Sabtu, 07 Juli 2012

Fenomena FPI dalam Perspektif Amar Makruf Nahi Munkar

Fenomena Front Pembela Islam (FPI) dalam catatan aktivitas ormas di Indonesia menuai pro-kontra. Ada yang mengatakan bahwa FPI merupakan gerakan islam radikal beraliran keras. Persepsi ini muncul ditengah-tengah masyarakat karena memang berita yang dimunculkan oleh media terkait FPI adalah aksi-aksi kekerasan yang mengatasnamakan islam. Menanggapi hal ini, kita perlu bersikap bijak dan kritis terhadap informasi yang disampaikan oleh media. Karena menurut saya, ada tiga kemungkinan dalam setiap berita yang disampaikan oleh media kepada masyarakat. 

Pertama, berita yang disampaikan menyatakan kebenaran tanpa ada hal-hal yang dirubah. Kedua, berita yang disampaikan menyatakan kebenaran namun ada beberapa hal yang dimodifikasi sehingga memunculkan persepsi sesuai dengan kehendak media. Ketiga, berita yang disampaikan adalah berita palsu/tidak benar.

Kenyataan yang terjadi ditengah masyarakat adalah bahwa FPI dipersepsikan sebagai ormas islam aliran keras. Kita memang tidak tahu kemungkinan apa yang terjadi dalam setiap pemberitaan media terkait FPI. Tetapi kita tahu bersama bahwa FPI melaksanakan Amar Ma;ruf Nahi Munkar dengan cara kekerasan. Sehingga, dengan melihat anggapan dari berbagai komponen masyarakat termasuk internal FPI itu sendiri, setidaknya saya mengatakan bahwa apa yang diberitakan oleh media terkait FPI masuk pada kemungkinan yang kedua; bahwa berita yang disampaikan menyatakan kebenaran namun ada beberapa hal yang dimodifikasi oleh media.

Pertanyaan besar muncul dari sini, jika memang anggapan saya benar, apakah ini mencerminkan bahwa media tidak jujur dalam menyampaikan informasi? Atau ini mutlak kesalahan FPI? Tidak salah jika FPI dikatakan menggunakan kekerasan dalam aktivitasnya, namun apa yang disampaikan media terkesan berlebihan dan saya tidak tahu apakah ada trik yang dipakai dalam komunikasi media.

Karena itu, saya ingin menyampaikan opini terkait ormas yang satu ini dengan menggunakan perspektif islam. Saya akan memulainya dengan sebuah hadits:

Dari Abu Sa’id Al-Khudri berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya, jika tidak mampu, maka dengan lisannya, jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim). Hadits tersebut terdapat didalam buku hadits Arba’in yang merupakan ringkasan dari kitab Riyadush Shalihin yang dihimpun oleh Imam Nawawi. Didalam penjelasannya, terdapat lima poin terkait dengan fiqih hadits tersebut.

Pertama, menentang pelaku kebatilan dan menolak kemungkaran adalah kewajiban yang dituntut dalam ajaran islam atas setiap muslim sesuai dengan kemampuan dan kekuatannya. Artinya adalah setiap manusia yang menjadikan islam sebagai jalan hidupnya, ada satu kewajiban untuk menolak/mengubah kemungkaran yang terjadi disekitarnya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Memang didalam kata “mengubah dengan tangannya” terdapat dua tafsiran tersendiri. Tafsiran yang pertama adalah bahwa “mengubah dengan tangannya” berarti mengubah dengan kekuasaan yang dimilikinya. Dalam hal ini pemimpinlah yang mampu dengan kekuasaannya mengubah kemungkaran yang ada disekitarnya. Kemudian tafsiran yang kedua adalah bahwa “mengubah dengan tangannya” dimaknai secara tekstual, artinya ketika terjadi kemungkaran, bagi mereka yaang mempunyai kekuatan harus mengubahnya dengan tangannya (kekerasan).

Kedua, Ridha terhadap kemaksiatan termasuk diantara dosa-dosa besar. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT didalam Al-Qur’an, “Hendaklah ada segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, mengajak kepada yang baik dan mencegah keburukan.”(Ali-Imran:104) Jika kita melihat teks hadist tersebut, setiap muslim yang melihat kemungkaran diwajibkan untuk mengubahnya walaupun hanya penolakan dengan hati. Tetapi yang jelas, islam telah mengisyaratkan kepada para pengikutnya untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar sebagai kewajiban sesuai dengan batas kemampuan yang dimiliki.

