Minggu, 23 Desember 2012

Konsepsi Negara Menurut Pandangan Mohammad Natsir

Dalam perkembangan pemikiran politik islam, akan senantiasa mengalami dinamika sebagai respon atas kondisi sosial-politik yang dihadapi umat islam. Termasuk dalam hal ini adalah modernisme islam, sebuah paham yang muncul pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang digagas oleh Jamaluddin Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh sebagai respon atas kondisi umat islam yang mengalami keterbelakangan dalam ilmu pengetahuan. Pada saat itu dunia Barat sudah jauh lebih maju dibandingkan islam. Apa yang terjadi di Barat adalah sebagai bentuk dari kebebasan pemikiran dan penghargaan tinggi terhadap rasionalitas. Bentuk ini yang kemudian dilihat oleh para tokoh modernis islam bahwa kebebasan berpikir perlu diterapkan dalam ajaran islam tanpa harus menjadi Barat.

Selain itu, modernisme islam ini merupakan antitesis dari tradisionalisme islam. Paham modernisme islam ini menginginkan untuk kembali pada kemurnian ajaran agama islam dan membuka lebar pintu ijtihad sebagai bentuk penghargaan terhadap rasionalitas manusia. Dalam modernisme islam, islam itu sendiri dipandang sebagai ajaran yang bersifat universal, tidak hanya mencakup hubungan manusia dengan Tuhannya (Habl minallah) juga mencakup hubungan manusia dengan manusia lainnya (Habl minannas).

Modernisme islam ini sangat berkembang pesat didunia tanpa terkecuali di Indonesia. Paham ini memunculkan tokoh-tokoh berpengaruh di Indonesia salah satunya Mohammad Natsir. Tidak berbeda dengan apa yang digagas oleh para tokoh modernis islam dunia, tokoh-tokoh modernisme islam Indonesia juga melihat bahwa kondisi umat islam di Indonesia terjebak pada bentuk peribadahan mistik yang jauh dari ajaran islam itu sendiri, keterbelakangan dalam ilmu pengetahuan dan kolonialisme. Semangat modernisme islam di Indonesia sejatinya adalah semangat membebaskan bangsa Indoensia khususnya umat islam di Indonesia dari segala bentuk penajajahan, oleh karena itu pemikiran umat islam di Indonesia harus lebih maju.

Natsir sebagai tokoh modernisme islam Indonesia, merupakan tokoh yang senantiasa memperjuangkan islam pada masanya. Natsir dikenal sebagai orang yang memperjuangkan islam sebagai dasar negara. Selain itu, Natsir yang terpengaruh oleh pemahaman modernisme islam ini pun turut berkontribusi dalam memikirkan bagaimana bentuk negara yang ideal menurutnya. Oleh karena itu, paper ini akan membahas pemikiran Mohammad Natsir tentang negara.

Mohammad Natsir lahir pada tanggal 17 Juli 1908 di Alahan Panjang, Sumatera Barat, sebuah daerah yang memang banyak melahirkan ulama intelektual kaliber dunia[1]. Sumatera barat merupakan wilayah tempat berkembangnya gerakan pembaruan islam. Lahirnya gerakan pembaruan islam dipelopori oleh kalangan muda yang dipengaruhi oleh gerakan Wahabi di Arab dan gerakan pembaruan Islam di Mesir[2]. Oleh karena itu karakteristik perjuangan gerakan ini adalah memurnikan kembali ajaran islam dan membebaskan islam dari pemikiran tradisionalis yang berkembang dikalangan pemuka adat karena dianggap menghambat kemajuan umat islam pada saat itu. Gerakan ini menyebabkan pertentangan antara gerakan-gerakan pembaharu islam dan pemuka adat yang berusaha mempertahankan status quo. Namun, terlepas dari itu gerakan pembaharuan islam telah memberikan perubahan-perubahan positif dalam kehidupan keagamaan Minangkabau.[3]
           
Kondisi keagaaman yang sangat kental dan dipengaruhi oleh pemikiran pembaharuan islam ini banyak mempengaruhi pemikiran Natsir. Kemudian Natsir sekolah di HIS (Hollande Inlandse School) yang berada di Solok, Sumatera Barat. Ini merupakan titik awal pendidikan Barat yang diterima oleh Natsir. Kemudian tidak lama bersekolah di Solok, Natsir oleh ayahnya dipindahkan ke HIS pemerintah yang murni menggunakan pola pendidikan Barat. Disini Natsir diajarkan untuk bersikap displin karena peraturan sekolah yang ketat, diajar oleh guru-guru yang tegas, dan setiap siswa dituntut untuk belajar dengan keras. Pola pendidikan seperti ini yang membuat Natsir harus menyesuaikan diri dan secara tidak langsung Natsir terlatih menjadi pribadi yang tegas dan disiplin.
            
