Jumat, 20 Agustus 2021

Menimbang Childfree dari Perspektif Makro

Sebagai laki-laki yang memiliki satu anak, saya jelas bukan penganut childfree. Tetapi bagi orang yang akan maupun sudah menikah dan belum memiliki anak, pilihan childfree mungkin menjadi opsi menarik untuk dipertimbangkan. 

Masyarakat Indonesia yang sebagian besarnya adalah penganut Islam konservatif menganggap bahwa ide ini gila dan bertentangan dengan ajaran agama. Tafsir Islam arus utama menyebut bahwa (berusaha) memiliki anak adalah kewajiban bagi tiap pasangan muslim. Memiliki keturunan adalah tujuan utama dari pernikahan, bernilai ibadah, serta menjadi kebanggaan nabi akan jumlah umatnya yang semakin banyak. Oleh karena (berusaha) memiliki anak adalah kewajiban, seorang muslim tidak perlu khawatir akan kekurangan rezeki. Semua sudah ada porsinya dari Tuhan.

Sebagian lainnya menggunakan alasan yang dalam bahasa Gita Savitri, adalah egoistis (selfish). Kalangan ini biasanya memandang anak dalam kacamata trade-off. Karena sudah membesarkan anaknya, diharapkan kelak anak-anak berbakti dan merawat mereka ketika masuk usia senja.

Memang, tidak semua orang memandang anak semata-mata trade-off. Banyak juga orang tua yang berjuang membesarkan anak tanpa pamrih. Mereka mencurahkan kasih sayangnya secara cuma-cuma dan tidak akan berkurang meskipun suatu saat imbal budi sang anak tidaklah setara. Sebagian anak-anak yang dibesarkan dari keluarga sederhana bahkan miskin, kemudian pergi jauh begitu saja dan menggapai kesuksesannya sendiri. Sementara orang tua sudah merasa lebih dari cukup apabila anak mereka berhasil “menjadi orang” ketika dewasa. Pun ketika sang anak akhirnya jatuh miskin lagi, kasih sayang orang tua juga tidak akan lekang.

Tidaklah salah dari sebuah lirik lagu: “kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi, tak harap kembali. Bagai sang surya menyinari dunia”.

Pada kubu berseberangan, para penganut childfree tampak jumlahnya semakin bertambah seiring kemudahan akses informasi dan komunikasi berkat teknologi digital. Seperti kalangan anti-childfree, kubu ini juga memiliki banyak alasan mengapa mereka tidak ingin memiliki anak. Salah satu yang menonjol adalah influencer media sosial Gita Savitri, dengan menempatkan keputusan memiliki anak atau tidak dalam domain pertanggung jawaban (responsibility). Bagi Gita, adalah tidak bertanggung jawab apabila anak dilahirkan sementara orang tua belum mapan alias tidak punya apa-apa.

Orang-orang yang setuju dengan Gita menganggap bahwa kondisi kepayahan hidup hanya akan mengantarkan anak ke jurang kesengsaraan. Pandangan ini benar adanya karena kemiskinan bersifat struktural. Bahasa sosiologinya reproduksi sosial: orang tua yang miskin, tidak mampu menyekolahkan anak secara layak, membuat sang anak kelak mendapatkan pekerjaan yang upahnya sangat minim. Pada sistem kapitalisme, tidak memiliki kompetensi (yang diraih melalui pendidikan) sama artinya tidak dapat bersaing di pasar tenaga kerja. Orang-orang seperti ini ada dan berlipat ganda.

Sejatinya keputusan childfree atau tidak berada di ranah privat. Kendati demikian, dalam skala yang lebih luas, kedua-duanya memiliki dampak pada kondisi sosial-ekonomi-demografi sebuah negara. Bayangkan jika pasangan suami-istri yang berpikir seperti Gita jumlahnya mencapai 50 persen, akan seperti apa struktur demografi Indonesia? Karena dampaknya berskala makro, itulah mengapa sejak era Orde Baru pemerintah telah menelurkan kebijakan keluarga berencana (KB). Tujuannya tidak lain untuk mengendalikan jumlah penduduk agar tidak terlalu banyak (atau terlalu sedikit).

