Selasa, 20 Agustus 2019

Sejarah Bukan Sekadar Masa Lampau

Sejarah memang menjelaskan peristiwa masa lampau. Itu tidak dapat dipungkiri. Tapi pertanyaannya, bagaimana sejarah menjelaskan masa kini? Apakah sejarah semata-mata digunakan sebagai pelajaran moral yang jika itu sebuah kesalahan, jangan sampai kita mengulanginya? Istilah lainnya, ‘jangan jatuh pada lubang yang sama’. Atau, jika itu sebuah keberhasilan dan pencapaian, lalu kita harus menirunya? Jawabannya menurut saya, tidak sesederhana itu.

Kenyataannya, ada semacam gap terkait cara kita memahami antara realitas dan dinamika yang terjadi dalam sejarah dengan situasi masa kini. Kita cenderung mengabaikan konteks sejarah terhadap keadaan sosial masyarakat (termasuk politik) kekinian, atau bisa jadi kita tidak tahu bagaimana cara membacanya.

Situasi yang kita hadapi saat ini jelas sangat dipengaruhi oleh lintasan sejarah yang panjang. Lebih penting lagi, lintasan sejarah tersebut seharusnya dipahami dalam konteks yang nyata, bukan sekadar apa yang dipikirkan manusia.

Contohnya begini. Bagaimana kita menjelaskan kemajuan teknologi yang memudahkan hidup kita sekarang? Sebagian kalangan religius barangkali akan menjawab bahwa itu adalah keistimewaan akal yang secara khusus diberikan Tuhan kepada manusia. Premis ini benar, tetapi tidak menjawab pertanyaan. Sebab, teknologi yang kita rasakan hari ini jelas berbeda dengan umat manusia seribu tahun lalu, padahal kita memiliki kualitas akal yang sama.

Sebagian yang lain menjawab bahwa manusia telah berevolusi. Dalam hal ini, evolusi akal manusia adalah keniscayaan karena manusia mampu mengembangkan proses berpikirnya ke arah yang lebih maju. Beberapa ahli biologi melihatnya sebagai proses mutasi genetik yang didasarkan pada rasa ingin tahu manusia yang besar. Sayangnya, pembacaan seperti ini tidak benar-benar menjelaskan sebab-musabab teknologi manusia bisa berkembang begitu pesat.

Inilah pentingnya kita melihat sejarah dalam konteks yang nyata: bahwa manusia memerlukan teknologi untuk memenuhi kebutuhan dasarnya seperti sandang, pangan, dan papan. Sederhananya, manusia akan mencari segala cara untuk memenuhi kebutuhan paling dasar itu, dan obyek materialistis lainnya, yang selanjutnya kita sebut sebagai sumber daya materiil. Karena itulah manusia saling berkonflik yang mengakibatkan munculnya suprastruktur sosial-ekonomi, di mana mereka yang menang jadi dominan.

Perkembangan teknologi justru sangat dipengaruhi oleh konflik dalam sejarah, di mana teknologi itu sendiri dijadikan oleh manusia sebagai alat produksi berbasis kepentingan materiil. Misalnya, manusia mengembangkan teknologi mutakhir ketika masuk di era pertanian, untuk mengkomodifikasi lahan sehingga menghasilkan nilai lebih guna memenuhi hasrat materiilnya.

Begitu pun ketika masuk di era kebangkitan teknologi mesin, ditandai dengan revolusi industri di Eropa, tidak lain adalah untuk mengakumulasikan modal demi surplus nilai. Semakin besar surplus nilai, semakin bagus untuk memenuhi hasrat manusia tersebut.

Apakah teknologi seperti gawai, atau bahkan jasa pelayanan publik seperti kereta listrik, adalah semata-mata karena kebijaksanaan manusia yang berusaha mengembangkan teknologi tersebut demi kebaikan umat manusia? Dengan realitas sejarah, sayangnya tidak demikian. Kecanggihan teknologi kita hari ini juga sangat erat dipengaruhi oleh hubungan produksi berbasis kepentingan materiil.

Maka, penjelasannya jadi seperti ini: Ada sekelompok manusia yang menguasai dan sengaja mengembangkan teknologi karena ingin meningkatkan nilai produksi dan akumulasi modal. Lalu mereka menjualnya kepada kelompok manusia lain yang tidak menguasai teknologi karena kalah dalam konflik sejarah.

Ada hubungan produksi di mana manusia yang tidak menguasai teknologi – seperti kita – harus bergantung pada manusia lain yang menguasainya. Dengan demikian, kita tidak bisa independen atas keinginan kita sendiri. Teknologi yang kita gunakan sekarang sangat bergantung pada hubungan produksinya.

Oleh sebab itu, misalnya, mengapa data privasi kita begitu murah di saat teknologi semakin canggih, yang tentu saja jawabannya karena teknologi yang kita gunakan tidak gratis. Privasi kita digadaikan kepada pihak lain sebagai penyedia teknologi yang ujung-ujungnya digunakan untuk mengakumulasi modal lagi. Muaranya selalu pada hasrat mengejar sumber daya materiil.

Dari pembacaan seperti itu menunjukkan bahwa sejarah bukanlah rangkaian peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba dalam urutan kronologis tertentu. Sejarah tidak dibentuk dari pikiran yang kemudian memunculkan pilihan-pilihan rasional. Bukan pula pola tertentu yang sewaktu-waktu bisa terjadi secara berulang karena semata-mata datang dari gagasan manusia, atau bahkan sesuatu yang memang sudah ditakdirkan.

Sejarah adalah tindakan nyata manusia itu sendiri, yang didasarkan pada hubungan-hubungan sosial di sekitarnya. Tindakan manusia adalah akibat relasi sosial dan politik yang memaksa manusia untuk mengambil pilihan itu. Rangkaian relasi sosial, politik, dan ekonomi yang melingkup dalam lintasan sejarah telah membentuk masyarakat kita hari ini.

Oleh sebab itu, jika di awal tulisan pertanyaan yang muncul adalah, ‘bagaimana sejarah membentuk masa kini?’, jawabannya adalah akibat dari lintasan relasi dalam masyarakat itu sendiri.

Penjelasan di atas memang terlalu paradigmatik dan barangkali sukar untuk dipahami. Tapi perlu disampaikan untuk memecah kebuntuan kita dalam memahami sejarah. Kita harus melampaui pemahaman sejarah dari sekadar penjelasan atas peristiwa lampau, dan pelajaran moral yang menyertainya. Pendekatan sejarah yang saya sampaikan di atas adalah sudut pandang radikal untuk memahami diri sendiri dan masalah yang menyertainya secara fundamental.

Sekarang pertanyaannya, bagaimana kita membumikan pendekatan sejarah yang revolusioner tersebut?

0 comments:

Posting Komentar