Berbicara mengenai pemilu tentu kita tidak akan dapat melepaskan diri dari demokrasi – karena pemilu merupakan pilar demokrasi. Sebagaimana aliran Schumpeterian meyakini bahwa sebuah negara dikatakan demokratis jika negara tersebut menyelenggarakan pemilu. Namun bagi kita yang mengamati dengan seksama demokrasi di Indonesia, rasanya penyelenggaraan pemilu saja belum cukup untuk menyebutkan Indonesia telah demokratis. Karena pada dasarnya demokrasi sebagai sistem politik, telah mensyaratkan adanya sebuah masyarakat yang msenggunakan hak-hak politiknya secara utuh, tanpa ada tekanan yang datang dari manapun. Sehingga cara pandang kita terhadap demokrasi tidak hanya dinilai dari bagaimana prosedur demokrasi dijalankan – lebih dari itu – yaitu bagaimana demokrasi dapat diaplikasikan secara substantif.
Problem Demokrasi Indonesia
Bagi sebuah
negara yang merasakan alam demokrasi selama kurang lebih 15 tahun, tidaklah
mengherankan ketika demokrasi yang dijalankan penuh masalah. Bagaimana tidak,
negara seperti Amerika Serikat pun dengan usia demokrasi lebih dari seratus
tahun masih ditemui persoalan substansial dalam demokrasi. Maka dari itu, untuk
membicarakan persoalan demokrasi di Indonesia memang membutuhkan suatu
konsentrasi khusus – pun telah cukup banyak rujukan yang membicarakan demokrasi
Indonesia baik dalam jurnal ilmiah maupun opini. Dalam hal ini, mari kita lihat
problem demokrasi Indonesia secara sederhana.
Setidaknya demokrasi dapat kita
bedah dari dua sisi. Pertama adalah sejauh apa suatu negara melaksanakan
demokrasi; dan yang kedua adalah bagaimana masyarakat melaksanakan praktik
demokrasi dengan mempergunakan hak-hak politiknya. Sisi yang pertama, merujuk
pada penyelenggaraan praktik demokrasi yang dilakukan oleh negara. Dalam hal ini,
mari kita singgung bagaimana konsep kekuasaan dalam demokrasi dijalankan oleh
Negara. Demokrasi pada dasarnya merujuk pada kekuasaan yang sifatnya major. Karena kekuasaan selalu
dilekatkan pada rakyat, yang kemudian dimandatkan kepada wakil-wakil mereka di
parlemen. Sehingga, dengan bentuk adanya kekuasaan yang dimandatkan – pun
Indonesia melaksanakan hal tersebut – maka negara tersebut telah melaksanakan
demokrasi model perwakilan. Konsep perwakilan (representasi) politik ini bukan
merupakan konsep yang baru. Sejak lama, di negara Barat konsep representasi
telah digunakan sebagai bentuk demokrasi tidak langsung – yang kemudian abad
ke-20 konsep ini dijelaskan oleh Hanna Pitkin dan terus direvisi dan
diperdebatkan kembali oleh ilmuwan kontemporer seperti Nadia Urbinati, Michael
Saward, dll.
Konsep demokrasi perwakilan ini pada
praktiknya telah menemui persoalan yang kompleks. Bagaimana menjawab problem
“menghadirkan yang tidak hadir/ absent
but present” yang pada dasarnya menjadi konsep utama dari representasi
politik. Pemilu legislatif adalah contoh dari “menghadirkan yang tidak hadir”
tersebut. Karena dalam Pileg, rakyat memilih wakil-wakil mereka di parlemen
yang idealnya adalah para wakil tersebut menghadirkan kepentingan rakyat untuk
dijadikan sebagai rumusan kebijakan bagi rakyat itu sendiri. Kembali pada
persoalan representasi, persoalan utama terdapat pada sulitnya “menghadirkan
yang tidak hadir” karena pada akhirnya rakyat sendiri tidak pernah merasa
diwakili kepentingannya di parlemen. Dalam hal ini terdapat suatu paradoks
keterwakilan, sehingga menjadi catatan penting bagi sebuah negara adalah
bagaimana menjawab tantangan ini dalam pelaksanaan demokrasi perwakilan.