Perjalanan pendidikan Natsir tidak berhenti sampai disitu saja, setelah bersekolah di HIS Natsir melanjutkan pendidikannya di MULO (Middlebare Uitgebreid Larger Onderwys) sebuah institusi pendidikan bergengsi yang tidak semua orang dapat sekolah disana. Disini pemikiran Natsir lebih baik dari ketika belajar disekolah sebelumnya. Dari sini pula Natsir dapat berbahasa Belanda dan semakin memahami sistem kolonial Belanda. Titik ini yang menyebabkan Natsir semakin memiliki kapasitas intelektual yang sangat baik. Semangat sebagai seorang pembelajar juga dibuktikan dengan aktivitas Natsir ketika sekolah di MULO yaitu bergabung dengan JIB (Jong Islamieten Bond) cabang Padang. Melalui aktivitasnya di organisasi, Natsir memperoleh sosialisasi politik yang menyebabkan Natsir memiliki kesadaran terhadap politik.
            
Kemudian, Natsir pun melanjutkan kembali pendidikannya di Bandung dan bersekolah di AMS (Algemene Middlebare School). Di sekolah ini, Natsir semakin matang dalam memahami sistem kolonial. Natsir pun menguasai lima bahasa asing (Belanda, Arab, Inggris, Perancis dan Latin) dan dua bahasa daerah (bahasa minang dan sunda)[4]. Kemampuan dalam menguasai banyak bahasa, kesadaran tinggi terhadap politik, membuat Natsir mampu menekuni buku-buku politik. Semangat dalam dunia politik ini yang menyebabkan Natsir bergabung kembali ke JIB cabang Bandung yang diketuai oleh Haji Agus Salim. 
            
Selain itu Natsir juga belajar dengan Ahmad Hassan, seorang tokoh Persis (Persatuan Islam). Dari sini pemahaman keislaman Natsir khususnya pada paham islam modernis semakin merasuk dalam diri Natsir. Kemudian Natsir pun turut berjuang dalam mengajak para pemuda-pemudi muslim yang cenderung kebarat-baratan dan menganggap Islam sebagai agama yang kolot untuk kembali pada ajaran Islam itu sendiri. Walaupun Natsir sebagian besar berpendidikan Barat, tidak menghilangkan idealisme Natsir sebagai seorang muslim dan mencoba untuk membebaskan umat islam Indonesia yang terjebak kolonialisme untuk berpikir maju seperti Barat tanpa harus menjadi seorang Barat. Bentuk perjuangan Natsir yang lain adalah Natsir menjadi anggota redaksi Pembela Islam dalam melawan ancaman zending kristen yang dibungkus dalam kolonialisme. Dari sini Natsir melalui tulisan-tulisannya menghimbau kepada kaum muslimin di Indonesia untuk berhati-hati terhadap ancaman ini.
            
Dalam aktivitas politik Natsir, nantinya Natsir akan bergelumit dalam partai Masyumi (sebagai pimpinan) dan berhadapan dengan tokoh-tokoh sekuler seperti Soekarno. Dari sosialisasi politik Natsir membangkitkan kesadaran politik seorang Natsir. Dari sinilah Natsir dengan melihat realita memikirkan tentang bagaimana keterpaduan islam dan politik dan memikirkan tentang bagaimana negara yang ideal menurut Natsir. Dua tipe pendidikan yang dialami Natsir, Barat dan Islam (khususnya islam modernis) tidak membuat Natsir menjadi orang yang kebarat-baratan, melainkan idealisme Natsir semakin kuat dan yakin bahwa kolonialisme harus dihapuskan dengan mengintegrasikan islam dan politik khususnya dalam pembentukan sebuah negara.
            
Sebagaimana sosialisasi politik yang sudah dialami oleh Natsir, lingkungan tempat Natsir hidup yang sangat kental nuansa keislaman khususnya gerakan-gerakan pembaharuan islam membuat Natsir memiliki kepribadian yang religius. Pemikirannya semakin berkembang pesat setelah Natsir ‘melahap’ pendidikan Barat yang membuat Natsir semakin mengerti bahwa perjuangan di ranah politik sangat diperlukan untuk membebaskan Indonesia dari kolonialisme.
            
