Minggu, 16 Februari 2014

Demokrasi dan Pemilu di Indonesia

Tidak lama lagi bangsa Indonesia akan melaksanakan suksesi kepemimpinan nasional. Suatu agenda nasional yang sering disebut sebagai pesta demokrasi, telah memasuki yang keempat kalinya pasca Orde Baru. Tentu bagi sebuah negara yang pernah mengalami politik otoritarian, ledakan demokrasi menjadi angin segar bagi bangsa Indonesia untuk mengekspresikan sikap politiknya setelah 32 tahun kebebasan politik dipenjarakan. Lihat saja fakta pemilu 1999 – yang merupakan pemilu pertama kali era reformasi – terdapat 48 partai politik peserta pemilu. Ledakan jumlah partai politik ini membuktikan betapa semangat berdemokrasi cukup tinggi. Kemudian pada pemilu 2004 terdapat 24 parpol peserta dan 2009 terdapat 45 parpol peserta. Untuk pemilu 2014, terdapat 15 parpol peserta – dengan tiga parpol lokal Aceh. Tentu dengan melihat kenyataan seperti ini, dampak dari demokratisasi sangat terlihat 

Berbicara mengenai pemilu tentu kita tidak akan dapat melepaskan diri dari demokrasi – karena pemilu merupakan pilar demokrasi. Sebagaimana aliran Schumpeterian meyakini bahwa sebuah negara dikatakan demokratis jika negara tersebut menyelenggarakan pemilu. Namun bagi kita yang mengamati dengan seksama demokrasi di Indonesia, rasanya penyelenggaraan pemilu saja belum cukup untuk menyebutkan Indonesia telah demokratis. Karena pada dasarnya demokrasi sebagai sistem politik, telah mensyaratkan adanya sebuah masyarakat yang msenggunakan hak-hak politiknya secara utuh, tanpa ada tekanan yang datang dari manapun. Sehingga cara pandang kita terhadap demokrasi tidak hanya dinilai dari bagaimana prosedur demokrasi dijalankan – lebih dari itu – yaitu bagaimana demokrasi dapat diaplikasikan secara substantif.

Problem Demokrasi Indonesia

Bagi sebuah negara yang merasakan alam demokrasi selama kurang lebih 15 tahun, tidaklah mengherankan ketika demokrasi yang dijalankan penuh masalah. Bagaimana tidak, negara seperti Amerika Serikat pun dengan usia demokrasi lebih dari seratus tahun masih ditemui persoalan substansial dalam demokrasi. Maka dari itu, untuk membicarakan persoalan demokrasi di Indonesia memang membutuhkan suatu konsentrasi khusus – pun telah cukup banyak rujukan yang membicarakan demokrasi Indonesia baik dalam jurnal ilmiah maupun opini. Dalam hal ini, mari kita lihat problem demokrasi Indonesia secara sederhana.

Setidaknya demokrasi dapat kita bedah dari dua sisi. Pertama adalah sejauh apa suatu negara melaksanakan demokrasi; dan yang kedua adalah bagaimana masyarakat melaksanakan praktik demokrasi dengan mempergunakan hak-hak politiknya. Sisi yang pertama, merujuk pada penyelenggaraan praktik demokrasi yang dilakukan oleh negara. Dalam hal ini, mari kita singgung bagaimana konsep kekuasaan dalam demokrasi dijalankan oleh Negara. Demokrasi pada dasarnya merujuk pada kekuasaan yang sifatnya major. Karena kekuasaan selalu dilekatkan pada rakyat, yang kemudian dimandatkan kepada wakil-wakil mereka di parlemen. Sehingga, dengan bentuk adanya kekuasaan yang dimandatkan – pun Indonesia melaksanakan hal tersebut – maka negara tersebut telah melaksanakan demokrasi model perwakilan. Konsep perwakilan (representasi) politik ini bukan merupakan konsep yang baru. Sejak lama, di negara Barat konsep representasi telah digunakan sebagai bentuk demokrasi tidak langsung – yang kemudian abad ke-20 konsep ini dijelaskan oleh Hanna Pitkin dan terus direvisi dan diperdebatkan kembali oleh ilmuwan kontemporer seperti Nadia Urbinati, Michael Saward, dll.

