“UI Jangan Lagi BerKuMis (Berantakan, Kurang
Transparan, Misadministrasi)”
Kalimat ini saya
dengar dari rekan-rekan BEM FHUI ketika aksi didepan gedung rektorat UI rabu, 4
Juli 2012 yang lalu. Terdengar agak aneh tapi lucu, teringat dengan jargon
salah satu calon gubernur DKI Jakarta yang sempat membuat kontroversial. Sebagai
mahasiswa UI, memang sudah seharusnya peduli terhadap masalah yang ada
dilingkungan kampusnya.
Terlebih lagi, masalah di UI sangat banyak dan
berpengaruh pada lingkungan eksternal. Saya sepakat dengan jargon kalimat
diatas bahwa UI pada saat ini bisa dibilang “berantakan”, mengapa? Pasalnya tata
kelola universitas yang aneh bin ajaib ini semakin menjadi-jadi sejak
diangkatnya “Pak Kumis” menjadi rektor pada tahun 2007 lalu. Ada beberapa hal
yang perlu disoroti pada masalah ini.
Pertama,
adanya pembangunan fisik yang tidak jelas manfaatnya dan terkesan
menghambur-hamburkan dana. Pembangunan aneh dan tidak jelas itu semakin dibuat
aneh karena adanya otoritas rektor yang membangun sekehendaknya. Bagaimana
tidak, ada boulevard yang dibangun
dan tidak tahu apa manfaatnya. Yang saya tahu, boulevard itu fungsinya ada tiga; yaitu tempat nongkrong dan wisata
hari libur, tempat maksiat anak muda di malam minggu, dan tempat kerjanya
Barisan Merah Saga (BSM) melakukan sweeping.
Contoh pembangunan aneh lainnya yang akhirnya terhenti adalah Integrated Faculty Club. Jangan-jangan, nantinya
ada rencana membangun UI Town Square
yang menyaingi Detos.
Kedua,
hubungan yang tidak harmonis antara rektor dengan Majelis Wali Amanat (MWA).
Seharusnya, sejak status UI sebagai BHMN, kedudukan rektor diawasi oleh MWA.
Sehingga rektor sejatinya tidak mempunyai kewenangan yang otoriter untuk
membuat kebijakan. Setiap kebijakan yang akan diputuskan, rektor perlu mendapat
persetujuan dari MWA. Kenyataannya, hampir semua kebijakan rektor tidak
mendapat pengesahan dari MWA itu sendiri. Baik dari pembangunan fisik sampai
dengan pemberian gelar Doktor Honoris
Causa terhadap raja Arab Saudi. Kemudian, kenyataan aneh berikutnya adalah
ternyata tidak adanya tindakan tegas dari MWA itu sendiri untuk memberikan
sanksi terhadap rektor yang berkuasa. Sebetulnya ada apa ini? Kita tidak tahu
apa yang terjadi, tetapi kita hanya bisa menduga-duga.
Ketiga,
tidak adanya transparansi keuangan yang menyebabkan munculnya pertanyaan.
Apakah ada praktik korupsi dibalik semua ini? Dalam sejarahnya, baru dalam
pemerintahan rektor periode 2007 – 2012 ini yang membuat kebijakan sentralisasi
keuangan. Memang, kita tidak bisa menyalahkan ini sepenuhnya, tergantung
daripada tujuan kebijakan itu sendiri. Namun, kenyataannya kebijakan ini
menyulitkan fakultas untuk mendapatkan dana terkait dengan pembangunan
infrastruktur agar adanya perbaikan sarana-prasarana.
Keempat,
biaya kuliah yang semakin mahal. Kita tahu bahwa setiap mahasiswa diberikan hak
untuk mengajukan BOP-Berkeadilan agar biaya kuliah yang dibayar sesuai dengan
kemampuan finansial masing-masing mahasiswa (khusus untuk mahasiswa S1 Reguler).
Masalahnya adalah penetapan sistem BOP-B yang lagi-lagi tidak transparan dan
hanya melibatkan sebagian kecil pihak. Apalagi persoalan biaya S1 profesi bagi
mahasiswa FKG yang melambung tinggi hingga mencapai Rp.15 juta. Bagaimana
mungkin mahasiswa miskin/tidak mampu dapat membayarnya? Sedangkan bermodalkan sarjana
biasa tidak akan berarti apa-apa bagi mahasiswa FKG kecuali gelar yang tersemat
diakhir namanya.
Kelima,
ternyata pihak-pihak yang dirugikan tidak hanya terjadi pada kalangan mahasiswa
saja. Melainkan para kaum proletar seperti satpam, pegawai-pegawai biasa yang
tidak mendapat perhatian dari segi kesejahteraannya. Apalagi katanya uang-uang
yang mengalir selain digunakan untuk pembangunan yang katanya tidak jelas,
dipakai juga untuk memberikan makan bagi anjing-anjing milik rektor.
Wallau’alam,
namun itulah informasi yang saya dapatkan terkait dengan masalah-masalah yang
ada di kampus milik rakyat ini. Sesungguhnya, jika memang kedzholiman ini
adalah kenyataan yang terungkap, tidak hanya warga UI saja yang dirugikan,
tetapi rakyat Indonesia yang akan rugi. Kita tahu, persepsi masyarakat terhadap
UI kebanyakan dinilai positif. Itu memang benar, tapi tidak untuk saat ini.
Anggapan bahwa biaya kuliah di UI itu murah bagi sebagian besar orang, mungkin
saat ini itu hanya menjadi angan-angan belaka. Jika dibiarkan seperti ini,
pendidikan layak hanya dapat dirasakan oleh sebagian masyarakat yang mampu dan
hilang kesempatan masyarakat miskin/tidak mampu untuk merasakan nikmatnya
pendidikan tinggi.
Sempat rasanya hati “tertusuk”
ketika mendengar orasi dari ketua BEM FHUI pada aksi rabu, 4 Juli 2012 yang
lalu. Dia mengutip kalimat dari mukadimah UUD 1945, “mencerdaskan kehidupan
bangsa.” Bagaimana mungkin bangsa bisa cerdas jika biaya pendidikan tidak dapat
dijangkau oleh masyarakat? Yang ada justru “mencerdaskan SEBAGIAN bangsa.”
Padahal, UI dikenal sebagai kampus milik rakyat. Dari sanalah rakyat meletakkan
harapan-harapan untuk tercetaknya pribadi-pribadi yang dapat menjadikan
Indonesia ke arah yang lebih baik lagi.
“Kami rakyat Indonesia membutuhkan
pendidikan untuk memperbaiki kehidupan kami.” Kemanakah nilai Veritas, Probitas, Iustitia (Kebenaran,
Kejujuran dan Keadilan) yang diagung-agungkan? Apakah ia sudah mati dan tidak
bernyawa? Disinilah, menurut saya, tugas mahasiswa menjalankan fungsinya
sebagai social control. Kita
mengawasi setiap gerak-gerik penguasa, kita bersikap kritis terhadap mereka
yang menggunakan kewenangan dijalur yang salah. Mahasiswa harus menghilangkan
sikap apatisnya dan harus bersatu untuk membangun pendidikan negeri ini agar
terciptanya bangsa Indonesia yang cerdas dan bermartabat.
0 comments:
Posting Komentar