Anda mungkin pernah diceritakan bagaimana orang tua zaman dulu memiliki jumlah anak yang banyak. Kakek saya dari pihak ayah memiliki 12 anak, sedangkan dari pihak ibu memiliki 10 anak. Dapat dibayangkan keramaian yang saya rasakan di masa kecil ketika mudik ke Kuningan (kampung ayah) dan Kroya (kampung ibu) saat momen lebaran. Rumah kakek dan nenek saya mendadak riuh. Anda mungkin merasakan seperti saya, karena budaya ini khas Indonesia.

Sebelum program KB diluncurkan presiden Suharto pada 1970-an, data statistik resmi menunjukkan bahwa rata-rata perempuan di masa subur memiliki empat sampai lima anak. Ya, kakek dan nenek kita kurang lebih berada di era pra-KB yang belum mengenal apa itu kontrasepsi. Angka rata-rata tersebut menurun secara bertahap setelah program KB masif dikampanyekan. Pusat-pusat kesehatan turut andil memperkenalkan berbagai jenis kontrasepsi modern mulai dari kondom hingga intrauterine device (IUD). Nah, ayah dan ibu saya menikah di fase awal program KB tersebut. Hasilnya, saya hanya memiliki satu kakak.

Rasanya masih menempel di kepala saya slogan “dua anak lebih baik”. Tetapi pertanyaannya, mengapa pemerintah harus repot-repot mengatur urusan rahim perempuan? 

Slogan tersebut bukan sekadar jargon. Pemerintah sampai detik ini menargetkan angka kelahiran total (total fertility rate, TFR) atau rata-rata jumlah kelahiran mencapai angka dua. Ini berkenaan dengan proyeksi penduduk bahwa lewat angka tersebut, Indonesia akan segera sampai pada bonus demografi: suatu keadaan di mana penduduk usia produktif jumlahnya lebih besar dari penduduk non-produktif. Kepentingan ekonomi jelas dominan di sini.

Asumsinya, apabila orang-orang produktif lebih banyak dibanding orang tidak produktif, semakin besar pula pasokan tenaga kerja guna menggerakkan ekonomi. Berbanding terbalik dengan penduduk non-produktif yang justru ditempatkan sebagai beban. Dalam istilah statistik demografi, kelompok non-produktif ini diasosiasikan dengan rasio ketergantungan (dependency ratio). Disebut “ketergantungan” karena mereka bergantung secara ekonomi kepada penduduk produktif.

Di sini logika Gita menjadi masuk akal. Bayangkan sepasang suami-istri yang tidak memiliki anak karena pilihan rasional, peluang mereka untuk melakukan saving akan jauh lebih besar. Asumsinya secara makro, angka kemiskinan dapat ditekan karena semakin banyak orang yang berkecukupan hidup berkat tidak banyak tanggungan. Premis ini jelas ditentang oleh kalangan konservatif karena dianggap mengabaikan variabel ketuhanan – bahwa rezeki tiap-tiap anak sudah dijamin sang mahakuasa.

Tetapi kita harus melihat bahwa secara makro, agregat keputusan childfree atau tidak akan bergantung pada kondisi tertentu dari sebuah negara.

Pertama saya ambil contoh Cina, yang jumlah penduduknya terbesar di dunia. Melampaui Indonesia, Cina berhadapan dengan kondisi overpopulasi yang mengkhawatirkan sejak lima dekade lalu. Pada pertengahan 1970-an, pemerintah Cina mengeluarkan kebijakan KB yang tujuannya tercermin dalam slogannya: “Later, Longer, Fewer”. Intinya, pemerintah Cina ingin agar warganya menunda usia pernikahan, memperlebar jarak antar-kehamilan, dan memperkecil jumlah anak.

Memasuki 1979 di bawah komando Deng Xiaoping, kebijakan pengendalian penduduk dibuat jauh lebih ketat lagi. Apabila “dua anak lebih baik” di Indonesia sekadar imbauan, di Cina saat itu adalah kewajiban bagi pasangan suami-istri untuk hanya memiliki maksimal satu anak. Kebijakan ini disebut one-child policy.

Kebijakan ini kontroversial karena dianggap mencederai hak-hak sipil warga. Bayangkan, pemerintah menyiapkan kanal khusus bagi masyarakat yang menemukan pelanggar aturan tersebut. Mereka yang melaporkan akan diberikan hadiah oleh pemerintah. Kondisi ini membuat banyak orang takut, karena apabila melanggar, akan dikenakan sanksi berupa denda dan diputus aksesnya terhadap layanan publik. Sebaliknya bagi mereka yang patuh, pemerintah akan memberikan sertifikat KB. Sertifikat ini berguna untuk mendapatkan berbagai layanan publik, akses bantuan pemerintah, dan kesempatan untuk masuk ke lapangan pekerjaan.