Salah satu bentuk sumbangan pemikirannya dalam bidang politik adalah pandangannya tentang konsep Negara. Natsir, sebagaimana semangat dari modernis islam, memahami betul bahwa islam merupakan ajaran yang bersifat universal. Islam tidak hanya mengatur soal individu dengan Tuhannya, melainkan juga mengatur hubungan individu dengan individu lainnya (masyarakat). Semangat universalisme ini yang menyebabkan Natsir memiliki anggapan bahwa sejatinya islam tidak dapat dipisahkan dengan politik. Pandangan ini memang mendapatkan respon dari tokoh-tokoh sekuler seperti Soekarno yang mengatakan seharusnya islam tidak dicampur adukkan dengan politik. Jika Soekarno mengatakan bahwa islam adalah urusan pribadi yang seharusnya negara tidak ikut campur, Natsir berkata lain. Pemikiran Natsir ini merupakan antitesis dari pemikir sekulerisme yang beranggapan bahwa islam haruslah dipisahkan dari politik.
            
Dalam hal Negara, Natsir pun berpendapat demikian. Menurut Natsir, Negara haruslah diintegrasikan dengan islam. Natsir sangat menentang pandangan sekulerisme yang mengatakan bahwa negara dan islam haruslah dipisahkan karena berkaca pada masa kekhalifahan Bani Usman sebagai bentuk pemerintahan yang tidak sesuai dengan zaman. Natsir dalam menanggapi hal ini pun mengatakan bahwa bentuk negara islam yang dimaksudkan oleh para tokoh sekuler ini bukanlah negara islam. Disini terdapat kekeliruan atau dengan kata lain salah dalam memandang negara islam. Untuk menanggapi hal ini, Natsir berkata:
            
“Kalau kita terangkan, bahwa agama dan negara harus bersatu, maka terbayang sudah dimata seorang bahlul (bloody fool) duduk diatas singgasana, dikelilingi oleh ‘haremnya’ menonton tari ‘dayang-dayang’ Terbayang olehnya yang duduk mengepalai ‘kementerian kerajaan’, beberapa orang tua bangka memegang hoga. Sebab memang beginilah gambaran ‘pemerintahan islam’ yang digambarkan dalam kitab-kitab Eropa yang mereka baca dan diterangkan oleh guru-guru bangsa Barat selama ini. Sebab umumnya (kecuali amat sedikit) bagi orang Eropa: Chalifah=Harem; Islam=poligami.”[5]
            
Kata-kata Natsir ini memberikan kepada kita gambaran bahwa apa yang dianggap oleh orang-orang sekuler yang mengatakan islam dan negara harus dipisahkan dikarenakan mereka merujuk pada penjelasan-penjelasan tentang negara Islam dari bangsa Barat. Hal ini yang menurut Natsir adalah anggapan yang salah. Kesalahan itu disebabkan oleh; pertama, bangsa Barat memandang islam tidak secara obyektif, hal ini semata-mata karena bangsa Barat membenci islam; kedua, negara islam yang dilekatkan dengan kekhalifahan masa bani usman, menurut Natsir bukanlah negara islam yang dimaksudkan karena realita kekhalifahan bani usman sangat berbeda dengan negara islam itu sendiri.
            
Lalu bagaimana sebetulnya bentuk negara islam yang dimaksudkan oleh Natsir? Apakah negara islam berarti negara teokrasi? Natsir tidak secara jelas mendeskripsikan bagaimana negara islam yang dimaksud. Namun negara seharusnya menjamin terwujudnya hukum-hukum Tuhan dimuka bumi. Dalam hal ini, Natsir mengatakan bahwa negara hanyalah alat, bukan tujuan. Natsir tidak menentang demokrasi namun tidak ‘menelan’ begitu saja sistem demokrasi. Demokrasi dapat menjamin terwujudnya hukum-hukum Tuhan yang dimaksud.
            
