Rabu, 11 September 2019

Bias dan Prasangka

Beberapa hari yang lalu saya dihubungi oleh seorang kawan satu angkatan di kampus. Ia memberitahukan bahwa ada junior kami yang masih mahasiswa mengalami kesulitan dalam membayar Biaya Operasional Pendidikan (BOP) -- istilah yang lebih familiar di kampus kami untuk merujuk pada uang kuliah tunggal (UKT). Kawan saya ini bermaksud memimpin penggalangan dana, dan memohon kesediaan kepada saya untuk berdonasi dalam jumlah berapa pun. "Seikhlasnya saja", kurang lebih seperti itu.

Sontak ingatan saya melayang-layang pada peristiwa delapan tahun yang lalu. Tepatnya di medio 2011 saat saya menjadi mahasiswa baru di kampus FISIP UI. Saya merasakan situasi pelik yang sama seperti junior kami: kesulitan membayar uang kuliah.

Jadi, ketika saya dinyatakan resmi sebagai mahasiswa, saya mengurus segala persyaratan administratif, terutama yang berkaitan dengan skema pembayaran BOP. Dengan berbekal arahan dari senior kampus, saya memenuhi persyaratan yang terkumpul dalam sebuah dokumen tebal, lalu segera saya serahkan ke pihak kampus.

Nama skema yang saya ajukan adalah BOP berkeadilan. Sebut saja BOPB. Adanya istilah 'berkeadilan' di sana artinya beban biaya kuliah yang saya bayar akan sesuai dengan kemampuan finansial keluarga. Satu hal yang juga saya ingat adalah, konsep 'berkeadilan' ini bukanlah pengajuan keringanan dari BOP standar yang ditetapkan oleh kampus. Justru skema BOPB ini adalah hak mahasiswa, yang artinya setiap mahasiswa bisa mengajukan skema yang sama.

Awalnya saya yakin bahwa BOPB yang saya ajukan ini membuat beban uang kuliah saya lebih kecil. Saya tuliskan segala kemalangan yang dialami keluarga saya, mulai dari bangkrutnya usaha ayah saya, kontrakan yang sempit, sampai surat keterangan RT dan RW setempat, dalam sebuah dokumen yang tebalnya hampir menandingi ketebalan skripsi.

Hasil penilaian dari kampus membuat saya terkekeh-kekeh. BOPB yang ditetapkan lebih dari perkiraan saya. Karena itulah, saya dan ayah saya menyatroni pihak kampus untuk mengajukan banding. Di dalam sebuah ruangan bak konsultasi pasien dengan dokter itu, ayah saya menceritakan bahwa angka yang ditetapkan itu terlalu berat bagi kami. Dengan berbagai jurus, ayah saya memohon agar angkanya bisa lebih kecil lagi.

Dasar sudah nasib. Pria di depan saya hanya menyarankan agar saya mencicil BOPB saya di semester pertama. Dengan entengnya, pria itu mengatakan kepada ayah bahwa pasti rezekinya akan ada, dan lebih mudah kalau dicicil. Haha. Pria itu memang punya akidah yang lurus: bahwa rezeki itu ada di tangan Tuhan, dan manusia hanya bisa berusaha.

Keluarga saya memang tidak miskin-miskin amat. Tapi itu bukan berarti saya mampu untuk membayarnya setiap semester. Belum lagi di semester pertama, ada tambahan biaya pangkal yang angkanya dua kali lipat dari BOPB yang rutin itu.

Berakhirlah saya dengan kesulitan pembayaran. Cicilan yang ketiga saya macet. Terpaksa saya lapor ke pihak kemahasiswaan fakultas, untuk berkonsultasi atas masalah yang sedang saya hadapi. Dengan berbekal surat pengantar fakultas, saya sambangi bagian keuangan kampus, memohon-mohon agar mendapat keringanan apa pun caranya.

Butuh bolak-balik agar saya bisa menembus birokrasi kampus, yang rumitnya minta ampun. Untung saja pihak kampus akhirnya mengabulkan permohonan saya. Sisa tagihan -- uang pangkal -- dianggap lunas oleh pihak kampus.

Alhamdulillah. Kalimat pria yang saya temui saat mengajukan banding menjadi doa. Meski dalam beberapa semester saya dibuat gelagapan untuk urusan BOPB, nyatanya selalu ada rezeki dari Tuhan sehingga saya bisa melunasinya secara rutin. Tentu saja melalui perantara beasiswa, dan uluran tangan dari teman-teman yang berbaik hati kepada saya.

**

Ada hal yang menggelitik saya dari kasus junior itu. Bukan karena kasusnya, melainkan respons beberapa orang terhadap ajakan penggalangan dana untuk mengulurkan bantuan. Ceritanya, broadcast (BC) penggalangan dana itu juga disebar di beberapa grup WhatsApp (WAG), di mana saya ada di dalamnya.

