Minggu, 11 Juli 2021

Cara Bunuh Diri, Kapitalisme, dan Kebahagiaan

Kita hidup di dunia yang serba tidak pasti. Banyak orang menjadi ‘gila’ karena kompetisi dalam merebut peluang-peluang kehidupan kian ketat. Kelas menengah perkotaan adalah yang paling merasakan badai tekanan itu. Setiap hari mereka bergelut dengan waktu untuk mengejar produktivitas kerja setinggi-tingginya. Tuntutan pekerjaan membuat kelas menengah kota menghabiskan waktu tiada henti di depan layar komputer dan tumpukan dokumen-dokumen digital. Sesampai di rumah, pikiran mereka tidak dapat dialihkan dari garis waktu media sosial: Instagram, Facebook, Twitter dan platform sosial-teknikal lainnya. Kelelahan saraf-saraf tidak mendapatkan ruang untuk istirahat karena kelas menengah kota tidak henti-hentinya menyaksikan cerita kebahagiaan dari stories maupun feeds orang lain di media sosial.

Sedangkan pada lapisan sosial masyarakat bawah, ketidakpastian hidup juga membuat kelompok yang tidak beruntung ini ketar-ketir. Ancaman pemecatan (PHK) ada di depan mata ketika hasil kerja tidak sesuai ekspektasi. Buruh-buruh pabrik bekerja penuh di lokasi kerja yang sesak dan tidak sehat. Dalam banyak kasus, bos-bos mereka tidak memerhatikan kondisi kesehatan pekerja. Demi mengurangi biaya produksi, rambu-rambu keselamatan seringkali ditabrak. Lagipula kematian pekerja tidak memengaruhi bisnis para bos itu. Selagi masih banyak orang butuh kerja, kehilangan pekerja karena sakit atau bahkan meninggal bukanlah masalah: posisi pekerja itu dapat mudah digantikan oleh pekerja baru lainnya.

Coba saja tengok bursa kerja: ribuan orang mengantre memperebutkan pekerjaan yang jumlahnya terbatas. Calon pekerja harus mempersiapkan daftar riwayat hitup (CV) yang tampak ciamik untuk meraih atensi HRD perusahaan. Banyak CV pelamar yang terseok-seok bak sampah. Diabaikan begitu saja oleh perekrut karena tidak menarik atau tidak relevan dengan kebutuhan perusahaan. Sebagian besar para pelamar tersingkirkan. Sedangkan sebagian yang beruntung diterima. Namun, diterima untuk menjadi pekerja bukan berarti penderitaan akan hilang. Justru, fase penderitaan masuk ke lembar halaman berikutnya.

Banyak laporan para pekerja baru yang ‘dipermainkan’ oleh pasal-pasal dalam kontrak kerja. Para pekerja baru itu, karena merasa telah mendapatkan pekerjaannya dengan susah payah, seringkali tidak membaca isi kontrak kerja dengan cermat. Penyesalan datang belakangan ketika mereka sadar bahwa upah diterima jauh di bawah angka yang dijanjikan. Perusahaan-perusahaan itu seringkali menerapkan aturan tidak adil. Cukup banyak rasanya perusahaan yang menahan ijazah para pekerjanya agar mencegah mereka keluar sewaktu-waktu. Belum lagi strategi perusahaan untuk mendapatkan tenaga kerja murah dengan menerapkan kebijakan masa pelatihan (training) atau magang (internship). Padahal, pekerja yang berada di masa pelatihan atau magang ini mendapatkan beban kerja yang besar. Namun, karena dalih masa pelatihan dan magang, upah yang dibayarkan sangat kecil. Bahkan terkadang tidak dibayar sama sekali.

Memasuki tahun 2020, dunia dilanda kegilaan yang semakin menjadi-jadi: pandemi virus korona. Perekonomian semua negara terpukul telak, termasuk di Indonesia. Pengangguran dan kemiskinan meningkat, serta pertumbuhan ekonomi merosot tajam. Pemerintah Indonesia dihadapkan kegalauan prioritas mana yang harus diselamatkan. Apakah kesehatan, atau ekonomi. Wabah virus korona yang sangat menular mensyaratkan adanya penjarakan sosial. Banyak orang terpaksa harus berdiam diri di rumah. Tetapi justru, pekerja-pekerja fisik di industri manufaktur justru harus tetap keluar untuk bekerja meski dihadapkan ancaman penularan virus bahkan bayang-bayang kematian. Apabila sebelum wabah banyak orang stres, ketika virus korona muncul, jumlah orang-orang yang stres diprediksi semakin bertambah.

