Sudahkah kita
membaca Undang-Undang nomor 15 tahun 2011 tentang penyelenggara pemilihan umum?
Saya pikir itu sudah cukup jelas untuk menjawab pertanyaan dalam judul diatas.
Jika kita cermati penyelenggaraan pemilihan presiden (pilpres) yang tengah
berlangsung, silakan sebut tugas KPU mana yang belum dilaksanakan sesuai dengan
amanat UU tersebut. Selama KPU melaksanakan tugas, wewenang dan kewajibannya,
tentu tidak ada yang salah jika kita dukung KPU bukan?
Berangkat dari Polarisasi
Pilpres yang
kita hadapi tahun ini memang sedikit berbeda. Pasalnya tahun ini peserta
pilpres hanya diikuti oleh dua pasang calon saja. Tentu hal ini berkonsekuensi
pada kentalnya polarisasi yang terjadi dalam masyarakat Indonesia karena mereka
memilih untuk mendukung salah satu pasang calon. Media massa pun turut menjadi
pemantik bagi munculnya konflik horizontal. Meskipun tidak sampai pada konflik
fisik, perang opini yang terjadi antara dua kubu justru memakan frekuensi
publik yang sangat besar. Apalagi pasca pemungutan suara, dihari yang sama
masing-masing kubu mengklaim kemenangannya. Bagaimana mungkin hal ini tidak
membuat masyarakat bingung?
Berangkat dari
rasa kekhawatiran itulah, polarisasi akan terus berlanjut sampai dengan setelah
penetapan. Akhirnya dalam posisi ini, mengambil sikap untuk mendukung KPU
adalah langkah yang paling bijak untuk menyadarkan masyarakat agar mereka
menghormati proses pemilu yang sedang berlangsung. Dari sinilah jargon “We
Stand on KPU side” muncul.
Bentuk Dukungan yang Seperti Apa?
Saya sadar bahwa
pelaksanaan pemilu tidak akan lepas dari praktik kecurangan. Termasuk dalam hal
ini KPU sebagai lembaga resmi pemilu tidak terlepas dari ‘ancaman’ untuk
bertindak melanggar hukum. Saya sepakat bahwa ketika KPU bertindak diluar
batas, kita harus ikut mengecam KPU, salah satunya kita dapat melaporkan
langsung ke badan pengawas pemilu (bawaslu) agar segera diproses secara hukum
dengan pihak yang berwenang. Silakan kita lihat di beberapa daerah ada anggota
KPU yang terbukti melakukan pelanggaran. Ada yang sudah diproses secara hukum
dan mungkin ada yang belum. Jika ada yang belum, tentu ini akan berimplikasi
pada kecacatan hasil pemilu.
Sejauh ini KPU
sudah berupaya untuk mendorong transparansi dan pengamanan surat suara yang
begitu ketat. Dalam hal transparansi saja, terobosan yang sudah dilakukan
seperti membuat scan form C1 (tingkat TPS) dan menghadirkan form plano dalam
setiap rekapitulasi perhitungan suara di jenjangnya. Publik pun dapat ikut
menghitung dalam proses rekapitulasi tersebut. Jika ada TPS yang bermasalah,
dilakukan pemungutan suara ulang (PSU) atau rekapitulasi perhitungan suara
ulang. Tentu dalam proses yang sangat transparan dan memakan waktu cukup lama
ini juga menjadikan proses yang berlangsung cukup ketat.
Tapi sekali lagi
tentu masih ada kecurangan yang terjadi. Dengan tegas saya katakan ini jelas
menjadikan hasil pemilu cacat! Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah kita bisa
membuktikan kecurangan tersebut? Sesuai prosedur, masih ada Mahkamah Konstitusi
(MK) yang memutuskan perkara pemilu. Silakan bagi pihak yang dirugikan, ajukan
gugatan ke MK. Keputusan final ada di MK. Sehingga bagi saya jelas dukungan
yang diberikan masyarakat ke KPU memiliki syarat. Jika KPU terbukti berbuat
curang, mari sama-sama kita “hajar” KPU. Tapi jika tidak terbukti, perlukah
kita “menghajar” mereka?
Demokrasi Prosedural, Bukan Ukuran Demokrasi
Substansial
Pemilu
bagaimanapun juga tidak dapat menjadi satu-satunya ukuran sebuah negara
dikatakan demokratis. Pemilu hanya menjadi prosedur bagi demokrasi itu sendiri.
Jika kita refleksikan sejak pemilu pertama kali di Indonesia tahun 1955 sampai
2014, tentu kita patut mengapresiasi bangsa Indonesia yang mampu mendorong
demokrasi dengan “mensubstansikan” prosedurnya. Apalagi kita punya masa kelam
era Orde Baru, pembajakan pemilu oleh rezim Soeharto telah menjadikan demokrasi
kita hanyalah nama. Sedangkan era reformasi ini, meskipun demokrasi kita
diwarnai dengan oligarki politik, pelaksanaan pemilu yang semakin baik patut
mendapat apresiasi tersendiri – pun tidak ada lagi pembajakan terhadap pemilu.
Kepada Para Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden
Saya ucapkan
selamat kepada capres-cawapres terpilih yang telah resmi ditetapkan oleh KPU.
Saya pun tidak dalam rangka menyudutkan pasangan capres-cawapres yang kalah
dalam kompetisi ini. Saya ingin menyerukan kepada kedua pihak, setelah
penetapan dari KPU, masih ada proses setelahnya. Selesaikan sengketa pemilu di
MK. Meskipun kedua pihak sudah mengetahui hal ini, seruan saya ini juga
ditujukan kepada khalayak agar mereka juga mendukung penyelesaian segala
sengketa pemilu di lembaga yudikatif yang dimiliki oleh negara ini; yaitu Mahkamah
Konstitusi.
Satu hari
setelah penetapan pemenang Pilpres, 23 Juli 2014
Grady Nagara
(@gradynagara)
0 comments:
Posting Komentar