Kemudian mari kita masuk pada sisi
yang kedua; yaitu bagaimana masyarakat melaksanakan praktik demokrasi dengan
menggunakan hak-hak politiknya. Kasus yang kedua ini memang tidak terlepas dari
yang pertama – bahkan menjadi sentral persoalan yang menjadi kunci bagi
persoalan yang pertama. Contoh yang sederhana adalah bagaimana partisipasi
masyarakat dalam menggunakan hak-hak politiknya di pemilu. Setidaknya hak-hak
politik rakyat didalam pemilu adalah hak untuk memilih siapapun peserta dalam
pemilu dan hak untuk mengawasi keberlangsungan pemilu. Sekarang mari kita lihat
ulasan berikut ini.
Jerry Sumampow – koordinator
Nasional Komite Pemilih Indonesia (TEPI Indonesia) – mengatakan bahwa terjadi
peningkatan angka golput dalam pemilu sejak pemilu 1999 sampai dengan 2009.[2]
Pada pemilu 1999 sebanyak 10 persen angka golput, kemudian pada 2004 sebanyak
16 persen angka golput dan pemilu 2009 sebanyak 30 persen angka golput. Kondisi
demikian memang disebabkan oleh berbagai macam hal. Meskipun akhirnya kita
tetap menghargai golput sebagai sikap politik – selama hal itu memang rasional
dilakukan. Persoalannya adalah golput bukan karena sikap politik yang rasional
– atau dalam istilah lain – sikap pemilih yang tidak rasional akhirnya disebut
sebagai golongan hitam – entah istilah ini tepat atau tidak. Istilah golongan
hitam ini lebih merujuk pada mereka yang menggunakan hak-hak politik (khususnya
dalam pemilu) pada tempat yang salah. Dengan begitu yang menjadi problem utama
adalah bagaiamana masyarakat dapat menggunakan hak pilihnya secara rasional.
Problem pada sisi kedua ini pun akan
menjawab problem pada sisi yang pertama. Bagaimana paradoks demokrasi
perwakilan dapat dikurangi dengan meningkatkan pemilih yang cerdas/ rasional.
Menurut pendapat penulis, hak politik secara rasional digunakan dalam pemilu
yaitu dengan memilih salah satu peserta pemilu yang memang kita tahu
kapasitasnya. Mengapa demikian? Tentu diantara para calon wakil rakyat tidak
semuanya buruk hanya karena melihat beberapa perilaku buruk wakil rakyat yang
pernah terjadi. Disini jelas tidak berlaku generalisasi, sehingga tidak memilih
bukanlah solusi. Dari sini masyarakat perlu didorong untuk bersikap proaktif
agar mencari tahu krteria pemimpin seperti apa yang mereka butuhkan. Ketika
mereka meyakini pada calon tertentu dan mereka yakin akan hal tersebut –
apalagi adanya kontrol yang dilakukan oleh rakyat setelah calon tersebut
terpilih akan mengurangi persoalan paradoks demokrasi perwakilan. Karena rakyat
akan merasa terwakili kepentingannya di parlemen.
Apa yang Harus Dilakukan?
Pertanyaan ini
akan menjawab tantangan/ persoalan yang dijelaskan pada ulasan diatas. Oleh
karena itu, penulis merangkum ulasan tersebut dalam tiga pertanyaan utama; (1)
bagaimana meningkatkan jumlah pemilih? (2) Bagaimana informasi tentang pemilu
dapat tersampaikan? dan (3) bagaimana agar terselenggara pemilu yang
demokratis?. Ketiga rumusan pertanyaan tersebut membawa kita – golongan pemilih
rasional – untuk menyampaikan sosialisasi bagaimana menjadi pemilih rasional
kepada mereka yang belum mengetahui urgensinya. Meskipun kita dihadapkan pada
indikator keberhasilan yang tidak terukur, setidaknya upaya ini lebih baik
dibandingkan jika tidak ado upaya sama sekali.
[1] Penulis adalah mahasiswa
ilmu politik FISIP UI angkatan 2011
[2] Doddy Rosadi, “Sejak Pemilu 1999 Hingga 2009, Angka Golput
Terus Naik”, diunduh dari http://www.portalkbr.com/berita/perbincangan/2656656_4215.html diakses pada 13 Februari 2014 (10.49 WIB)
0 comments:
Posting Komentar