Dalam hal memandang hukum Tuhan, Natsir mencoba meluruskan pemahaman orang-orang yang begitu saja memahami teks Al-Qur’an. Menurut Natsir, untuk memahami hukum-hukum islam seharusnya dirasionalisasikan terlebih dahulu. Disinilah titik pemikiran Natsir sebagai seorang modernis islam. Menurutnya, teks-teks yang berisikan tentang hukum islam jangan dimaknai secara tekstual, melainkan dilihat secara kontekstual. Dalam hal ini, hukum islam haruslah dilihat dengan posisi rasional dari bagaimana implementasi dari hukum tersebut. Sebagi contoh hukum potong tangan bagi pencuri. Apakah hukuman ini pantas untuk diterapkan kepada pencuri yang mencuri dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan atau harus memenuhi kebutuhan pokok keluarganya karena terjerat oleh kemiskinan? Inilah yang disebut dengan kontestualisasi hukum islam. Bahwa suatu hukum tidak semata-mata diterapkan begitu saja tanpa memandang bagaimana kondisi dari orang-orang yang akan dikenakan hukuman. Oleh karena itu, hukum islam sangatlah rasional dan fleksibel.
            
Bentuk hukum Tuhan ini yang menurut Natsir harus dijamin oleh Negara. Dalam hal ini, Ahmad Suhelmi dalam memberikan penjelasan pemikiran Natsir tentang negara adalah sebuah alat, mengatakan bahwa pendekatan Natsir terhadap pelaksaan syariat atau hukum-hukum islam dalam masyarakat menekankan pada pendekatan legal formal. Artinya ia menganggap perlu adanya kekuasaan pemaksa yang sah dan diakui keberadaannya yang diperlukan untuk, dalam batas-batas tertentu, memaksa individu untuk taat pada hukum-hukum yang telah ditetapkan[6].
            
Sejatinya, menurut Natsir islam adalah ideologi. Islamlah yang akan mengantarkan manusia tidak hanya pada kebahagiaan duniawi, melainkan kebahagiaan ukhrowi. Karena menurutnya penerapan ajaran islam haruslah diterapkan secara universal dalam aspek kehidupan manusia. Natsir pun menjelaskan bagaimana bahaya sekularisme yang menghilangkan “ruh” islam dari kehidupan manusia. Natsir sangat meyakini bahwa tujuan dari kehidupan manusia semata-mata hanya untuk menyembah kepada Allah saja[7]. Dari tujuan inilah manusia merefleksikan ajaran-ajaran Tuhan dalam segenap dimensi kehidupan. Hal ini pula yang menjadi titik penolakan terhadap sekulerisme, dimana paham ini sama saja menjauhkan kedudukan Tuhan dalam kehidupan.
            
Bagaimana seharusnya dasar dari sebuah negara? Menurut Natsir, seharusnya dasar negara adalah islam. Hal ini pun merupakan refleksi atas pemikiran Natsir tentang penyatuan antara islam dan politik. Yusril Ihza Mahendra dalam memberikan penjelasan tentang Natsir dalam tulisannya menyebutkan: 
            
“karena itu, bagi Natsir, iman dan amal saleh, adalah dua perkara yang saling berhubungan erat, karena yang satu tidak akan sempurna tanpa yang lainnya. Iman akan mengingatkan manusia untuk berbuat baik (ihsan) kepada sesama manusia, sebagaimana Tuhan telah berbuat kebaikan kepada mereka. Implementasi amal saleh dalam pengertian yang seluas-luasnya adalah suatu penghambaan manusia terhadap Tuhannya. Konsep tentang hidup adalah memperhambakan diri kepada Tuhan mempunyai makna yang asasi didalam islam. Ini karena paham tauhid memang menegaskan bahwa Tuhan tidaklah menghajatkan sesuatu dari manusia yang menjadi hamba-hamba-Nya.”[8]
            
Dalam hal ini, Natsir memang memiliki semangat keislaman yang sangat tinggi. Inilah sebuah idealisme yang sangat tertanam dalam diri Natsir dan terus dipertahankan selama Natsir menjalani hidupnya khususnya dalam kehidupan politiknya. Walaupun demikian, Natsir menolak sikap taqlid dan harus bersikap kritis dalam memahami ajaran islam. 
            
Natsir pun pada awalnya menerima Pancasila sebagai dasar negara. Menurut Natsir, pancasila dapat mendukung islam itu sendiri tanpa ada pertentangan didalamnya sedikitpun. Menurut Natsir, pancasila adalah hasil musyawarah dari tokoh-tokoh muslim yang mengerti islam itu sendiri. Islam akan tumbuh subur dalam tubuh pancasila apabila penafisran Natsir ini sesuai dalam implementasinya. Namun kenyataan berkata lain. Natsir pada akhirnya berubah pikiran pada tahun 1956 saat sidang konstituante. Natsir menolak pancasila sebagai dasar negara. Hal ini dikarenakan penafsiran pancasila sangatlah berbeda dari apa yang dipikirkan oleh Natsir.
     
