Senin, 08 April 2013

Menuju Demokrasi Mesir: Perspektif Gelombang Demokratisasi Ketiga

Kemunculan gerakan islam dan aliansi kelompok sipil diberbagai negara Timur Tengah senantiasa diwarnai dengan aksi-aksi kekerasan. Hal ini dikarenakan kemunculan para reformis yang menuntut adanya perubahan, berhadapan dengan rezim yang diktatoral dan militer yang sangat kuat. Fenomena ini bukan hanya sebuah “letupan” kecil yang tidak berarti apapun, melainkan dari gerakan-gerakan yang terus menerus dilakukan sampai akhirnya memunculkan gerakan revolusioner dalam massa yang sangat besar dan mencapai keberhasilannya yaitu meruntuhkan rezim diktatoral. Kejadian ini pun muncul di Mesir, dibawah rezim Hosni Mubarak. Tanggal 25 Januari 2011 terjadi revolusi massa yang berhasil menjatuhkan Husni Mubarak dari pemerintahan dalam waktu 11 hari.

Pertanyaan terbesar dalam kasus ini adalah bagaimana arah politik Mesir kedepannya? Apakah kaum reformis menginginkan terwujudnya sistem politik yang demokratis, dimana hak-hak politik dan kesetaraan menjadi nilai dasar dalam kehidupan kenegaraan? Tulisan ini merupakan jawaban atas pertanyaan tersebut. Dalam hal ini saya menggunakan pendekatan historis, bagaimana proses munculnya kebangkitan di negara-negara Arab (Arab Spring), khususnya  kebangkitan gerakan islam yang berhadapan dengan rezim, sampai dengan keruntuhan rezim diktator dan dikontekstualisasikan dalam pengalaman di Mesir. Kemudian saya mengaitkan dengan teori gelombang demokratisasi ketiga Huntington, sebagai dasar analisis saya dalam menjelaskan kasus ini. Diakhir tulisan ini saya akan memberikan analisis singkat berkaitan dengan masa depan demokrasi Mesir.

Fenomena Arab Spring

Pada 17 Desember 2010, terjadi sebuah insiden yang berawal dari tindakan penyitaan toko yang dilakukan oleh seorang opsir di sebuah kota di Tunisia kepada seorang pedagang sayuran, Mohammed Bouazizi. Penyitaan dilakukan karena Bouazizi tidak memiliki surat lisensi atas toko yang dimilikinya. Untuk mendapatkan lisensi tersebut, seseorang harus memiliki hubungan dekat dengan pejabat terkait atau membayar sejumlah besar uang. Fenomena ini memicu Bouazizi untuk melakukan tindakan nekat, yaitu melakukan aksi bunuh diri didepan kantor pemerintahan lokal. Kejadian ini memicu aksi protes yang berujung pada konflik dengan aparat yang menyebabkan kematian pada beberapa orang masyarakat sipil. Insiden ini menjadi pintu gerbang kemunculan Arab Spring . Dalam beberapa bulan kedepan, gelombang protes terjadi di Tunisia sampai pecahnya revolusi yang berhasil menurunkan Presiden diktatoral Tunisia, Ben Ali pada 14 Januari 2011.

Terlepas dari itu, gerakan protes sampai keruntuhan rezim diktatoral tidak terjadi dalam waktu yang singkat. Di berbagai wilayah Timur Tengah sejak awal tahun 2000 bahkan ditahun-tahun sebelumnya sudah terjadi berbagai macam gerakan perlawanan. Palestina misalnya, terjadi gerakan intifadha (revolusi pembebasan) pada dekade 1980-an dan 2000 sebagai bentuk perlawanan terhadap Israel, agresi militer Amerika Serikat di Irak, perang Gaza (2008 – 2009) dan berbagai gerakan perlawanan yang pecah sebagai bentuk protes terhadap rezim. Namun apa yang dihadapi oleh gerakan revolusioner ini tidaklah mudah, mereka dihadapkan dengan militer yang sangat kuat dan loyal terhadap rezim status quo.

Setiap bentuk gerakan perlawanan yang terjadi hampir semua berimplikasi pada aksi-aksi kekerasan yang memakan banyak korban dari masyarakat sipil. Mohammed M. Hafez dan Quintan Wiktorowicz mengatakan bahwa gerakan perlawanan yang radikal, khususnya yang dilakukan oleh kelompok islam, bukan dikarenakan adanya fanatisme terhadap agama ataupun kelompok. Hal ini diakibatkan sebagai pilihan rasional mereka, karena perlawanan dengan kekerasan merupakan akibat dari rezim yang represif . Pandangan ini sangatlah logis, mengingat bahwa gerakan perlawanan dengan kekerasan tidak dilakukan oleh kelompok islam saja, melainkan dari kelompok Kristen koptik dan berbagai aliansi pun melakukan hal yang sama.

