Jumat, 05 Juli 2019

Soal Belajar Agama

Belakangan ini saya cukup sering memerhatikan ceramah para kyai dan ustad di kampung-kampung. Ternyata banyak sekali pesan moral yang disampaikan dengan sangat sederhana, namun cukup mengena di hati saya. Setidaknya kebiasaan ini saya mulai sejak Ramadhan terakhir.

Bukan karena apa-apa. Dulu, ketika SMA, semangat keislaman saya sedang tinggi-tingginya. Meski tidak belajar secara formal, setiap hari saya cukup intensif mempelajari agama terutama dari buku-buku dan kajian. Seminggu sekali saya jauh-jauh datang ke sebuah masjid di bilangan Mampang, untuk belajar tahsin (memperbaiki bacaan Quran). Semangat ini jelas tumbuh karena dorongan lingkungan: saat itu saya sangat aktif di organisasi keagamaan rohani islam sekolah.

Hasilnya? Hafalan Qur'an saya sedikit bertambah. Paling tidak saya mampu menghafal juz 'amma ditambah dengan surat-surat panjang dan berbagai potongan ayat yang relatif panjang-panjang. Bagi orang yang mengenyam pendidikan umum dan bukan santri seperti saya, tentu kemajuan ini merupakan keistimewaan.

Bahkan pilihan fiqih ibadah saya mulai bergeser dari apa yang pernah saya pelajari sejak kecil, meski semata-mata karena didasar pada hadist ini shahih atau tidak shahih. Saya perlahan meninggalkan qunut subuh, cenderung tidak mengangkat tangan saat doa pasca shalat, dan yang pasti celana panjang saya perlahan "naik" di atas mata kaki. Semua ini saya dapatkan dari buku, dan kajian "ilmiah" yang secara progresif saya ikuti.

Di sekolah, secara intensif saya didoktrin: "utamakan dakwah, pentingkan belajar". Benar saja, adagium ini cukup sukses membuat saya rajin belajar. Saya yang dulu anak IPA sangat intens latihan soal, bongkar-pasang rumus, dan berujung pada nilai-nilai pelajaran yang cukup memuaskan, terutama di matematika dan fisika. Buah yang saya dapatkan adalah prestasi juara tiga terbaik di kelas IPA. huehuehue.

Tahun 2009/2010 seingat saya wacana anti radikalisme agama sudah dimulai di sekolah-sekolah. Dan ini saya konfirmasi bahwa memang benar, SETARA Institute sudah memulai riset-riset bertemakan radikalisme dan intoleransi pada 2008, meski belum semasif sekarang.

Waktu itu saya jelas kesal. Bagaimana mungkin ikhwan culun dan kerempeng macam saya ini bisa berpikir radikal. Boro-boro pegang senjata api, motong bawang pakai pisau saja kadang masih gemetaran. Ya paling bantar saya perang virtual depan komputer warnet dengan menjadi Teroris pada game Counter Strike.

Demi "melawan" narasi tersebut, saya berusaha untuk membuktikan anggapan tersebut salah. Saya buktikan bahwa saya bisa menghormati semua guru, upacara bendera di barisan paling depan, bersikap sempurna saat hormat di depan bendera, dan saya berteman baik dengan semua kalangan. Saya tidak pernah menghujat teman-teman saya yang non-muslim, dan saya juga tidak keberatan untuk makan siang semeja dengan mereka. Terkadang saya datang ke rumah mereka, dan saya juga cukup sering mengundang mereka bermain di rumah saya.

Karena memang dasarnya saya tidak pernah diajarkan untuk bersikap intoleran terhadap orang lain. Meski semangat beragama sedang tinggi sekali. seingat saya, saya tidak pernah diajarkan untuk membenci syiah, ahmadiyah, maupun kalangan non-muslim. Yang saya ingat hanya sebatas ungkapan bahwa mereka itu salah dalam pilihan aqidah. Dulu bahkan senior yang menjadi mentor agama saya mengatakan yang intinya: "kita memang harus menyampaikan kebenaran, tapi jangan memaksakannya kepada orang lain karena hidayah itu dari Allah."

Satu lagi adagium yang paling saya ingat sejak SMA: "nahnu du'at, laa qudat (Kita ini adalah da'i, bukan hakim)". Kalau dalam bahasa betawinya kira-kira begini: surga neraka itu bukan punya Bapak elu, jadi jangan sok ngehakimi orang lain bakal masuk kerak neraka.

Lha saya saja baru tahu istilah radikalisme karena wacana media. Dulu memang ibu saya pernah mewanti-wanti soal radikalisme, tapi cenderung saya abaikan karena memang tidak terbukti, setidaknya dari pengalaman yang saya lalui. Kalau saya jadi radikal, mana mungkin saya jadi sarjana dari program studi yang setiap semesternya belajar teori-teori "kafir kaffah", haha.

Tidak. Saya bukan dalam rangka ingin menyombongkan diri. Saya justu ingin mengatakan bahwa ada kesalahan yang dulu saya lakukan. Bahwa saya cenderung sombong terhadap pemahaman agama yang dimiliki saat itu.

Benar saja, dalam hati saya cenderung "meremehkan" nasihat-nasihat para ustad di kampung, setidaknya di lingkungan rumah saya, karena merasa saya lebih baik dari dia. Saya memang tidak menampilkannya, namun guratan hati saya jelas demikian. Tampaknya keangkuhan ini muncul karena merasa kajian yang saya ikuti sudah di level yang lebih tinggi. Bah! padahal bahasa Arab saya saja hanya mentok di ana, antum, akhi, ukthi, syukron. Mana mungkin saya paham kaidah nahwu, sharaf, ushul, fiqih, dan sebagainya.

Atas renungan-renungan inilah kemudian saya sadar. Bahwa saya semestinya bersikap lebih rendah hati, terutama menerima nasihat dan kebenaran yang disampaikan oleh siapapun.

Kembali pada konteks. Bahwa ternyata banyak nasihat sederhana yang sangat mengena kalau kita jeli dalam memerhatikan. Ada satu cerita yang menyentuh dari ceramah tarawih Ramadhan yang saya dengarkan beberapa waktu lalu.

Di atas mimbar sang penceramah mengatakan kurang lebih begini.

"Bapak-bapak, ibu-ibu, kita ini cenderung suka sesuatu yang sifatnya kasat mata. Materialistis bahasa kerennya. Coba saja, kalau misalnya bapak dan ibu disuruh shalat shubuh tepat waktu di masjid dengan hadiah mobil, kira-kira bapak sama ibu bakal ngelakuin gak?"

"Pastiii doong", jawab jamaah kompak.

"Naah, padahal Allah sudah ngasih janji bahwa shalat fajar (shalat sunnah sebelum subuh) itu lebih baik dari bumi dan seisinya". "Lha kok udah tahu Allah ngasih janji itu, masjid kite ini masih sepi-sepi aje?"

Jamaah pun terdiam. Hening.

"Bapak dan ibu, mobil itu nilainya jauuuuh di bawah bumi dan seisinya. Dan Allah bilang shalat fajar itu lebih baik dari bumi dan seisinya".

Jlebb.. Perumpamaan sederhana ini cukup membuat saya merenung. Bahwa Allah telah memberikan kebaikan sebesar semesta raya kepada makhluk-makhluk-Nya, tapi kita justru lebih memilih mobil yang tidak seberapa. Halah.

0 comments:

Posting Komentar