Kegilaan memang bisa menyerang siapapun. Tidak jarang kelas menengah atas yang kita anggap sudah hidup berkecukupan, justru ikut-ikutan merasakan stres, cemas, gelisah, depresi, bahkan ada yang muncul rasa ingin bunuh diri. Tentu kecemasan orang-orang kaya ini bukan karena ancaman PHK ataupun imajinasi kemiskinan. Adalah perasaan untuk selalu tampil sebagai juara, pemenang, dan sempurna di mata masyarakat. Perasaan kurang cantik karena kalah dari selebritas lain bisa menjadi faktor depresi. 

Dengan problem mental masyarakat, tidak heran jika buku-buku pengembangan diri laku keras. Sekitar 2016, terbit sebuah buku yang berjudul “The Subtle Art of Not Giving Fuck” karya blogger Mark Manson. Selang dua tahun berikutnya, versi bahasa Indonesia terbit dengan judul “Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat”. Isi buku ini sangat jelas: memberikan saran-saran kepada pembaca untuk menjalani hidup lebih legowo dan tidak stres. Buku ini menjadi fenomenal karena saran-saran yang diberikan sangat berbeda dari kebanyakan buku pengembangan diri lainnya. Seperti judulnya, “bodo amat” yang berarti, pembaca diarahkan untuk tidak perlu memikirkan segala sesuatu. Buku ini mengajak kita untuk cuek terhadap hal-hal yang sejatinya tidak penting dalam hidup.

Saran-saran Manson dalam bukunya memang bukan hal baru. Buku itu terkesan menarik karena si penulis menampilkan narasi yang terkesan anti-hero. Biasanya, buku-buku pengembangan diri menggunakan kalimat-kalimat bijak; terkadang mengutip ayat suci agar semakin paripurna. Tetapi Manson memakai narasi yang awut-awutan. Kalimat yang dipilih juga terkesan sembarangan. Tetapi itu menjadi menarik karena Manson tidak mengajak pembacanya untuk meraih prestasi, melainkan agar pembaca menerima kenyataan bahwa kita semua adalah pecundang. Karena kenyataannya sebagai pecundang, pembaca diajak untuk masa bodo (not giving a f*ck) dari segala ambisi hidup.

Persoalan kesehatan mental masyarakat memang bukan isapan jempol belaka. Selain ukuran-ukuran statistik yang dapat dibaca lewat studi ilmiah, secara sederhana kita bisa melihat indikatornya melalui data pencarian Google. Kenapa data pencarian Google? Jawabannya karena mesin pencari ini seringkali menjadi jalan keluar bagi orang-orang untuk mencari solusi atas permasalahan hidup. Sebetulnya kita juga sering melakukannya. Misalnya, ketika kita merasakan sakit kepala bagian belakang, seringkali kita mencari tahu dengan Googling. Di kolom pencarian, kita ketik “sakit kepala bagian belakang” atau “penyebab sakit kepala belakang”. Setelah tombol enter ditekan, kita ditampilkan dengan jutaan website yang memiliki konten informasi tersebut: ada halodoc, alodokter, hello sehat, dan sebagainya.

Saya kira ini juga berlaku ketika orang merasa cemas, gelisah, depresi, dan putus asa. Kita cenderung melakukan self-diagnostic melalui indikator-indikator yang ditampilkan di internet. Misalnya, ketika kita merasakan kegelisahan dan insomnia; lalu kita mendiagnosis diri kita mengalami depresi atas dasar informasi dari sebuah website atau blog. Padahal, diagnosis hanya dapat dilakukan oleh tenaga profesional, dalam hal ini psikolog atau psikiater. Terlebih pengguna digital di Indonesia telah melampaui separuh populasi penduduk, mengambil asumsi dari data pencarian Google bisa menjadi deteksi awal dari gejala yang dialami masyarakat.

Silakan kunjungi Google Trends. Ketik “bunuh diri”, lalu ubah periode waktu untuk menampilkan datanya dari 2011 hingga pertengahan 2021. Kolom kategori yang ditampilkan adalah “Mental Health” untuk memfokuskan pencarian pada isu kesehatan mental. Kita akan melihat informasi menarik sekaligus mengkhawatirkan. Ternyata, dalam 10 tahun terakhir, terjadi tren peningkatan pencarian untuk kata kunci “bunuh diri” di Google. Memang, Google Trends tidak menampilkan jumlah frekuensi pencariannya secara eksak, melainkan lewat popularitas relatif dengan rasio 0 – 100. Namun, dari waktu ke waktu, pencarian kata “bunuh diri” di Google ternyata semakin populer dicari.