Jika merujuk pada konsep Huntington yang dikutip oleh Ali Sarihan, kemunculan kaum reformis disebabkan oleh posisi mereka yang berada dibawah rezim represif yang mengekang hak-hak politik, sehingga dalam hal ini tuntutan atas kebebasan menjadi agenda utama yang diperjuangkan oleh mereka . Hal ini sejalan dengan kenyataan pada pernyataan sebelumnya bahwa kekerasan menjadi jalan rasional untuk melawan rezim yang represif.

Huntington, dalam teori gelombang demokratisasi ketiga, memberikan penjelasan tentang beberapa bentuk pola gelombang demokratisasi. Pola pertama, menjelaskan bahwa gelombang demokratisasi diakibatkan adanya penyebab tunggal. Dalam hal ini, demokratisasi pada mulanya terjadi karena adanya faktor tunggal yang menjadi pemicu bagi kemunculan gelombang demokratisasi secara serentak. Konteks penyebab tunggal ini biasanya berkaitan dengan peristiwa besar yang terjadi sehingga memberikan dampak yang cukup signifikan dalam dunia internasional. Sebagai contoh, kemenangan pihak sekutu dalam Perang Dunia ke-II merupakan peristiwa besar yang menjadi penyebab tunggal yang memicu beberapa bangsa Amerika Latin untuk membentuk rezim yang demokratis.

Pola kedua, Huntington menyebutkan tentang perkembangan demokratisasi yang paralel. Pola ini menjelaskan bahwa demokratisasi pada suatu negara, akan terjadi jika negara tersebut telah memenuhi persyaratan tertentu. Seperti pencapaian pada tingkat pendapatan perkapita tertentu dan rasio melek aksara tertentu. Adanya indikator tertentu berkaitan dengan adanya variabel yang bersifat khusus yang secara signifikan menjadi simultan bagi perkembangan demokrasi disebuah negara.

Pola ketiga, penyebab munculnya demokratisasi disebuah negara disebabkan karena adanya gelombang demokratisasi dinegara lain. Bahkan gelombang ini mampu mempengaruhi negara-negara yang ada disekitarnya untuk melakukan hal yang sama. Penjelasan ini oleh Huntington disebut sebagai efek bola salju. Fenomena efek bola salju dalam kemunculan gelombang demokratisasi akan sangat mudah terjadi dengan cepat karena adanya media informasi yang menyebar diseluruh dunia. Ketika informasi itu sampai dibelahan dunia lain, memicu kelompok masyarakat diwilayah lain untuk meniru hal yang sama. Dalam hal ini, perilaku meniru biasanya didasarkan pada solidaritas ataupun atas dasar kesamaan kondisi yang dihadapi.

Terakhir, pola keempat, Huntington menyebutkan tentang adanya nostrum yang paling luas digunakan. Konsep ini beranggapan bahwa sebab yang terjadi diberbagai negara mungkin berbeda, namun respon yang dihasilkannya sama. Respon yang sama ini berdasarkan pada anggapan bahwa respon yang dilakukan merupakan cara yang ampuh untuk menjawab sebab-sebab yang berbeda tersebut. Huntington memberikan contoh sederhana tentang beberapa orang yang memilki keluhan sakit yang berbeda, namun mereka semua meminum aspirin karena mereka yakin obat tersebut dapat menyembuhkan sakit yang diderita. Konteks ini juga berkaitan dengan keputusan politik. Bahwa ada satu keyakinan bahwa keputusan politik yang diambil sangatlah tepat untuk merespon masalah-masalah yang dihadapi walaupun berbeda satu sama lain .

Jika kita menggunakan analisis ini untuk menjelaskan fenomena Arab Spring, kita akan melihat secara jelas bahwa pola efek bola salju sangat tepat untuk menjelaskan kemunculan gerakan perlawanan dinegara-negara Timur Tengah yang berakhir pada revolusi massa. Gerakan pemicu muncul di Tunisia dan berefek pada kemunculan gerakan-gerakan serupa dibeberapa negara lain di Timur Tengah yang berhasil menciptakan revolusi untuk menjatuhkan rezim  yang berkuasa. Dalam hal ini, Arab Spring terjadi karena efek bola salju, yang memicu bola salju ini menjadi “raksasa” bagi rezim status quo. Namun perlu diingat bahwa, ledakan gerakan perlawanan terjadi dalam jangka waktu yang lama, gerakan perlawanan terjadi bukan semata-mata karena adanya efek bola salju, melainkan ia merupakan refleksi atas kondisi yang memang sudah seharusnya diubah. Dalam hal ini, negara-negara di Timur Tengah mengalami hal yang sama dan berhadapan dengan situasi yang sama. Oleh karena itu,, konsep efek bola salju ini dapat dikatakan tepat untuk digunakan sebagai analisis sejak kemunculan Arab Spring pada 2010 yang berititik tolak di Tunisia dan berakhir pada revolusi massa.

