimin pada saat itu melalui komando Muhammad. Melalui perjuangan revolusioner, pecahlah beberapa perang kecil dan puncaknya adalah peristiwa hijrah, sebagai pintu gerbang pembebasan kaum tertindas dan membentuk sebuah tatanan masyarakat yang baru.  

Perjuangan Kelas dalam Pan-islamisme

Tan Malaka, seorang tokoh Komunis sekaligus pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia, pada 1922 dalam pidatonya di hadapan dewan komintern menyatakan kritiknya atas keputusan Komunis Internasional untuk menentang Pan-Islamisme. Dalam pidatonya tersebut, Tan Malaka menyebutkan perjuangan kelas melawan imperialisme perlu dikontekstualisasikan dengan kondisi yang terjadi di Indonesia.

Melalui Serikat Islam – setelah muncul SI merah – kelompok buruh dan petani muslim memperoleh kesadaran kelas untuk melakukan perjuangan revolusioner demi pembebasan dari imperialisme Barat. Refleksi inilah yang kemudian menunjukkan bahwa kesatuan umat islam di Indonesia pada dasarnya adalah semangat perjuangan kelas, tanpa mendikreditkan islam sedikitpun. Hal lain yang dapat kita petik hikmahnya adalah justru islam mengajarkan tentang kesadaran kelas dalam jihad menentang kaum penindas.

Dalam pidato tersebut, Tan Malaka mengatakan:

“Saat ini, Pan-Islamisme berarti perjuangan untuk pembebasan nasional, karena bagi kaum Muslim Islam adalah segalanya: tidak hanya agama, tetapi juga Negara, ekonomi, makanan, dan segalanya. Dengan demikian Pan-Islamisme saat ini berarti persaudaraan antar sesama Muslim, dan perjuangan kemerdakaan bukan hanya untuk Arab tetapi juga India, Jawa dan semua Muslim yang tertindas. Persaudaraan ini berarti perjuangan kemerdekaan praktis bukan hanya melawan kapitalisme Belanda, tapi juga kapitalisme Inggris, Perancis dan Itali, oleh karena itu melawan kapitalisme secara keseluruhan. Itulah arti Pan-Islamisme saat ini di Indonesia di antara rakyat kolonial yang tertindas, menurut propaganda rahasia mereka – perjuangan melawan semua kekuasaan imperialis di dunia” (Tan Malaka 1922)
           
Apa yang terjadi di dunia era-modern, umat Islam pun mengalami kemunduran secara ekonomi, politik bahkan secara intelektual. Persoalannya berakar dari penindasan yang tidak hanya secara fisik, tetapi melalui tekanan mental dari hegemoni kapitalisme-imperialisme. Kita dapat melihat perjuangan kelas rakyat Mesir, Suriah, Libanon, Irak, dan negara-negara Islam lainnya, adalah penentangan terhadap imperialisme Eropa.

Tema-tema tentang Pan-Islamisme yang pernah diserukan oleh Al-Afghani pada dasarnya adalah untuk kesatuan umat Islam melalui perjuangan kelas. Oleh karena itu, tanpa kita menelan mentah-mentah tesis Marx yang menolak eksistensi agama, sebenarnya perjuangan agama dengan perjuangan kelas tidaklah bertentangan.

Kesalahan pandangan atau resistensi kalangan agama saat ini terhadap perjuangan kelas biasanya terjadi karena disinformasi mengenai perjuangan kelass dan hasil propaganda Orde Baru berpuluh tahun. Misalnya, pandangan mengenai “agama adalah candu” dari Marx, yang perlu diklarifikasi dari pernyataan tersebut, bahwa pada dasarnya tak ada dalam Marxisme yang menolak eksistensi agama. Yang ada adalah kritisisme terhadap PRAKTEK AGAMA, di mana itu dilakukan oleh penganut agama di masyarakat, bukan keyakinan agamanya, atau keyakinan orang per orang kepada Tuhannya.

Misalnya, seperti kita kritik PRAKTEK kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang Islam. Kritik kita padanya bukanlah kritik terhadap AJARAN ISLAM, tetapi kritik thd PRAKTEK beragama sekolompok orang Islam. Nah, kritik Marx adalah dalam konteks itu. Silahkan lihat Marx dalam “Introduction to A Contribution to the Critique of Hegel's Philosophy of Right. Karl Marx in Deutsch-Franzosische Jahrbucher, February 1844”.

Islam sendiri melalui penafsiran yang telah di-tashih-kan, menunjukkan bahwa ajaran Islam sangatlah komprehensif, termasuk perjuangan sosial-politik melawan penjajahan atas dunia. Dengan begitu, spirit agama dalam aspek sosial dengan perjuangan kelas bisa sejalan, khususnya di Indonesia. Seperti yang pernah diutarakan oleh Tan Malaka di atas.

Bersatulah Umat Islam!

Tren global dapat kita lihat dalam dua poros utama; gerakan islamis dunia dan hegemoni kapitalisme. Dua pertentangan ini terlihat bahwa sesungguhnya kesatuan umat adalah cita-cita bagi tercapainya pembebasan umat manusia di dunia. Diskursus yang muncul pun selalu dihadapkan pada isu-isu terorisme global yang “sengaja” dilekatkan kepada kelompok rakyat pekerja yang beragama Islam untuk mematahkan perjuangan kelasnya.

Sedangkan di satu sisi, melalui klaim atas nama ilmu pengetahuan, kapitalisme global telah menjadikannya sebagai alat untuk dapat mengontrol kekuasaan. Evolusi besar inilah yang menyebabkan rakyat pekerja tertindas tidak mampu berbuat apa-apa, dan alasannya satu: ketidakmilikan aset atas kekuasaan.
           
Maka seharusnya satu-satunya metode pembebasan kaum tertindas dunia adalah melalui perjuangan revolusioner, dan perjuangan tersebut didapatkan melalui jihad dari berbagai aspek; ekonomi, sosial, politik dan budaya. Karena dengannya, kontrol atas kuasa dapat diraih. Selain itu, secara akar rumput pun perlu adanya agitasi dan propaganda bagi rakyat miskin muslim untuk sadar bahwa mereka tidak harus diam dan pasrah, melainkan harus berjuang dan bergerak bersama.

Seruan kesatuan umat dan kesadaran kelas inilah yang akhirnya dapat menciptakan kekuatan besar yang akan mengakhirkan tren kapitalisme global sebagai penyebab utama kemunduran dan penjajahan atas umat manusia.

Diakhir tulisan ringan ini, saya ingin menyerukan: Umat Islam dan kaum tertindas sedunia, Bersatulah!

Al-Haqqumin Rabbika; Falaa takuunanna minal mumtarin.

0 comments:

Posting Komentar