Hal lain yang juga patut diperhatikan adalah variasi kalimat pencarian yang digunakan di mesin pencari Google. Silakan scroll ke bawah, dan kita akan temukan kotak bertuliskan related queries. Dari sini kita akan menemukan fakta mengerikan, bahwa mencari cara untuk bunuh diri cukup populer di mesin pencari Google. Atas dasar motivasi apa orang-orang mengetik di Google, “cara bunuh diri” dan “tips bunuh diri”? Besar kemungkinan, mereka yang mengetikkan kata-kata mengerikan itu berada dalam kondisi yang putus asa, atau setidaknya ada masalah dari kondisi mentalnya.

Walaupun tidak bisa sekonyong-konyong menjadi sandaran, tetapi setidaknya, bukti-bukti otentik itu menjadi temuan awal penting sekaligus alarm masalah kesehatan mental orang Indonesia. Kegilaan macam apa yang membuat mereka terpikirkan untuk mencari tahu cara untuk bunuh diri di internet?

***

Sejatinya kapitalisme adalah biang kerok dari maraknya keputus asaan di tengah-tengah masyarakat. Orang-orang dipaksa untuk produktif, dan mengumpulkan uang guna bertahan hidup. Produktivitas sendiri pada dasarnya adalah untuk menyokong sistem kapitalistik yang mengejar keuntungan sebesar-besarnya. Segala-galanya dijadikan sebagai komoditas, atau hal ihwal yang bisa ditukar di pasar. Mulai dari benda-benda berwujud (tangible) sampai yang tidak berwujud (intangible). Dari hal-hal tidak penting sampai benda-benda alam yang menjadi elemen dasar kebutuhan manusia: air minum, lahan, dan suatu saat bisa jadi oksigen. 

Di kota-kota besar, perumahan dianggap sebagai bisnis dan investasi. Padahal, semua orang butuh rumah, dan oleh karena itu, ia seharusnya menjadi hak setiap warga. Banyak kelas menengah tanggung yang tidak sanggup membeli rumah di kota, mencari perumahan di kawasan satelit karena biasanya lebih murah. Sebagian dari mereka ada yang tetap tidak dapat membeli dan hanya sebatas menyewa, sembari berharap suatu saat terjadi pecahnya gelembung properti sehingga harga rumah merosot. Tapi bagi kelas sosial bawah yang tidak beruntung, memiliki rumah layak kini menjadi mimpi di siang bolong; seperti merindukan bulan di tengah siang.

Sekiranya kita perlu menyapa Karl Marx, dan mendengarkan petuahnya di alinea pertama dari “bibel”-nya yang berjudul Kapital (volume pertama):  The wealth of societies in which the capitalist mode of production prevails as ‘an immense accumulation of commodities’. Perhatikan frasa “the capitalist mode of production” dan “an immense accumulation of commodities”. Artinya, moda produksi masyarakat kapitalistik dicirikan dengan tumpukan yang sangat besar (immense) dari akumulasi berbagai jenis komoditas. Itulah mengapa segala-galanya dijadikan komoditas. 

Banyak orang menjadi cemas, gelisah, hingga depresi karena tekanan hidup akibat persaingan-persaingan tidak masuk akal. Banyak orang berlomba-lomba untuk tampil mempesona. Banyak juga orang berlomba-lomba untuk mendapatkan pekerjaan. Di kota-kota, di mana kapitalisme tumbuh subur, waktu secara tidak langsung menjadi komoditas. Tentu kita ingat pepatah “waktu adalah uang”. Ini bermakna bahwa waktu manusia itu bisa ditukarkan lewat mekanisme pasar. Banyak orang menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengejar target pekerjaan. Ketika tidak tercapai, ada konsekuensi berupa pengurangan upah. Bisa juga sebaliknya: waktu yang digunakan maksimal dapat menghadirkan penghargaan seperti promosi jabatan atau naik gaji. Pekerja seperti kita adalah komoditas yang menukarkan waktu kerja untuk mendapatkan imbalan atau upah.

Semua itu adalah ekspektasi-ekspektasi yang hadir akibat sistem kapitalistik. Banyak orang burnout karena kelelahan kerja, waktu rekreasi yang sedikit, dan tidak ada waktu untuk sekadar santai. Di era masyarakat digital, para psikolog memperkenalkan istilah FOMO, atau fear of missing out: rasa takut ketertinggalan. FOMO ini terjadi karena orang-orang ingin selalu terhubung dengan orang lain, memerhatikan kebahagiaan orang lain, sementara dirinya semakin cemas dan khawatir karena merasa tertinggal. Media sosial menjadi wadah bisu yang memungkinkan terjadinya hubungan-hubungan itu secara real time. Sepanjang 24 jam, akun-akun kita terhubung dengan akun-akun lain. Entah sihir seperti apa yang membuat kita justru merasa gelisah jika tidak melihat Instagram dalam waktu lama.