Ada yang mengatakan, "loh, kenapa dia tidak konsultasikan dulu ke kampus?" Ada juga yang bilang, "Ah, anak jaman sekarang kurang usaha, maunya heboh doang, harusnya yang kayak begini gak perlu tersebar luas." Dan beberapa respons lainnya yang senada.

Tentu orang-orang itu bukanlah makhluk kikir yang tidak mau membantu. Mereka adalah orang yang berbaik hati, apalagi untuk urusan segenting itu. Hanya saja, yang membuat saya gatal adalah, betapa orang-orang ini gampang sekali melontarkan pernyataan yang sarat akan bias dan prasangka.

Orang-orang itu telah meletakkan prasangka yang sebetulnya belum tentu benar. Frasa-frasa seperti, "tidak konsultasikan dulu", dan, "anak jaman sekarang kurang usaha", adalah bentuk bias dan prasangka yang sesungguhnya agak menyebalkan.

Bagaimana jika ternyata, junior itu sudah berusaha bolak-balik ke pihak kampus, namun tidak berhasil? Apakah itu karena kurang usaha dan maunya heboh saja? Saya membayangkan bagaimana jika jurus mohon-mohon saya delapan tahun lalu tidak disetujui kampus. Tentu saya akan bernasib sama seperti junior saya yang satu ini.

Ah, saya tidak mau berkomentar lebih atas komentar-komentar itu. Bisa-bisa malah saya yang terjebak dalam bias dan prasangka karena mengomentari sebuah komentar yang tidak saya ketahui konteks dari orang-orang yang bersangkutan.

**

Bias dan prasangka adalah jebakan. Ia adalah sesuatu yang bisa muncul dari alam pikiran manusia. Dan kita masih sering terjebak pada itu semua, dari unit-unit yang kecil hingga skala kebijakan negara.

Ketika saya aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), ada satu pernyataan yang dilontarkan oleh seorang pejabat kampus mengenai isu kenaikan BOP. Ia mengatakan, "kebijakan BOP yang baru ini sudah kami hitung dengan cermat, dan klasifikasinya sudah sesuai dengan kemampuan mahasiswa." "Kan tidak adil jika orang-orang kaya tidak diberikan angka yang tinggi sesuai kemampuan finansialnya."

Waktu itu saya tidak terlalu ngeh, dan dipikir-pikir pernyataan itu sekarang membuat saya tertegun. Memang benar, jika dibandingkan kampus lain, konsep 'berkeadilan' ini lebih melunakan hati mahasiswa seperti kami yang sangat sensitif untuk urusan biaya kuliah. Bisa dibayangkan jika pihak kampus menetapkan angkanya semena-mena, bisa-bisa kami, para mahasiswa bisa demo besar seperti teman-teman di UGM beberapa tahun yang lalu.

Nah, yang membuat saya tertegun adalah, betapa pernyataan itu sangat sarat akan bias dan prasangka. Dengan konteks dan kalimat yang berbeda, tapi jebakan itu mirip dengan orang-orang yang berkomentar di WAG itu.

Apakah memang benar bahwa perhitungan 'cermat' dan angka-angka itu sudah benar-benar mencerminkan kemampuan finansial setiap mahasiswa? Ada kesan kuat di balik pernyataan itu, seolah-olah isinya: "elu usaha dulu dong, jangan mengeluh duluan!" "Gue sudah kasih angka yang paling murah, lho."

Biasnya di mana? seolah ia tahu nasib mahasiswa dari penglihatan subyektif dirinya. Lalu, prasangkanya di mana? dia sudah menebak terlebih dahulu bahwa mahasiswa pasti bisa membayar, padahal belum tentu demikian.

Padahal, kalau memang benar-benar konsepnya 'berkeadilan', seharusnya mahasiswa-mahasiswa itu dilibatkan secara substantif dalam proses penentuan uang kuliahnya. Bukan ujug-ujug keluar angkanya secara ajaib. Lalu sekonyong-konyong bahwa selama proses perumusan, pertimbangan kemampuan mahasiswa sudah dipikirkan masak-masak.

Dalam biaya kuliah, entah UKT maupun BOP, angka-angka itu dibentuk dari sebuah biaya dasar (student unit cost/SUC). Masalahnya, para mahasiswa itu tidak punya keterlibatan dalam perumusan SUC. Padahal, angka-angka yang muncul dan ditentukan dalam SUC sangat menentukan nasib mahasiswa itu sendiri. Tapi, mengapa para mahasiswa itu tidak dilibatkan?

Atau jangan-jangan, para perwakilan mahasiswa itu juga sudah terjebak bias, dan mengaminkan bahwa kebijakan kampus itu sudah pasti baik untuk semuanya.

Ah, lagi-lagi saya berprasangka.

0 comments:

Posting Komentar