Membaca Demokratisasi Mesir

Sudah tiga dekade kepemimpinan Mesir berada dibawah rezim diktatoral sampai pada akhirnya terjadi revolusi pada 25 Januari 2011, dimana massa dari berbagai kelompok berkumpul di Tahrir Square. Revolusi tidak berlangsung secara sia-sia, meskipun memakan korban dalam jumlah besar, pada 11 Februari 2011 akhirnya rezim ini berakhir. Pengalaman di Mesir ini merupakan refleksi Arab Spring sebagaimana kebangkitan gerakan masyarakat sipil diberbagai negara Timur Tengah.

Huntington, dalam teorinya mengenai gelombang demokratisasi ketiga, sebagaimana yang dikutip oleh Ali Sahran, menyebutkan tentang beberapa fase demokratisasi yang dialami oleh sebuah Negara. Fase-fase tersebut secara berurut adalah kemunculan kaum reformis yang menuntut adanya perubahan politik, pengambil alih kekuasaan yang dilakukan kaum reformis, kegagalan liberalisasi dan kemunduran legitimasi politik serta bersatunya kaum pro-demokrasi dengan kelompok oposisi pemerintah.

Fase pertama merupakan kemunculan kaum reformis yang menuntut adanya perubahan politik. Pengalaman Mesir menunjukkan ciri yang sangat melekat dalam fase ini.Sejak awal tahun 2000, beriringan dengan kemunculan gerakan intifadha di Palestina, kelompok reformis Mesir mengecam pemerintah yang bersikap diam bahkan cenderung mendukung agresi militer Israel terhadap Palestina, kemudian disusul pada 2003, gerakan perlawanan muncul menentang kebijakan pemerintah yang  inefektivitas kebijakan serta pertentangan terhadap Gama Mubarak sebagai penerus kekuasaan pemerintahan rezim Mubarak. Dibawah kekuatan militer, Mubarak meringkus setiap perlawanan untuk menciptakan stabilitas politik dibawah kekuasaannya. Kemunculan kaum ini secara besar pada 25 Januari 2011 yang berhasil menjatuhkan Hosni Mubarak dari kekuasaan politik di Mesir.

Fase kedua, pengambil alih kekuasaan oleh kelompok reformis. Kekuasaan Hosni Mubarak jatuh setelah revolusi kaum reformis yang berlangsung selama 11 hari. Setelah pemerintahan Hosni Mubarak runtuh, masuklah Mesir kepada masa transisi yang belum memiliki arah yang jelas. Dalam masa transisi, posisi pemerintahan berada dibawah Mohammed Husain Tanthowi, seorang pejabat tinggi angkatan militer Mesir sampai dengan masa pemilihan umum. Pada mulanya, jatuhnya Hosni Mubarak mendapat sambutan gembira dari seluruh rakyat Mesir, namun hal itu tidak berlangsung lama. Dibawah Husain Tanthowi, terjadi konflik politik, khususnya perseteruan antara kelompok islamis dan non-islamis , dimana kelompok islamis dibawah kubu ikhwanul muslimin dan non-islamis dibawah Dewan Agung Militer (SCAF). Dalam hal ini, SCAF menginginkan pembubaran parlemen Mesir yang didominasi oleh kelompok ikhwanul muslimin.

Kasus ini mengindikasikan adanya keinginan dari kubu militer untuk mengambil alih kekuasaan secara penuh pasca kejatuhan Hosni Mubarak. Jika hal ini memang terjadi, transisi kekuasaan di Mesir bukanlah pemerintahan demokrasi, melainkan terbentuk rezim diktator baru dengan dalih melaksanakan amanat revolusi. Memang, fakta yang terjadi ditunjukkan pada pemilihan presiden yang berhasil menaikkan Muhammad Mursi, calon yang diusulkan oleh kelompok ikhwanul muslimin, mengalahkan Ahmed Shafiq yang merupakan aktor politik oleh kubu militer. Konteks ini menggambarkan, adanya dominasi militer yang mencoba untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya dengan tidak memberikan kesempatan untuk memasuki posisi pemerintahan. Muhammad Mursi, yang didukung oleh kaum reformis pro-demokrasi, tetap mendapat legitimasi sebagai Presiden Mesir terpilih. Berangkat dari sini, kita melihat  akhirnya kekuasaan politik berhasil dipegang oleh kelompok sipil.