Ketiga, keharusan bersikap sabar menanggung kesulitan dalam menunaikan amar ma’ruf nahi munkar. Hal ini sangat jelas, islam memandang bahwa setiap penyeru kebaikan pasti akan dihadapkan dengan tantangan yang akan menyulitkan dalam pelaksanaannya. Secara subjektif saya pribadi, sebagai seorang muslim saya meyakini bahwa setiap aktivitas dakwah islam termasuk apa yang dilakukan oleh FPI pasti akan berbenturan dengan musuh-musuh yang tidak suka dengan islam.

Keempat, Amal merupakan buah dari iman, maka menyingkirkan kemungkaran juga merupakan buah keimanan. Kemudian kelima, mengingkari dengan hati diwajibkan kepada setiap muslim, sedangkan pengingkaran dengan tangan dan lisan berdasarkan kemampuannya. Itulah kelima poin yang menjelaskan prinsip yang terkandung didalam hadits tersebut. Saya menarik dua kesimpulan dari hadits tersebut; pertama, mengubah kemungkaran adalah kewajiban atas setiap muslim dan kedua, mengubah kemungkaran disesuaikan dengan kemampuan masing-masing.

Hubungan Hadits dengan Aktivitas FPI

Saya mencoba menarik benang merah antara keduanya. Bahwa FPI melaksanakan perintah hadits tersebut sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Sebagai ormas berkekuatan besar, FPI mampu dengan tangannya mengubah kemungkaran yang terjadi di lingkungan sekitar. Kita tahu bersama, aksi FPI sudah banyak dilakukan dalam menghapuskan kemaksiatan yang ada ditengah-tengah masyarakat. Sehingga, menurut saya FPI tidak salah. Artinya, saya melihat ada indikasi kemungkinan kedua terkait dengan apa yang diberitakan oleh media. Apalagi, berdasarkan pernyataan dari salah satu anggota FPI mengatakan bahwa aktivitas sweeping dilakukan tidak semerta-merta tetapi ada peringatan yang disampaikan terlebih dahulu dalam rentang waktu yang cukup lama, tetapi jika tidak ada tenggapan, jalur kekerasan akan diambil oleh FPI.

Saya memahami bahwa menyerukan kebaikan harus dengan cara yang bijaksana dan dengan cara yang baik (QS.An-Nahl:125). Dalam perspektif islam, menyerukan kebaikan adalah suatu ketetapan namun harus dilakukan bersesuaian dengan kondisi masyarakatnya. Apabila cara halus tidak mendapatkan reaksi yang positif, maka cara kekerasan dapat diambil agar kemungkaran itu tidak dapat muncul lagi.

FPI: Sebuah Gerakan Perbaikan Moral

Sekarang kita bayangkan saja apabila tidak ada FPI di Indonesia. Apakah ada lagi yang mampu menghapuskan segala perilaku tidak bermoral yang akan merusak masyarakat? Apakah polisi sebagai aparat keamanan sudah mampu menghapuskan segala perilaku yang merusak ditengah-tengah masyarakat? Saya tidak menyalahkan polisi, namun keberadaan FPI di Indonesia perlu dipertimbangkan lagi. Apalagi, pendukung gerakan ‘Indonesia Tanpa FPI’ kebanyakan mereka yang berperilaku seks menyimpang (homoseksual) dan para pelaku perusak moral bangsa. Jika kita mendukung penghapusan FPI di Indonesia, secara tidak langsung kita mendukung perusakan moral bangsa.

FPI memang terlihat keras dan radikal. Namun sangat tidak arif bagi mereka yang menyamakan FPI dengan teroris. Jika FPI teroris, apakah orang-orang liberal yang menjunjung tinggi kebebasan adalah kelompok yang benar? Sebagai muslim kita perlu menyadari bahwa kita telah tertipu oleh media yang hanya berorientasi pada keuntungan materi belaka.

Kesimpulan

Pada akhirnya, saya menyatakan sikap sebagai seorang muslim bahwa saya mendukung eskistensi FPI di Indonesia. Kita perlu kelompok yang berani seperti FPI untuk memerangi perilaku tidak bermoral yang dapat merusak bangsa ini. Sehingga, sikap kita yang seharusnya dilakukan adalah bijaksana dan kritis. Kita harus menambah wawasan kita, khsususnya pengetahuan tentang agama dan karakter bangsa, agar kita tidak mudah "terhipnotis" dengan kebohongan yang ada disekitar kita. Wallahu'alam.

0 comments:

Posting Komentar