Minggu, 21 April 2013

Mendamaikan Islam dan Demokrasi: Sebuah Catatan Kritis

Bahan Bacaan: Richard Rose, “How Muslims View Democracy: Evidence from Central Asia”, Journal of Democracy Volume 13, Number 4 October 2012, pp. 102 – 111

Perdebatan mengenai apakah islam relevan dengan demokrasi bukanlah sesuatu yang baru. Term “Islam dan demokrasi” sudah banyak dibicarakan dalam berbagai diskusi publik ataupun ulasan dalam buku dan berbagai jurnal ilmiah. Tulisan ini bukan mengulang kembali perdebatan tentang term yang dimaksud. Richard Rose, penulis artikel ini lebih menekankan pada bukti-bukti yang didapatkan melalui survei di dua tempat; Kazakhstan dan Kyrgyzstan untuk melihat bagaimana reaksi masyarakat muslim di tempat tersebut terhadap sistem politik demokrasi. Penulis artikel ini juga berusaha untuk memberikan antitesis terhadap pandangan bahwa kelompok islamis menolak demokrasi, salah satunya pandangan Samuel P. Huntington dalam The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order tentang “esensialis” bahwa perbedaan mendasar dalam konteks nilai Barat dan Islam yang berbeda menyebabkan Islam tidak akan pernah bertemu dengan demokrasi.

Kazakhstan dan Kyrgyzstan merupakan dua Negara post-communism (dibawah kekuasaan Uni Soviet) yang penduduknya adalah mayoritas muslim. Survei yang dilakukan oleh Rose menunjukkan data komposisi penduduk dikedua Negara; Kazakhstan (Muslim 40%, Russian Orthodox 38%, Tidak Beragama 16% dan sisanya berbagai kepercayaan lain) dan Kyrgyzstan (Muslim 75%, Kristen 16%, tidak beragama 4% dan sisanya dari beragam agama lainnya). Secara konsisten penduduk di kedua Negara tersebut – khususnya penduduk Muslim – lebih dari 60% menjalankan aturan keagamaannya. Temuan yang cukup menarik disini, bahwa ketika ditanya tentang apakah demokrasi merupakan sistem politik yang lebih baik untuk diterapkan dalam pemerintahan dibandingkan sistem yang lain, lebih dari 60% muslim setuju terhadap pernyataan tersebut. Dalam hal ini, komunitas muslim tidak ada perbedaan yang cukup signifikan dengan kelompok agama lainnya. Hal yang cukup ekuivalen dengan komitmen terhadap aturan agama adalah ketika ditanya apakah kelompok muslim pernah meminum alkohol, lebih dari 50% mengatakan tidak pernah dan sebagian besar dari sisanya menyatakan jarang-jarang.

Terlepas dari metodologi, survei ini dapat dijadikan bukti yang kuat untuk “mematahkan” argumen bahwa umat islam menolak demokrasi. Meskipun kita tidak dapat menjadikan temuan dalam artikel ini sebagai landasan argumen, tetapi setidaknya tesis universalisme tentang islam dan demokrasi dapat difalsifikasikan.

Sebuah Catatan Kritis

Luthfi Assyaukanie dalam pembukaan tulisannya yang berjudul “Islam dalam Transisi Demokrasi di Indonesia”, menjelaskan tentang kehidupan kontradiktif yang disebutkan dalam istilah agama sebagai “mahzab khalaf” dan “mahzab salaf”. Term yang pertama merujuk pada pembaharuan gerakan islam sebagai kehidupan yang berorientasi pada kehidupan masa depan dan adanya upaya untuk memperbaiki setiap aspek dalam kehidupannya, sedangkan term yang kedua merujuk pada kelompok islamis yang berorientasi pada masa lalu. Term yang ingin saya gunakan disini adalah yang pertama, tentang adanya orientasi masa depan dalam kehidupan islam untuk mendamaikan islam dan demokrasi.

Demokrasi, jika kita analogikan, seperti tanah yang subur. Tanah ini cocok untuk ditanami berbagai macam tanaman apapun. Analogi ini cukup tepat untuk menggambatkan bahwa demokrasi merupakan lingkungan yang cocok untuk tumbuhnya “ekspresi-ekspresi baru” dalam masyarakat, termasuk keberagaman dalam kelompok islamis. Menurut hemat saya, adanya pandangan bahwa islam tidak cocok dengan demokrasi sangatlah naïf. Pertama, pandangan ini hanya mendasarkan diri pada anggapan bahwa demokrasi adalah sistem Barat yang secara eksplisit merupakan “musuh” islam. Generalisasi ini tidak tepat karena tidak ada relevansi antara “Barat sebagai musuh Islam” terhadap “Islam dan demokrasi”. Kedua, meskipun ajaran demokrasi datang dari Barat, namun secara substansial nilai-nilai ideal yang ada didalamnya merupakan nilai universal yang terdapat juga didalam islam itu sendiri. Demokrasi menginginkan terwujudnya keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan pengakuan atas hak-hak minoritas juga merupakan cita-cita yang diinginkan didalam islam. Ketiga, adanya paradoks dalam gerakan islam yang menolak demokrasi, padahal dalam gerakannya sendiri secara tidak langsung memakai demokrasi sebagai alat politiknya.

Oleh karena itu, diakhir tulisan ini saya menyatakan bahwa islam dan demokrasi secara substansial tetap relevan. Bukti yang ditunjukkan oleh Richard Rose tersebut, menurut saya cukup untuk memberikan bukti bahwa perilaku muslim sendiri tidak sepenuhnya menolak demokrasi. Catatan kritis yang saya berikan disini adalah sebagai tambahan dari sisi substantif untuk memperbandingkannya dengan temuan dalam survei yang dilakukan oleh penulis dalam jurnal ini.

0 comments:

Posting Komentar