Rabu, 14 Juli 2021

Berhak Tampil Bodoh dalam Demokrasi

Apa yang membedakan antara seorang pakar dan awam dalam berpengetahuan? Jawabannya adalah metodologi: cara-cara terstruktur, sistematis, dan berbasiskan bukti untuk memperoleh pengetahuan. Cara terstruktur dan sistematis itu disebut sebagai riset (ilmiah). Tiap-tiap bidang keilmuan memiliki metodologinya masing-masing. Dari sinilah kemudian kepakaran itu muncul. Ada pakar fisika, biologi, kimia, dan lain sebagainya. Para pakar di masing-masing bidang itu telah menempuh jalan panjang lewat penelitian untuk menarik berbagai kesimpulan, dan tidak sedikit dari sebagian pengetahuan mengalami revisi. Pengetahuan manusia selalu berkembang dari waktu ke waktu.

Beberapa waktu lalu, sempat terjadi perdebatan yang sebetulnya sudah terjadi berabad-abad lalu: bagaimana bentuk planet bumi? Di Amerika Serikat, terdapat kelompok flat earth society yang pengikutnya cukup banyak, meyakini bahwa premis bumi bulat adalah kekeliruan dan kebohongan sains. Mereka berupaya mematahkan dasar-dasar anggapan bahwa bumi berbentuk bulat, dan mengajukan asumsi baru bahwa bumi yang kita pijak selama ini bentuknya datar. 

Lima tahun lalu, akun YouTube FE 101 Channel mengunggah lebih dari 10 episode, ditonton oleh jutaan orang, yang menjelaskan detail-detail mengapa bumi itu berbentuk datar. Tidak hanya itu, video tersebut juga menjelaskan konspirasi dan akal-akalan sains dalam membohongi publik. Menurut mereka, kebenaran sains tidak lebih dari bisnis triliunan dolar yang dikendalikan oleh elit global demi keuntungan segelintir orang. Video-video itu mendapatkan puluhan ribu like dan komentar yang menganggap bahwa penjelasannya sangat rasional dan “ilmiah”.

Anggapan bumi datar yang juga diyakini oleh sebagian masyarakat Indonesia hanya menjadi satu fenomena pergulatan di antara klaim-klaim kebenaran pengetahuan. Para pakar sesungguhnya yang sensitif dan paham betul metodologi merasa resah dan terusik dengan klaim-klaim kebenaran yang dicapai tidak lewat standar baku ilmiah. Salah satunya adalah Tom Nicholes, dalam bukunya The Death of Expertise (terbit 2017) sangat gelisah terhadap munculnya otoritas baru di luar tradisi kepakaran yang berani mengklaim kebenaran. 

Nicholes kemudian masuk ke perdebatan demokrasi yang menurutnya hanya mementingkan representasi warga tanpa perimbangan kompetensi. Demokrasi memungkinkan tiap warga memiliki hak setara untuk berpendapat dan meyakini nilai-nilai tertentu yang dianggap benar. Tidak ada suara otoritatif yang dapat mengklaim satu-satunya kebenaran. Dengan kata lain, kebodohan (hierarki terbawah dari elemen kompetensi) adalah hak dalam demokrasi. Bahkan semestinya tidak boleh mengatakan orang lain bodoh karena tidak ada kebenaran absolut.

Nicholes mempermasalahkan asumsi demokrasi tersebut, karena menurutnya, semestinya para pakarlah yang berhak menentukan kebenaran atas pengetahuan tertentu. Anggapan Nicholes lebih dekat dengan tradisi republik yang berakar dari bahasa latin, yaitu res publica. Res publica sendiri berarti “urusan publik”, yang jika diperdalam, segala sesuatu seperti kebenaran atas pengetahuan adalah untuk kebaikan bersama.

Agar lebih jelas, mari kita ambil contoh penggunaan masker dengan baik dan benar untuk mencegah penularan virus korona. Kalau memakai logika demokrasi, kita berhak untuk tidak memakai masker dengan sejuta alasan. Orang-orang bebas memilih tidak mau memakai masker karena meyakini korona itu tidak ada, seperti Jerinx misalnya. 