Meskipun berhasil menekan laju pertumbuhan penduduk, one child-policy menimbulkan berbagai efek samping sosial yang serius. Angka aborsi dan sterilisasi perempuan meningkat drastis. Ketidakseimbangan gender terjadi di mana jumlah laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan. Hal ini terjadi karena one-child policy membuat banyak pasangan cenderung menginginkan anak laki-laki agar kelak dapat bekerja. Fenomena aborsi selektif muncul di mana banyak ibu justru menggugurkan kandungan setelah mengetahui bayi di rahimnya berjenis kelamin perempuan. Banyak anak-anak terpaksa masuk ke angkatan kerja karena jumlah lansia dan pensiunan meningkat drastis.

Menyadari efek negatifnya, pemerintah Cina mulai merelaksasi kebijakan tersebut sejak 2013, dan benar-benar dihentikan pada 2015 lalu.

Sekarang kita beralih pada kasus Jepang. Berdasarkan catatan Toshihiko Hara (2008) dalam International Journal of Japanese Sociology, era penurunan fertilitas di Jepang terjadi sejak pertengahan 1970-an, atau pada saat Indonesia baru memulai program KB. Disebut bahwa tren perempuan tidak memiliki anak di Jepang sudah dimulai sejak 1960 dan diprediksi sebanyak 30 persen perempuan usia subur memilih childfree pada 1970. Artinya, orang-orang seperti Gita dapat kita temui dalam skala massal di Jepang.

Beberapa tahun belakangan ini, pemerintah Jepang dihadapkan dengan masalah tingginya jumlah penduduk lansia akibat terlalu rendahnya angka kelahiran. Diprediksi jumlah lansia di Jepang sebanyak 28,7 persen dari total populasi berdasarkan data 2020. Kondisi ini mirip dengan apa yang terjadi di negara-negara Barat: orang-orang yang berpikir seperti Gita di Eropa jumlahnya bisa mencapai 30 persen. Jepang, dan juga Eropa kini berhadapan dengan masalah krisis demografi. Ini yang membuat ekonomi mereka stagnan karena tenaga kerja yang sedikit, sedangkan beban untuk menanggung hidup penduduk non-produktif sangat besar.

Sejujurnya ini lucu. Jika penganut childfree di Indonesia dapat beranggapan bahwa memiliki anak adalah cermin keegoisan orang tua, di Jepang tidak mau memiliki anak justru dituduh egois. Perhatikan pernyataan politisi Jepang, Toshihiro Nikai dari partai liberal demokrat yang dikutip media The Guardian pada 2018 lalu:

During and after the war when people were living on the edge of starvation, nobody said it’s better not to have children because it’s too much trouble… These days, some people have a selfish idea that it is better not to have children

Bisa-bisanya pernyataan Nikai itu sejalan dengan kebanyakan pikiran masyarakat Indonesia. Kira-kira kalau diterjemahkan, Nikai mengatakan begini: “ketika banyak orang dilanda kelaparan dan masalah, mereka tidak sampai berpikir untuk tidak memiliki anak; tetapi sekarang, justru banyak orang berpikir egois karena tidak mau punya anak.”

Menyusul pernyataan anggota parlemen Jepang, Kanji Kato mengatakan bahwa perempuan harus memiliki lebih banyak anak dan memperingatkan orang-orang yang melajang sebagai jalan ninjanya, kelak akan menjadi beban negara. Sebetulnya keengganan orang Jepang untuk memiliki anak terjadi karena kekhawatiran akan kondisi finansial dan tidak dapat menyeimbangkan antara bekerja dan mengurus anak. Survei baru-baru ini menunjukkan bahwa 70 persen orang tua di Jepang memiliki pandangan demikian.

Saat ini program KB Jepang difokuskan pada peningkatan angka kelahiran. Pemerintah telah menyiapkan banyak insentif agar orang Jepang mau menikah dan punya anak. Insentif yang diberikan bahkan tidak main-main.