Penafsiran atas pancasila yang menjadi pertentangan dalam sidang konstituante adalah bahwa pancasila menjadi terkesan memisahkan islam dari politik. Sikap Natsir yang berubah pikiran ini bukan karena Natsir menolak pancasila, melainkan penafsiran atas pancasila itu sendiri. Natsir pun beranggapan bahwa poin-poin dalam pancasila itu bersifat relatif. Dapat ditafsirkan dalam beragam macam bentuk, oleh karena itu poin-poin dalam pancasila ini tidak dapat dijadikan sebagai ideologi[9]. Hal ini bertentangan dengan nilai-nilai islam yang diwahyukan oleh Tuhan kepada manusia berupa ajaran islam yang komprehensif. Oleh karena itu, Natsir secara tegas mengatakan bahwa dasar dari negara Indonesia adalah islam.
            
Tentunya dalam membahas tentang pemikiran seseorang, perlu untuk dilihat bagaimana pemikiran tersebut relevan dengan kondisi sekarang atau tidak. Hal ini semata-mata dilakukan agar seseorang tidak terjebak dalam romantisme masa lalu dan benar-benar mengetahui apakah pemikiran seseorang yang bebeda zaman masih relevan dengan konteks masa kini.
            
Pemikiran Mohammad Natsir, sampai sekarang masih memiliki relevansi. Hal ini bukan semata-mata pada pemikiran Natsir sendiri, melainkan implementasi pemikiran Natsir tentang negara ini diwujudkan dalam perjuangan partai Masyumi. Ideologi Masyumi, merupakan refleksi perjuangan Natsir untuk merealisasikan pemikirannya. Namun apakah ideologi ini masih relevan dengan konteks masa kini? Penulis dalam hal ini mengatakan; iya, pemikiran Natsir ini masih relevan dengan konteks masa kini, bahkan ada yang secara tidak langsung memiliki semangat yang sama dengan perjuangan Natsir ini.
            
Salah satu partai politik di masa reformasi yang memiliki semangat yang sama dalam memperjuangkan islam dalam negara adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Untuk memberikan penjelasan ini, penulis tidak akan memberikan pembanding antara PKS dengan Masyumi, hanya saja penulis akan menunjukkan ‘benang merah’ antara pemikiran Natsir tentang negara ini dengan pandangan politik PKS mengenai negara. Dalam hal ini, penulis mengutip pernyataan M. Imdadun Rahmat dalam bukunya yang berjudul “Ideologi Politik PKS”, ia mengatakan:
            
“Selain terpengaruh secara kuat oleh Ikhwanul Muslimin, PKS juga merupakan salah satu hasil dari transformasi Masyumi. Peran penting yang dimainkan Mohammad Natsir dan DDII dalam kelahiran dan pengembangan Lembaga Dakwah Kampus (LDK) sebagai embrio PKS, telah membuka jalan bagi para tokoh Masyumi untuk turut serta meletakkan dasar-dasar pemikiran keagamaan dan ideologi politik ke partai dakwah ini. Keterlibatan para aktivis DDII dalam mengembangkan jaringan LDK ini turut memperkuat warna ideologi islam yang diusung Masyumi dalam bangunan gerakan dakwah PKS”[10]   
            
Penulis tidaklah menyamakan secara pasti bahwa ideologi politik PKS ini sepenuhnya dipengaruhi oleh pemikiran Natsir. PKS secara jelas dipengaruhi kuat oleh ideologi Ikhwanul Muslimin di Mesir yang didirikan Hasan Al-Banna. Corak perjuangan dan bentuk perjuangannya sama karena PKS merupakan “anak idelogis” dari Ikhwanul Muslimin. Namun dalam hal ini penulis mencoba membandingkan pemikiran Natsir dan gerakan PKS ini, terlepas dari apakah memang PKS merupakan transformasi langsung dari partai Masyumi atau bukan, karena pemikiran Natsir tentang negara memiliki kesamaan dengan idelogi politik PKS ini. Artinya, disinilah titik relevansi bahwa pemikiran Natsir masih relevan dengan konteks masa kini. Beberapa kesamaan antara pemikiran Natsir dengan idelogi politik PKS yaitu: Dalam pemikiran politik Natsir, islam dan politik (negara) tidak dapat dipisahkan. Hal ini sejalan dengan gerakan PKS yang mengatakan bahwa antara islam dan politik tidak dapat dipisahkan.

