Rabu, 23 Juli 2014

Mengapa Dukung KPU?

Sudahkah kita membaca Undang-Undang nomor 15 tahun 2011 tentang penyelenggara pemilihan umum? Saya pikir itu sudah cukup jelas untuk menjawab pertanyaan dalam judul diatas. Jika kita cermati penyelenggaraan pemilihan presiden (pilpres) yang tengah berlangsung, silakan sebut tugas KPU mana yang belum dilaksanakan sesuai dengan amanat UU tersebut. Selama KPU melaksanakan tugas, wewenang dan kewajibannya, tentu tidak ada yang salah jika kita dukung KPU bukan?

Berangkat dari Polarisasi

Pilpres yang kita hadapi tahun ini memang sedikit berbeda. Pasalnya tahun ini peserta pilpres hanya diikuti oleh dua pasang calon saja. Tentu hal ini berkonsekuensi pada kentalnya polarisasi yang terjadi dalam masyarakat Indonesia karena mereka memilih untuk mendukung salah satu pasang calon. Media massa pun turut menjadi pemantik bagi munculnya konflik horizontal. Meskipun tidak sampai pada konflik fisik, perang opini yang terjadi antara dua kubu justru memakan frekuensi publik yang sangat besar. Apalagi pasca pemungutan suara, dihari yang sama masing-masing kubu mengklaim kemenangannya. Bagaimana mungkin hal ini tidak membuat masyarakat bingung?

Berangkat dari rasa kekhawatiran itulah, polarisasi akan terus berlanjut sampai dengan setelah penetapan. Akhirnya dalam posisi ini, mengambil sikap untuk mendukung KPU adalah langkah yang paling bijak untuk menyadarkan masyarakat agar mereka menghormati proses pemilu yang sedang berlangsung. Dari sinilah jargon “We Stand on KPU side” muncul.

Bentuk Dukungan yang Seperti Apa?

Saya sadar bahwa pelaksanaan pemilu tidak akan lepas dari praktik kecurangan. Termasuk dalam hal ini KPU sebagai lembaga resmi pemilu tidak terlepas dari ‘ancaman’ untuk bertindak melanggar hukum. Saya sepakat bahwa ketika KPU bertindak diluar batas, kita harus ikut mengecam KPU, salah satunya kita dapat melaporkan langsung ke badan pengawas pemilu (bawaslu) agar segera diproses secara hukum dengan pihak yang berwenang. Silakan kita lihat di beberapa daerah ada anggota KPU yang terbukti melakukan pelanggaran. Ada yang sudah diproses secara hukum dan mungkin ada yang belum. Jika ada yang belum, tentu ini akan berimplikasi pada kecacatan hasil pemilu.

Sejauh ini KPU sudah berupaya untuk mendorong transparansi dan pengamanan surat suara yang begitu ketat. Dalam hal transparansi saja, terobosan yang sudah dilakukan seperti membuat scan form C1 (tingkat TPS) dan menghadirkan form plano dalam setiap rekapitulasi perhitungan suara di jenjangnya. Publik pun dapat ikut menghitung dalam proses rekapitulasi tersebut. Jika ada TPS yang bermasalah, dilakukan pemungutan suara ulang (PSU) atau rekapitulasi perhitungan suara ulang. Tentu dalam proses yang sangat transparan dan memakan waktu cukup lama ini juga menjadikan proses yang berlangsung cukup ketat.

Tapi sekali lagi tentu masih ada kecurangan yang terjadi. Dengan tegas saya katakan ini jelas menjadikan hasil pemilu cacat! Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah kita bisa membuktikan kecurangan tersebut? Sesuai prosedur, masih ada Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan perkara pemilu. Silakan bagi pihak yang dirugikan, ajukan gugatan ke MK. Keputusan final ada di MK. Sehingga bagi saya jelas dukungan yang diberikan masyarakat ke KPU memiliki syarat. Jika KPU terbukti berbuat curang, mari sama-sama kita “hajar” KPU. Tapi jika tidak terbukti, perlukah kita “menghajar” mereka?

Demokrasi Prosedural, Bukan Ukuran Demokrasi Substansial

Pemilu bagaimanapun juga tidak dapat menjadi satu-satunya ukuran sebuah negara dikatakan demokratis. Pemilu hanya menjadi prosedur bagi demokrasi itu sendiri. Jika kita refleksikan sejak pemilu pertama kali di Indonesia tahun 1955 sampai 2014, tentu kita patut mengapresiasi bangsa Indonesia yang mampu mendorong demokrasi dengan “mensubstansikan” prosedurnya. Apalagi kita punya masa kelam era Orde Baru, pembajakan pemilu oleh rezim Soeharto telah menjadikan demokrasi kita hanyalah nama. Sedangkan era reformasi ini, meskipun demokrasi kita diwarnai dengan oligarki politik, pelaksanaan pemilu yang semakin baik patut mendapat apresiasi tersendiri – pun tidak ada lagi pembajakan terhadap pemilu.

Kepada Para Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden

Saya ucapkan selamat kepada capres-cawapres terpilih yang telah resmi ditetapkan oleh KPU. Saya pun tidak dalam rangka menyudutkan pasangan capres-cawapres yang kalah dalam kompetisi ini. Saya ingin menyerukan kepada kedua pihak, setelah penetapan dari KPU, masih ada proses setelahnya. Selesaikan sengketa pemilu di MK. Meskipun kedua pihak sudah mengetahui hal ini, seruan saya ini juga ditujukan kepada khalayak agar mereka juga mendukung penyelesaian segala sengketa pemilu di lembaga yudikatif yang dimiliki oleh negara ini; yaitu Mahkamah Konstitusi.

Satu hari setelah penetapan pemenang Pilpres, 23 Juli 2014
Grady Nagara (@gradynagara)

0 comments:

Posting Komentar