Kalau takut tidak cukup membiayai pernikahan, pemerintah telah memberikan subsidi yang sangat besar. Kalau takut biaya kehamilan dan melahirkan mahal, pemerintah telah menyiapkan dana kesehatan untuk masa kehamilan dan melahirkan. Kalau takut biaya merawat anak tidak murah, pemerintah telah menyiapkan dana tunjangan hingga sang anak berusia 12 tahun. Kalau takut tidak dapat menyeimbangkan antara bekerja dan mengurus anak, pemerintah telah menyiapkan durasi cuti melahirkan yang panjang serta memperbanyak fasilitas penitipan anak.

Ternyata, Cina setelah one-child policy juga mulai merasakan ketar-ketir ancaman krisis demografi kendati masih jauh lebih parah Jepang. Presiden Xi Jinping baru-baru ini mengizinkan agar pasangan suami-istri di Cina untuk memiliki tiga anak. Saya coba rangkum dari laporan BBC yang mengulas ihwal ini dengan cukup lengkap.

Sensus penduduk Cina 2020 lalu menunjukkan adanya penurunan angka kelahiran yang sangat signifikan. Pada 2016, sekitar 18 juta bayi yang lahir. Bandingkan dengan 2019, jumlah bayi yang lahir menjadi 12 juta, bahkan, angka ini adalah titik terendah sejak 1960-an. Kebijakan relaksasi di mana pasangan suami-istri boleh memiliki dua anak ternyata gagal memacu pertumbuhan penduduk. Itulah mengapa pemerintah Cina menambahkan jumlahnya menjadi tiga anak.

Tetapi, yang menarik untuk ditelisik adalah implikasi setelah one-child policy. Ada kecenderungan di mana pasangan muda-mudi di Cina justru lebih nyaman dengan keluarga kecil. Tren ini diiringi dengan kenyataan bahwa banyak orang Cina khawatir akan kondisi hidup yang kian sulit akibat mahalnya barang dan jasa terutama di perkotaan. Sementara di pedesaan masih dapat dijumpai keluarga-keluarga besar karena biasanya, tindakan mereka masih didorong oleh tradisi.

Sekilas apa yang tampak di Cina hampir mirip dengan Indonesia meskipun negara kita tidak mengalami krisis demografi. Sebaliknya, saat ini Indonesia mulai memasuki era bonus demografi karena penduduk produktif jumlahnya lebih banyak dibanding penduduk non-produktif. Dengan kata lain, saat ini negara kita mulai memetik hasil kebijakan KB yang sudah dirancang sejak era presiden Suharto dulu. Seperti apa yang dikatakan para ahli, bonus demografi Indonesia diprediksi berakhir pada 2035 mendatang. 

Jadi, Mau Punya Anak atau Tidak?

Kalau Anda orang Jepang yang ingin menyelamatkan negara, Anda harus menikah dan punya anak. Tetapi karena Anda adalah orang Indonesia, apakah Anda tetap ingin memiliki anak? Atau ikut memilih childfree?

Dalam penjelasan di muka, pada intinya saya ingin mengatakan bahwa keputusan memiliki anak atau tidak, secara agregat memiliki dampak luas bagi negara. Negara kita memang tidak sampai seperti Cina yang ekstrim melarang warganya punya banyak anak. Walaupun imbauannya “dua anak lebih baik”, toh ketika Anda punya anak lebih dari dua, pemerintah tidak akan menghukum Anda. Tetapi masalahnya, tidak ada kompensasi atau jaminan apapun dari keputusan Anda ketika memilih punya anak. Inilah yang menurut saya, seharusnya ada peranan pemerintah di balik keputusan besar dari sebuah keluarga.

Sejauh ini negara hanya hadir melalui lembaga yang bernama BPJS. Perempuan yang hamil dan melahirkan, dapat menikmati layanan kesehatan secara “gratis” di puskesmas atau rumah sakit. Begitupun ketika anak lahir, juga dapat memanfaatkannya secara “gratis” di kala butuh. Saya berikan tanda petik karena layanan kesehatan yang kita gunakan tidak benar-benar gratis, dalam arti, kita tidak membayar sepeserpun. Bagi pengguna kelas I – III, kita diharuskan membayar iuran tiap bulan. Apa yang benar-benar gratis adalah bagi mereka di kelompok penerima bantuan iuran (PBI). Itupun sebetulnya masih belum menyelesaikan masalah, karena rumitnya birokrasi dan antrean panjang.