Terkesan netral, tetapi, media sosial sendiri pada dasarnya juga bekerja pada logika komoditas. Pernahkah terpikirkan oleh kita, dari mana Facebook mendapatkan untung padahal tidak menarik uang dari para penggunanya? Jawabannya adalah dari waktu online yang kita habiskan. Platform media sosial memang dirancang agar penggunanya ketagihan melalui fitur-fitur seperti notifikasi, saran pertemanan, likes, comments, stories, dan lain-lain. Perusahaan digital memiliki algoritma yang mengolah perilaku kita di media sosial. Semakin banyak waktu online kita, semakin banyak data perilaku yang dihasilkan. Data perilaku ini menjadi tambang emas untuk mengukur tindak-tanduk online kita di masa depan. Dari sini, perusahaan digital menjualnya kepada pengiklan, dan mereka mendapatkan keuntungan. Oleh karena itu, catatan perilaku kita di internet adalah komoditas.

Logika kapitalisme digital ini tidak peduli dengan dampak buruknya terhadap kesehatan mental masyarakat. Mereka tidak peduli jika kita kecanduan media sosial. Layaknya pabrik-pabrik yang mengejar target produksi, namun abai terhadap kesehatan pekerjanya. Dalam wilayah kapitalisme, masalah kesehatan mental seperti stres, cemas, dan gelisah tidak menjadi prioritas. Jika Anda gelisah lalu mengganggu produktivitas kerja yang berakibat pada turunnya kualitas hasil, Anda cukup diganti dengan pekerja lain yang lebih siap dan mampu. Anda mati karena bunuh diri, perusahaan hanya akan mengenang Anda dalam sehari. Besoknya, mereka tinggal mencari pengganti Anda untuk posisi yang sama.

Tapi ada yang lebih gila lagi: kapitalisme memanfaatkan masalah kesehatan mental masyarakat untuk mengkreasikan komoditas baru. Di layar televisi, kita disaksikan dengan acara-acara hiburan yang membuat kita lupa akan masalah. Gim-gim canggih dihadirkan untuk menstimulus orang-orang agar kecanduan. Pornografi, yang jauh lebih jahat, menstimulus rasa senang sesaat sembari merusak sel-sel otak penikmatnya. Industri ini bahkan mengkomodifikasi tubuh perempuan, dan melecehkannya ke dalam kekuasaan patriarkis. 

Kapitalisme juga mendikte gaya hidup masyarakat. Merangsang fetish mereka terhadap komoditas tertentu seperti jam tangan branded, tas branded, dan barang-barang tersier lainnya yang secara asasi tidaklah dibutuhkan. Orang-orang dijejali dengan kenikmatan gaya hidup tertentu untuk menciptakan kebahagiaan sesaat. Pada saat yang bersamaan, uang mereka dikeruk guna mendapatkan keuntungan yang besar. 

***

Dengan demikian, bagaimana caranya kita bahagia? Coba simak apa yang dikatakan Yuval Noah Harari, seorang sejarawan, dalam bukunya Homo Deus:

“Kita tidak pernah bereaksi terhadap peristiwa-peristiwa di dunia luar, tetapi hanya pada sensasi-sensasi dalam tubuh kita sendiri. Tidak ada orang yang menderita karena kehilangan pekerjaan, bercerai, atau karena pemerintah mengadakan perang. Satu-satunya hal yang membuat orang menderita adalah sensasi-sensasi tidak menyenangkan dalam tubuhnya sendiri. Kehilangan pekerjaan tentu bisa memicu depresi, tetapi depresi itu sendiri adalah satu jenis sensasi ragawi yang tidak menyenangkan” (p.40).