Cara pandang Natsir terhadap Islam, bahwa islam merupakan ajaran yang universal mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia. Hal ini sama dengan ideologi PKS bahwa islam adalah ajaran yang universal, dan harus diwujudkan dalam segenap kehidupan manusia. Oleh karena itu corak perjuangan islam dalam PKS ini dilakukan secara gradual. Dalam sistem gerakan Tarbiyah, dikenal istilah mihwar atau medan-medan dalam perjuangan dakwah. Setiap mihwar tersebut merupakan implementasi dari penerapan islam dalam kehidupan manusia.

Natsir memperjuangkan islam sebagai dasar negara, tetapi Natsir tidak menolak demokrasi karena menurutnya demokrasi dapat digunakan sebagai alat untuk memperjuangkan syariat islam. Model ini sama seperti PKS tanpa menolak demokrasi, melainkan menggunakan demokrasi dengan membentuk partai dan mewakilkan perwakilannya dalam parlemen karena semata-mata untuk mewarnai hukum dengan warna islam.
           
Pemikiran Mohammad Natsir tentang negara, memiliki sebuah pengaruh yang besar dalam perkembangan politik islam di Indonesia. Natsir merupakan seorang modernis islam dan memiliki idealisme yang tidak pernah berubah sepanjang kehidupannya. Menurut penulis, Natsir adalah seorang negarawan sejati. Natsir mampu meletakkan dasar-dasar perjuangannya semata-mata untuk kepentingan masyarakat, bukan untuk kepentingan dirinya. Walaupun Natsir diduga terlibat dalam gerakan DI/TII pada masa itu, Natsir sejatinya dapat dijadikan contoh bagi para pemegang kekuasaan saat ini.
            
Pemikirannya tentang negara, merupakan hasil jerih payah Natsir dalam menempuh pendidikan Barat dan islam secara bersamaan. Pendidikan Barat membuat Natsir semakin sadar bahwa Indonesia haruslah dibebaskan dari penjajahan dengan melalui perjuangan politik. Tentang negara, Natsir merupakan tokoh yang memperjuangkan islam sebagai dasar negara. Menurutnya, islam adalah ajaran yang bersifat universal mencakup seluruh aspek kehidupan manusia sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan begitu saja. Oleh karena itu, Natsir dapat dikatakan sebagai seorang negarawan yang sangat religius dan sumbangan pemikirannya masih sangat relevan dan bahkan diperjuangkan sampai saat ini.

DAFTAR PUSTAKA

Guanawan, Hendra. M.Natsir dan Darul Islam: Studi Kasus Aceh dan Sulawesi Selatan Tahun 1953 – 1958. Jakarta: Media Dakwah, 2000.

Muliati, Indah. Pandangan Mohammad Natsir tentang Demokrasi: Kajian Pemikiran Politik Islam. Hlm. 12 diunduh dari http://pustaka.unp.ac.id diakses pada 13 Desember 2012 pukul 21.21

Rahmat, M. Imdadun. Ideologi Politik PKS: Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen.    Yogyakarta: LKiS, 2008.

Suhelmi, Ahmad. Polemik Negara Islam: Soekarno versus Natsir. Jakarta: TERAJU, 2002.

Catatan kaki:

[1] Hendra Gunawan. M.Natsir dan Darul Islam: Studi Kasus Aceh dan Sulawesi Selatan Tahun 1953 – 1958. Jakarta: Media Dakwah, 2000. Hlm. 1

[2]Ahmad Suhelmi. Polemik Negara Islam: Soekarno versus Natsir. Jakarta: TERAJU, 2002. Hlm. 29 

[3] Ibid., Hlm. 30

[4] Ibid., Hlm. 33

[5]Natsir, Capita Selecta, yang dikutip dalam Ahmad Suhelmi, Ibid., hlm. 87 – 88  

[6] Ibid., Hlm. 123

[7] Firman Allah dalam Al-Qur’an surah Adz-Zariyat (51) ayat 56 : “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk menyembah kepada-Ku”

[8] Yusril Ihza Mahendra, dikutip dalam Hendra Gunawan, op.cit, hlm. 20

[9] Indah Muliati. Pandangan Mohammad Natsir tentang Demokrasi: Kajian Pemikiran Politik Islam. Hlm. 12 diunduh dari http://pustaka.unp.ac.id diakses pada 13 Desember 2012 pukul 21.21

[10] M.Imdadun Rahmat. Ideologi Politik PKS: Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen. Yogyakarta: LKiS, 2008. Hlm. 3

0 comments:

Posting Komentar