Sabtu, 07 Juli 2012

UI Jangan Lagi "BerKuMis"

UI Jangan Lagi BerKuMis (Berantakan, Kurang Transparan, Misadministrasi)

Kalimat ini saya dengar dari rekan-rekan BEM FHUI ketika aksi didepan gedung rektorat UI rabu, 4 Juli 2012 yang lalu. Terdengar agak aneh tapi lucu, teringat dengan jargon salah satu calon gubernur DKI Jakarta yang sempat membuat kontroversial. Sebagai mahasiswa UI, memang sudah seharusnya peduli terhadap masalah yang ada dilingkungan kampusnya. 

Terlebih lagi, masalah di UI sangat banyak dan berpengaruh pada lingkungan eksternal. Saya sepakat dengan jargon kalimat diatas bahwa UI pada saat ini bisa dibilang “berantakan”, mengapa? Pasalnya tata kelola universitas yang aneh bin ajaib ini semakin menjadi-jadi sejak diangkatnya “Pak Kumis” menjadi rektor pada tahun 2007 lalu. Ada beberapa hal yang perlu disoroti pada masalah ini.

Pertama, adanya pembangunan fisik yang tidak jelas manfaatnya dan terkesan menghambur-hamburkan dana. Pembangunan aneh dan tidak jelas itu semakin dibuat aneh karena adanya otoritas rektor yang membangun sekehendaknya. Bagaimana tidak, ada boulevard yang dibangun dan tidak tahu apa manfaatnya. Yang saya tahu, boulevard itu fungsinya ada tiga; yaitu tempat nongkrong dan wisata hari libur, tempat maksiat anak muda di malam minggu, dan tempat kerjanya Barisan Merah Saga (BSM) melakukan sweeping. Contoh pembangunan aneh lainnya yang akhirnya terhenti adalah Integrated Faculty Club. Jangan-jangan, nantinya ada rencana membangun UI Town Square yang menyaingi Detos.

Kedua, hubungan yang tidak harmonis antara rektor dengan Majelis Wali Amanat (MWA). Seharusnya, sejak status UI sebagai BHMN, kedudukan rektor diawasi oleh MWA. Sehingga rektor sejatinya tidak mempunyai kewenangan yang otoriter untuk membuat kebijakan. Setiap kebijakan yang akan diputuskan, rektor perlu mendapat persetujuan dari MWA. Kenyataannya, hampir semua kebijakan rektor tidak mendapat pengesahan dari MWA itu sendiri. Baik dari pembangunan fisik sampai dengan pemberian gelar Doktor Honoris Causa terhadap raja Arab Saudi. Kemudian, kenyataan aneh berikutnya adalah ternyata tidak adanya tindakan tegas dari MWA itu sendiri untuk memberikan sanksi terhadap rektor yang berkuasa. Sebetulnya ada apa ini? Kita tidak tahu apa yang terjadi, tetapi kita hanya bisa menduga-duga.

Ketiga, tidak adanya transparansi keuangan yang menyebabkan munculnya pertanyaan. Apakah ada praktik korupsi dibalik semua ini? Dalam sejarahnya, baru dalam pemerintahan rektor periode 2007 – 2012 ini yang membuat kebijakan sentralisasi keuangan. Memang, kita tidak bisa menyalahkan ini sepenuhnya, tergantung daripada tujuan kebijakan itu sendiri. Namun, kenyataannya kebijakan ini menyulitkan fakultas untuk mendapatkan dana terkait dengan pembangunan infrastruktur agar adanya perbaikan sarana-prasarana.

Keempat, biaya kuliah yang semakin mahal. Kita tahu bahwa setiap mahasiswa diberikan hak untuk mengajukan BOP-Berkeadilan agar biaya kuliah yang dibayar sesuai dengan kemampuan finansial masing-masing mahasiswa (khusus untuk mahasiswa S1 Reguler). Masalahnya adalah penetapan sistem BOP-B yang lagi-lagi tidak transparan dan hanya melibatkan sebagian kecil pihak. Apalagi persoalan biaya S1 profesi bagi mahasiswa FKG yang melambung tinggi hingga mencapai Rp.15 juta. Bagaimana mungkin mahasiswa miskin/tidak mampu dapat membayarnya? Sedangkan bermodalkan sarjana biasa tidak akan berarti apa-apa bagi mahasiswa FKG kecuali gelar yang tersemat diakhir namanya.

Kelima, ternyata pihak-pihak yang dirugikan tidak hanya terjadi pada kalangan mahasiswa saja. Melainkan para kaum proletar seperti satpam, pegawai-pegawai biasa yang tidak mendapat perhatian dari segi kesejahteraannya. Apalagi katanya uang-uang yang mengalir selain digunakan untuk pembangunan yang katanya tidak jelas, dipakai juga untuk memberikan makan bagi anjing-anjing milik rektor.

Wallau’alam, namun itulah informasi yang saya dapatkan terkait dengan masalah-masalah yang ada di kampus milik rakyat ini. Sesungguhnya, jika memang kedzholiman ini adalah kenyataan yang terungkap, tidak hanya warga UI saja yang dirugikan, tetapi rakyat Indonesia yang akan rugi. Kita tahu, persepsi masyarakat terhadap UI kebanyakan dinilai positif. Itu memang benar, tapi tidak untuk saat ini. Anggapan bahwa biaya kuliah di UI itu murah bagi sebagian besar orang, mungkin saat ini itu hanya menjadi angan-angan belaka. Jika dibiarkan seperti ini, pendidikan layak hanya dapat dirasakan oleh sebagian masyarakat yang mampu dan hilang kesempatan masyarakat miskin/tidak mampu untuk merasakan nikmatnya pendidikan tinggi.

Sempat rasanya hati “tertusuk” ketika mendengar orasi dari ketua BEM FHUI pada aksi rabu, 4 Juli 2012 yang lalu. Dia mengutip kalimat dari mukadimah UUD 1945, “mencerdaskan kehidupan bangsa.” Bagaimana mungkin bangsa bisa cerdas jika biaya pendidikan tidak dapat dijangkau oleh masyarakat? Yang ada justru “mencerdaskan SEBAGIAN bangsa.” Padahal, UI dikenal sebagai kampus milik rakyat. Dari sanalah rakyat meletakkan harapan-harapan untuk tercetaknya pribadi-pribadi yang dapat menjadikan Indonesia ke arah yang lebih baik lagi.

“Kami rakyat Indonesia membutuhkan pendidikan untuk memperbaiki kehidupan kami.” Kemanakah nilai Veritas, Probitas, Iustitia (Kebenaran, Kejujuran dan Keadilan) yang diagung-agungkan? Apakah ia sudah mati dan tidak bernyawa? Disinilah, menurut saya, tugas mahasiswa menjalankan fungsinya sebagai social control. Kita mengawasi setiap gerak-gerik penguasa, kita bersikap kritis terhadap mereka yang menggunakan kewenangan dijalur yang salah. Mahasiswa harus menghilangkan sikap apatisnya dan harus bersatu untuk membangun pendidikan negeri ini agar terciptanya bangsa Indonesia yang cerdas dan bermartabat.

0 comments:

Posting Komentar