Barangkali seperti logika kelompok bumi datar, Jerinx dan pengikutnya meyakini bahwa virus korona adalah akal-akalan kaum elit untuk mendulang keuntungan tertentu. Orang-orang seperti Jerinx mungkin punya klaim tertentu bahwa korona itu tidak ada, atau sebenarnya virus itu hanya seperti flu biasa.

Dokter Lois yang baru-baru ini ditangkap polisi adalah salah satu otoritas baru yang berusaha menegakkan klaim kebenaran ilmiah. Ia meyakini bahwa kematian di RS akibat korona sebetulnya bukan karena infeksi virus itu sendiri, melainkan akibat interaksi obat-obatan. Dokter Lois mengecam RS karena telah memberikan obat-obatan “pembunuh” terhadap pasien. 

Pernyataannya bukan saja kontroversial, melainkan juga tampil bak seorang nabi yang sedang melawan kezaliman. Banyak orang merasa tercerahkan dan menjadi pengikut setia ajaran-ajarannya. Ketika nabi mereka ditangkap, para pengikutnya semakin yakin bahwa mereka berada di jalan yang tepat: bahwa kezaliman terusik dan berusaha menindas kebenaran.

Kembali pada ihwal masker, yang dianjurkan pakar untuk mencegah penularan virus korona. Aktivitas sederhana ini sejatinya berangkat dari usaha sains melalui kerangka metodologis baku. Dari proses riset ilmiah (yang sebenarnya) sebelumnya, ditemukan bahwa memakai masker memang salah satu intervensi non-farmakologi efektif untuk mengurangi risiko penularan. Lagi-lagi, riset berbasis bukti itu dilakukan dengan langkah-langkah metodologi baku.

Para pakar tentu kesal dengan klaim-klaim kebenaran yang tidak metodologis itu, termasuk Tom Nicholes. Itulah mengapa Nicholes menggugat demokrasi yang dianggapnya sebagai biang keladi dari matinya kepakaran (the death of expertise). Nasihat pakar kesehatan agar masyarakat memakai masker demi menekan penularan virus harus menjadi rujukan kebenaran, karena tujuannya adalah untuk kebaikan bersama (res publica). 

Apa jadinya jika nasihat para pakar diabaikan, lalu masyarakat bebas memilih untuk tidak memakai masker saat keluar rumah? Penularan virus akan semakin gencar, dan berujung pada ambruknya layanan kesehatan serta semakin banyak orang meninggal.

Amerika Serikat dan Brasil adalah dua contoh negara yang menampilkan kebodohan pemimpin dari proses demokratis (pemilu). Donald Trump adalah presiden populis yang kontra-sains. Ia tampak percaya diri tidak menggunakan masker di depan umum, dan menyepelekan wabah. Kemenangan Trump menjadi bukti bahwa pengikutnya di AS sangat banyak. Kita dapat mengecek bahwa sebagian pendukung Trump adalah para penganut bumi datar, meyakini konspirasi secara berlebihan, dan tidak mau memakai masker. Begitupun Jair Bolsonaro, presiden Brasil yang meyakini bahwa COVID-19 adalah flu biasa. 

Kebodohan yang mendapatkan hak untuk tampil dalam panggung demokrasi, sebagaimana AS dan Brasil, telah berdampak buruk bagi warga negaranya. Di awal pandemi terlihat penyebaran virus di kedua negara tersebut tidak terkendali. Penularan terjadi secara masif, dan banyak orang meninggal akibat infeksi. 

Tetapi kita akan melihat bahwa pandangan Tom Nicholes juga dapat berujung masalah. Kebebasan beragama, misalnya, adalah salah satu bagian inheren dalam demokrasi. Semua orang bebas meyakini Tuhan manapun, dan ajaran-ajaran yang menyertainya. Karena alasan res publica misalnya, kita tidak bisa sekonyong-konyong mengatakan bahwa agama tertentu adalah satu-satunya kebenaran yang dapat mendatangkan kebaikan bersama. Para pakar agama tidak bisa memaksakan bahwa agama tersebut adalah kebenaran tunggal, dan semua orang harus mengikutinya demi kebaikan bersama. Pemaksanaan agama adalah intoleransi yang kontra demokrasi. 