Pernyataan Harari bahwa penderitaan itu hadir karena sensasi-senasi yang lahir dari tubuh, pada dasarnya senada dengan penjelasan para psikolog. Orang-orang merasa cemas dan gelisah sejatinya bukan karena kejadian di luar dirinya, melainkan dari sensasi tubuhnya yang bereaksi. Sensasi itu adalah manifestasi kerja-kerja biokimia dalam tubuh. Namun yang patut dicatat, sensasi itu tidak akan bereaksi sepanjang tidak ada stimulus dari luar tubuhnya. Kembali apa yang dikatakan Harari:

“Sistem biokimia kita menghadiahi aksi-aksi yang kondusif bagi survival dan reproduksi dengan sensasi-sensasi menyenangkan. Namun, ini semua hanyalah semacam pemikat jualan sesaat saja. Kita berjuang untuk mendapatkan makanan dan pasangan dalam rangka menghindari sensasi-sensasi tidak menyenangkan lapar dan menikmati rasa menyenangkan serta orgasme yang menggembirakan. Namun, rasa enak dan orgasme yang menggembirakan tidak berlangsung sangat lama, dan jika ingin merasakannya lagi, kita harus makan dan bercinta lagi dengan pasangan” (p.42).

Kita memang memiliki gerak alamiah untuk selalu berusaha menghindar dari situasi tidak menyenangkan. Kondisi yang muncul dari sistem biokimia ini pada dasarnya menjadi panduan bagi kita untuk tetap bertahan hidup. Makanya para psikolog menyebut, bahwa stres dalam kadar tertentu diperlukan. Mengapa? Karena ia menjadi alarm agar kita bergegas kembali pada tindakan-tindakan yang tepat.

Sistem kapitalisme telah membuat sistem biokimia kita bekerja jauh lebih keras. Karena ilusi persaingan yang tidak masuk akal, membuat dorongan-dorongan eksternal yang memacu sensasi tidak menyenangkan menjadi jauh lebih banyak. Misalnya, kita risau karena tidak pernah jalan-jalan ke luar negeri, sedangkan lingkaran pertemanan di Instagram menampilkan foto-foto di belahan Eropa. Kapitalisme memunculkan standar-standar tidak logis seperti “cantik itu putih”, “berprestasi itu harus produktif”, “kerja keras itu syarat untuk sukses”, dan ilusi-ilusi lainnya. Padahal, standar-standar seperti itu tidak pernah ada ribuan tahun lalu, dan sengaja dibentuk untuk menyokong moda produksi kapitalisme.

Itulah mengapa insting survivalitas kita terpacu karena banyak standar yang harus dipenuhi agar mencapai identitas otentik yang diakui secara sosial. Sedangkan pada sisi lain, kapitalisme menciptakan ketidakadilan karena banyak orang tidak dapat mengakses kebutuhan dasar. Korban ketidakadilan mendapatkan paling banyak sensasi tidak menyenangkan karena khawatir kelaparan, sakit, dan jatuh pada jurang kemiskinan lebih dalam. 

Namun Harari menjelaskan bahwa mengejar kebahagiaan adalah agenda baru umat manusia di milenium ini. Ambisi manusia untuk mengejar kebahagiaan, bukanlah dengan menciptakan kehidupan yang lebih adil, melainkan memanipulasi sistem biokimia tubuh agar menghasilkan sensasi menyenangkan lebih banyak. Industri-industri farmasi menangkap peluang ini dengan memproduksi obat-obatan anti depresan. Obat-obat ini menjadi ampuh untuk mencegah orang-orang depresi semakin parah. Bahkan obat-obat penenang dikonsumsi oleh orang-orang yang pada dasarnya sehat. Lagi-lagi kapitalisme yang mengambil alih situasi. 

***

Pada akhirnya, kita harus keluar dari jebakan ilusi kapitalisme. Membentuk standar-standar baru yang bisa membawa kebahagiaan. Hal ini karena semata-mata kebahagiaan itu sensasi yang lahir dari fenomena biologis manusia. Kebahagiaan sejatinya berada di bawah kontrol kita.

Memang seharusnya, kita harus kembali pada esensi hidup di mana kerja yang dilakukan adalah untuk memenuhi kebutuhan secara langsung. Kita mengambilnya langsung dari alam, dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan kita dan kerabat terdekat kita. Keadilan harus hadir agar tidak ada lagi orang-orang yang takut lapar dan miskin. Kita membayangkan tidak ada lagi kerakusan, dan semua hidup di bawah solidaritas sosial yang setara. Walaupun tampak tidak realistis.

Satu-satunya jalan yang paling mungkin untuk menciptakan kebahagiaan saat ini adalah dari diri sendiri. Dimulai dari menyeduh kopi di pagi hari, menyiram tanaman, tidur yang cukup, dan menurunkan ambisi-ambisi hidup yang fana ini. Agar jangan sampai, kita ikut-ikutan mencari “cara bunuh diri” di mesin pencari yang tidak punya hati itu.

0 comments:

Posting Komentar