Namun, di luar apa yang disediakan BPJS, sebagai orang tua kita benar-benar harus berjuang merawat dan mendidik anak. Di sini barulah negara lepas tangan.

Di tengah minimnya intervensi negara atas kesejahteraan keluarga, keputusan memiliki anak atau tidak menjadi pilihan yang sukar sekaligus liar. Menurut saya, apa yang diperdebatkan orang-orang tentang sebaiknya memiliki anak atau tidak itu terjadi karena pemerintah alpa di dalamnya. 

Sekarang mari kita berandai-andai. Katakanlah Indonesia hari ini menjelma menjadi negara kesejahteraan (welfare state). Orang-orang kaya dan super-kaya rela berbagi pajak dalam jumlah yang sangat besar. Kemudian birokrasi pemerintahan bekerja secara efektif, efisien, serta tidak korup. Kita asumsikan bahwa anggaran negara serta sumber daya alamnya benar-benar digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat seperti amanat pasal 33 Undang-Undang Dasar.

Lalu kita bayangkan pemerintah Indonesia hendak melakukan seperti apa yang dilakukan Jepang. Kesehatan reproduksi, kehamilan, hingga melahirkan dijamin penuh. Anak-anak yang dilahirkan tidak perlu langsung jatuh miskin karena pemerintah memberikan tunjangan hidup memadai. Pendidikan layak dibuat merata dan memadai bagi semua kalangan. Setiap keluarga memiliki hunian layak (ini tidak terjadi di Jepang), bersih, dan sehat. Akhirnya, Anda sebagai orang tua tidak perlu khawatir anak Anda akan sengsara hidupnya.

Apabila demikian, apakah Anda akan tetap memilih childfree? Atau Anda berubah pikiran dan banting setir untuk buru-buru memulai program hamil? Sejatinya saya meyakini, bahwa kekhawatiran akan hidup sengsara akibat terlalu banyak anak, akan dapat ditepis manakala negara hadir memastikan segala hak hidup warganya terpenuhi.

Banyak pasangan suami-istri yang berawal dari kedua-duanya bekerja, kemudian salah satunya resign karena harus mengurus anak. Keputusan ini membuat dua implikasi sekaligus. Pada satu sisi, pendapatan mereka berkurang; sedangkan di sisi lain, biaya hidup mereka bertambah. Belum lagi tuntutan bekerja full-time bagi sang ayah (atau ibu), membuat pembagian kerja mengurus anak menjadi kaku. Di rumah, seorang ibu (atau ayah) harus merawat anaknya, dan peranan ayah (atau ibu) menjadi berkurang dalam tumbuh kembang anak. 

Situasi dilematis itu bukanlah salah Anda, dan bukan pula salah anak Anda. Ini adalah masalah struktural yang berkelit-kelindan. Pemerintah (harusnya) hadir menyelesaikan persoalan ini. Tetapi, negara hadir memastikan kesejahteraan keluarga hanyalah sebatas angan-angan. Ini tidak nyata. Karena kenyataannya, kita semua harus bergelut dengan pahitnya hidup. Bagi sebagian orang, terlalu miris melihat anak tidak berdosa ikut merasakan kepayahan, dan memilih jalan untuk tidak melahirkannya ke dunia. 

Kendati demikian, saya masih meyakini bahwa tren childfree di Indonesia tidak akan sampai lima persen penduduk (atau jangan-jangan tidak sampai satu persen). Sekacau-kacaunya kondisi negara, nilai-nilai tradisi masih mendorong keinginan pasangan suami-istri di sini untuk tetap memiliki anak. 

Berapapun jumlahnya. Sepertinya pemerintah Indonesia tidak perlu khawatir akan terjadinya krisis demografi seperti di Jepang dan Eropa. Jadi, keputusan Anda untuk childfree pun untuk saat ini tidak akan berpengaruh apapun (atau mungkin sangat kecil) terhadap kondisi negara.

Saya sendiri, seperti dikatakan di atas, bukanlah penganut childfree. Namun, mengingat beratnya kondisi hidup dan tidak ada jaminan kesejahteraan dari negara, sampai detik ini saya masih berpikir untuk membatasi jumlah anak. Mungkin maksimal dua?

0 comments:

Posting Komentar