Ada perdebatan sengit yang tidak selesai hingga kini. Membungkam suara-suara orang bodoh adalah ekses buruk bagi demokrasi, bahkan cenderung otoritarian yang selama ini ditentang. Munculnya wabah korona ini telah memperuncing kembali perdebatan itu. Para aktivis demokrasi yang meyakini jalan sains untuk melawan wabah ikut-ikutan geram dan gelisah terhadap orang-orang seperti Jerinx dan dokter Lois. 

Mereka paham bahwa suara Jerinx, dokter Lois, serta pengikut setianya dapat memperburuk keadaan. Tetapi mereka juga tidak setuju apabila dua orang itu dibungkam lewat hukum pidana penjara. Terjadi dilema yang sangat serius di sini.

Ketimpangan Informasi

Agar tidak melukai demokrasi, para pakar diminta mengkampanyekan sains secara lebih masif untuk membendung “sains palsu”. Tetapi ini bukanlah cara yang mudah, karena mereka berhadapan dengan problem ketimpangan informasi.

Sebagian orang keliru memahami bahwa penanganan wabah korona adalah dalam rangka mengendalikan penyebaran virus. Ada sistem layanan kesehatan dan kesehatan masyarakat yang dipertaruhkan di sini. Namun karena informasi itu tidak terserap secara merata, masih banyak yang memperdebatkannya dalam spektrum apakah COVID-19 itu “berbahaya” atau “tidak berbahaya”. 

Orang-orang yang meyakini bahwa korona “tidak berbahaya” biasanya melihat dari jumlah pasien sembuh jauh lebih banyak dibandingkan angka kematiannya. Ini jelas tidak tepat karena bukanlah inti persoalan.

Internet dan media sosial menjadi medium paling nyaman untuk berbagi informasi tiada batas. Karena tidak ada batasnya, informasi yang tersebar menjadi sangat banyak dan padat. Tidak mudah bagi orang-orang untuk memilah mana yang benar dan mana yang salah. Ada orang yang tampil seperti pakar (padahal bukan), menyebut istilah-istilah rumit sehingga tampak meyakinkan, justru banyak diikuti orang. Mengkampanyekan sains dalam kontestasi informasi di era digital menjadi runyam urusannya.

Belum lagi ada orang-orang yang telah tertanam bahwa dirinya tidak percaya otoritas formal seperti pemerintah dan pakar. Orang-orang ini terjebak pada bias konfirmasi di mana mereka akan mempercayai informasi sepanjang kontennya sesuai dengan apa yang diyakini. Ketika ada otoritas baru seperti dokter Lois yang pernyataannya mengafirmasi keyakinan, dengan serta-merta mereka menganggap benar dan sesuai dengan akal sehat. Di luar keyakinan mereka adalah orang-orang tidak waras, terhadap para pakar sekalipun. 

Dari sini kita mendapati ada problem yang sebetulnya sangat mendasar, yaitu sistem pendidikan. Selama ini, sekolah tidak pernah membahas bagaimana sains itu bekerja dalam memperoleh pengetahuan. Padahal, pelajaran seperti fisika dan biologi di sekolah adalah pemahaman sains dasar. Para murid tidak diajak untuk berpikir secara kritis tentang bagaimana proses berpengetahuan itu dilakukan. 

Masalahnya, pelajaran IPA tidak lebih dari menghafal rumus-rumus fisika, kimia, dan matematika tanpa mengetahui bagaimana rumus itu dapat muncul dan apa kegunaannya dalam kehidupan. Sedangkan pelajaran biologi tak lekang dari sekadar menghafal nama-nama organ tubuh dan keragaman hayati (meskipun ini penting) tanpa tahu bagaimana akibatnya jika rantai makanan terganggu. 

Pemahaman metodologi hanya dipelajari di kampus, padahal, seharusnya ini diperkenalkan sejak bangku sekolah. Ini jelas menjadi cara yang radikal, dan apabila terjadi, kita semua bisa lebih optimis bahwa semakin banyak orang mempercayai sains dan para pakar yang telah riset puluhan tahun. 

Sehingga, tidak ada lagi kebodohan yang tampil dominan. Meskipun hak dalam demokrasi, orang-orang yang tampil bodoh tidak akan menjadi otoritas karena lebih banyak yang tidak memercayainya, ketimbang terhadap sains sesungguhnya.

0 comments:

Posting Komentar