Fase ketiga, adanya kegagalan liberalisasi yang dilakukan oleh pemerintah. Sejak Mubarak berkuasa, kebijakan ekonomi Mesir berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi yang sangat fenomenal . Hal ini dikarenakan kebijakan Mubarak yang membuka perdagangan bebas internasional dengan menurunkan tarif pajak impor, privatisasi diberbagai sektor serta deregulasi ekonomi. Pada kenyataannya pertumbuhan ekonomi Mesir tahun 2007 tidak membawa dampak yang baik bagi rakyat Mesir sendiri. Ketimpangan ekonomi dibuktikan dengan tingkat kemiskinan diatas 20 persen, hampir 30 persen penduduk yang buta huruf dan tingkat inflasi sebesar 11,1 persen pada 2010 .  Fakta ini menunjukkan kegagalan kebijakan liberalisasi ekonomi ketika masa rezim Mubarak. Hal ini pula menjadi tekanan bagi rakyat Mesir untuk menuntut adanya perubahan politik Mesir agar memperoleh kembali kesejahteraan ekonomi.

Fase keempat, kemunduran legitimasi politik Hosni Mubarak yang dilakukan oleh kaum reformis. Aksi demonstrasi dilakukan secara berkelanjutan untuk membuat dunia internasional sadar dan mendukung kaum reformis untuk memperoleh tuntutannya. Aksi ini berhasil mendapatkan perhatian dunia internasional, aksi simpatik terjadi di beberapa negara untuk mendukung kaum pro-demokrasi Mesir. Legitimasi pemerintah yang semakin melemah, sehingga momentum ini berhasil dimanfaatkan oleh kaum reformis untuk menjatuhkan rezim diktatoral.

Masa Depan Demokrasi Mesir

Keempat fase yang dijelaskan oleh Huntington, cukup relevan dalam menjelaskan fenomena keruntuhan rezim diktatoral Hosni Mubarak. Dalam analisis saya, Mesir akan menjadi negara yang demokratis dibawah kepemimpinan kelompok sipil, hal ini sesuai dengan kemenangan Mursi pada pemilu presiden 2012 lalu. Namun, prediksi ini  belum dapat dibuktikan sepenuhnya. Tantangan demokrasi Mesir sangatlah besar, dimana masih adanya keinginan militer untuk mendominasi kekuasaan kembali.

Memang, kita tidak dapat membuktikan apakah keempat fase dalam konsep Huntington dapat sepenuhnya menjadikan sebuah negara beralih demokratis. Arah politik Mesir diprediksikan pun tentunya akan menimbulkan berbagai macam pertanyaan, apakah dengan kemenangan Mursi menjadikan Mesir sebagai negara demokratis atau mungkin demokrasi tidak dapat  terwujud, dikarenakan kemenangan politik Mesir berada dibawah kaum islamis sayap ikhwanul muslimin yang mungkin saja menciptakan rezim otoritarian baru yang “islamis”. Namun, terlepas dari itu, menurut saya teori gelombang demokratisasi Mesir dapat dibuktikan berdasarkan pengalaman Mesir. Tetapi untuk saat ini kita tidak dapat mengatakan bahwa gelombang demokratisasi Mesir adalah gelombang ketiga atau bahkan yang keempat. Hal ini menurut saya diperlukan waktu yang lebih banyak untuk mendapatkan data terkait dengan kejadian politik Mesir kedepannya.

Referensi

M. Hafez, Mohammed dan Wiktorowicz, Quintan. Kekerasan Sebagai Bentuk
Perlawanan Dalam Gerakan Islam di Mesir. (Yogyakarta: Gading Publishing dan Paramadina,2012)
Misrawi, Zuhairi. MasaDepanMesir, diunduh dari
http://internasional.kompas.com/read/2012/06/22/02081314/Masa.Depan.Mesir diakses pada 7 April 2013 pukul 23.00
P. Huntington, Samuel. Gelombang Demokratisasi Ketiga  (Jakarta:Grafity, 1995)
Rosiny, Stephan. The Arab Spring: Triggers, Dynamics and Prospects. Diunduh dari
www.giga-hamburg.de/giga-focus pada 3 April 2013 pukul 14.15
Sarihan, Ali. Is the Arab Spring in The Third Wave of Democratization? The Case of
Syria and Egypt. Turkish Journal of Politics Vol.3 No.1 Summer 2012.

0 comments:

Posting Komentar