Konsep demokrasi perwakilan ini pada praktiknya telah menemui persoalan yang kompleks. Bagaimana menjawab problem “menghadirkan yang tidak hadir/ absent but present” yang pada dasarnya menjadi konsep utama dari representasi politik. Pemilu legislatif adalah contoh dari “menghadirkan yang tidak hadir” tersebut. Karena dalam Pileg, rakyat memilih wakil-wakil mereka di parlemen yang idealnya adalah para wakil tersebut menghadirkan kepentingan rakyat untuk dijadikan sebagai rumusan kebijakan bagi rakyat itu sendiri. Kembali pada persoalan representasi, persoalan utama terdapat pada sulitnya “menghadirkan yang tidak hadir” karena pada akhirnya rakyat sendiri tidak pernah merasa diwakili kepentingannya di parlemen. Dalam hal ini terdapat suatu paradoks keterwakilan, sehingga menjadi catatan penting bagi sebuah negara adalah bagaimana menjawab tantangan ini dalam pelaksanaan demokrasi perwakilan.

Kemudian mari kita masuk pada sisi yang kedua; yaitu bagaimana masyarakat melaksanakan praktik demokrasi dengan menggunakan hak-hak politiknya. Kasus yang kedua ini memang tidak terlepas dari yang pertama – bahkan menjadi sentral persoalan yang menjadi kunci bagi persoalan yang pertama. Contoh yang sederhana adalah bagaimana partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak-hak politiknya di pemilu. Setidaknya hak-hak politik rakyat didalam pemilu adalah hak untuk memilih siapapun peserta dalam pemilu dan hak untuk mengawasi keberlangsungan pemilu. Sekarang mari kita lihat ulasan berikut ini.

Jerry Sumampow – koordinator Nasional Komite Pemilih Indonesia (TEPI Indonesia) – mengatakan bahwa terjadi peningkatan angka golput dalam pemilu sejak pemilu 1999 sampai dengan 2009.[2] Pada pemilu 1999 sebanyak 10 persen angka golput, kemudian pada 2004 sebanyak 16 persen angka golput dan pemilu 2009 sebanyak 30 persen angka golput. Kondisi demikian memang disebabkan oleh berbagai macam hal. Meskipun akhirnya kita tetap menghargai golput sebagai sikap politik – selama hal itu memang rasional dilakukan. Persoalannya adalah golput bukan karena sikap politik yang rasional – atau dalam istilah lain – sikap pemilih yang tidak rasional akhirnya disebut sebagai golongan hitam – entah istilah ini tepat atau tidak. Istilah golongan hitam ini lebih merujuk pada mereka yang menggunakan hak-hak politik (khususnya dalam pemilu) pada tempat yang salah. Dengan begitu yang menjadi problem utama adalah bagaiamana masyarakat dapat menggunakan hak pilihnya secara rasional.

Problem pada sisi kedua ini pun akan menjawab problem pada sisi yang pertama. Bagaimana paradoks demokrasi perwakilan dapat dikurangi dengan meningkatkan pemilih yang cerdas/ rasional. Menurut pendapat penulis, hak politik secara rasional digunakan dalam pemilu yaitu dengan memilih salah satu peserta pemilu yang memang kita tahu kapasitasnya. Mengapa demikian? Tentu diantara para calon wakil rakyat tidak semuanya buruk hanya karena melihat beberapa perilaku buruk wakil rakyat yang pernah terjadi. Disini jelas tidak berlaku generalisasi, sehingga tidak memilih bukanlah solusi. Dari sini masyarakat perlu didorong untuk bersikap proaktif agar mencari tahu krteria pemimpin seperti apa yang mereka butuhkan. Ketika mereka meyakini pada calon tertentu dan mereka yakin akan hal tersebut – apalagi adanya kontrol yang dilakukan oleh rakyat setelah calon tersebut terpilih akan mengurangi persoalan paradoks demokrasi perwakilan. Karena rakyat akan merasa terwakili kepentingannya di parlemen.

Apa yang Harus Dilakukan?

Pertanyaan ini akan menjawab tantangan/ persoalan yang dijelaskan pada ulasan diatas. Oleh karena itu, penulis merangkum ulasan tersebut dalam tiga pertanyaan utama; (1) bagaimana meningkatkan jumlah pemilih? (2) Bagaimana informasi tentang pemilu dapat tersampaikan? dan (3) bagaimana agar terselenggara pemilu yang demokratis?. Ketiga rumusan pertanyaan tersebut membawa kita – golongan pemilih rasional – untuk menyampaikan sosialisasi bagaimana menjadi pemilih rasional kepada mereka yang belum mengetahui urgensinya. Meskipun kita dihadapkan pada indikator keberhasilan yang tidak terukur, setidaknya upaya ini lebih baik dibandingkan jika tidak ado upaya sama sekali.


[1] Penulis adalah mahasiswa ilmu politik FISIP UI angkatan 2011
[2] Doddy Rosadi, “Sejak Pemilu 1999 Hingga 2009, Angka Golput Terus Naik”, diunduh dari http://www.portalkbr.com/berita/perbincangan/2656656_4215.html diakses pada 13 Februari 2014 (10.49 WIB)

0 comments:

Posting Komentar