DALAM
dunia pemikiran, terutama dunia pemikiran Barat modern, istilah “Neo” dan
“Post” bukan sesuatu yang asing. Kita tentu pernah mengenal istilah
“neoliberalisme”, “neomarxisme”, sampai dengan “neo-institusionalisme”.
Neoliberalisme misalnya, pada dasarnya merupakan wacana lanjutan panjang dari
liberalisme yang muncul pada masa Renaissance (masa pencerahan). Ia
merupakan hasil dari evolusi panjang wacana liberalism yang telah
bermetamorfosis dari liberalism klasik hingga liberalisme modern ala Keynesian,
dan akhirnya menemui bentuk baru lagi setelah muncul istilah Washington
Consesus –apa yang selama ini kita sebut dengan istilah
“neoliberalisme”.
Dalam
diskursus Marxisme kontemporer, kita juga mengenal “post-Marxisme”: sebuah
gagasan yang mencoba untuk merekonstruksi gagasan Marxisme setelah era Lenin
dan partai komunisnya berkuasa atas Uni Soviet secara totaliter (Laclau &
Mouffe, 1985). Begitu juga dengan gagasan lain seperti ‘post-modernisme’ yang
digagas oleh proponen kritik atas teori-teori modernisasi. Dengan melihat
beberapa wacana ini, saya mendefiniskan term “neo” sebagai suatu upaya
memperbaharui suatu gagasan yang dianggap sudah tidak relevan lagi dengan
zamannya.
Gerakan
Tarbiyah, diakui atau tidak, pada hakikatnya merupakan gagasan yang terinspirasi
dari kelompok Ikhwanul Muslimin di Mesir. Gerakan ini pada awalnya
membangun basis di kampus-kampus yang menjadikan perbaikan moral bangsa sebagai
ujung tombak, melalui pembinaan keislaman yang kaffah dan gradual.
Tarbiyah adalah suatu upaya untuk membentuk pribadi muslim yang menerapkan
islam dalam seluruh aspek kehidupan, dalam hal ini berpedoman pada manhaj
salafus sholeh, sehingga gerakan ini (baik Ikhwan di Mesir, ataupun
di Indonesia) diidentikkan oleh Yusuf Maulana (2013) sebagai “Gerakan Fundamentalisme
Rasional”, karena meyakini bahwa perubahan harus diupayakan secara bertahap dan
rasional.
Kisah
gerakan Tarbiyah ini pun menunjukkan perkembangan yang luar biasa sampai dengan
era reformasi. Cerita Tarbiyah tampil dalam pentas politik Indonesia dimulai
dari pembentukan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang tampil dengan
aksi-aksi massa mahasiswanya, hingga beberapa proponen utamanya kemudian
membentiuk Partai Keadilan (PK) –sekarang sudah berganti nama menjadi Partai
Keadilan Sejahtera (PKS). PK merupakan rising star dalam Pemilu 2009,
karena meskipun baru berumur setahun, mampu mendudukkan beberapa wakilnya di
parlemen sejak pemiu 1999 dan semakin meningkat (dengan nama PKS) pada pemilu
2004. Bahkan dalam posisi eksekutif sekalipun, partai dakwah ini mampu
menelurkan kadernya dalam posisi menteri dalam kabinet SBY.
Pertanyaannya
adalah, apakah dakwah politik ini sudah mampu memberikan islah (perbaikan)
dalam konteks kehidupan kenegaraan? Pertanyaan ini memang akan sulit dijawab
mengingat kehadiran PK ataupun PKS baru seumuran reformasi. Namiun, saya
berpendapat bahwa islahul ummah (memperbaiki masyarakat) memang harus
terus diupayakan oleh setiap proponen gerakan Tarbiyah (baik PK, PKS, KAMMI,
dll). Dari sini, muncul pertanyaan kembali, gerakan islam yang seperti apa yang
harus diupayakan untuk memperbaiki masyarakat tersebut?
Saya
akan memulai dari konteks sistem politik demokrasi, yang sejatinya tidak akan
melanggengkan suatu rezim dalam waktu yang lama. Sebab, salah satu konsekuensi
demokrasi adalah terbentuknya siklus rezim. Mari kita ambil contoh sederhana.
Pada pemilu 2004 dan 2009, partai demokrat menjadi partai penguasa dengan
memenangi Pemilu dan mendudukkan kadernya sebagai Presiden. Akan tetapi, dengan
keterbatasan dan sistem yang berlaku, besar kemungkinan kekuasaan tidak akan
dipegang lagi oleh Yudhoyono dan Demokrat pada pemilu 2014 (masa jabatan
Yudhoyono sudah berakhir dan ia tak boleh mencalonkan diri kembali.
Begitu
pula partai politik islam. Banyak kasus yang menunjukkan bahwa citra partai
Islam di Indonesia menunjukkan tren negatif. Hal ini bisa terjadi karena
perilaku elit partai yang korup atau konflik dengan gerakan-gerakan Islam lain
yang tela mengakar di Indonesia. Saya tidak akan memperpanjang masalah ini. Akan
tetapi, dalam konteks dakwah Islam dan demokratisasi, seharusnya hal ini ini
sudah menjadi agenda evaluasi besar yang tidak hanya sebatas “taubat nasional”
tetapi juga dilihat dari hal yang sangat fondasional yaitu identitas “Tarbiyah”
itu sendiri.
Rekonstruksi
Gerakan Tarbiyah Kontemporer
Saya
ingin kembali pada soal liberalisme terlebih dahulu. Pada mulanya, liberalisme
dalam konteks ekonomi merupakan “pelepasan tangan” negara terhadap aktivitas
pasar. Ada istilah menarik yang digunakan Adam Smith, yaitu invisible hand,
di mana perekonomian diserahkan pada mekanisme pasar (bebas) yang memungkinkan
kompetisi terjadi secara terbuka. Sebab, menurut Uncle Smith, hanya
dengan pasar bebaslah spesialisasi dan pembagian kerja dapat diciptakan,
sehingga memberikan efisiensi bagi produksi. Efisiensi ini tujuannya adalah
untuk dikembalikan lagi pada kesejahteraan rakyat. Model ini digagas oleh Smith
dan dikembangkan oleh murid-muridnya seperti David Ricardo dll.
Model
liberalisme ini pun semakin berkembang dengan munculnya ekonometrika pada masa
neoklasik. Akan tetapi, fondasi liberalism Smith ini berubah manakala terjadi
krisis ekonomi global (malaise) pada masa tahun 1930-an. Secara
teoretis, pola liberalism ekonomi ini direkonstruksi oleh Keynes, yang
menyatakan bahwa ternyata campur tangan negara harus tetap ada dalam mekanisme
pasar. Sehingga, logika “negara anjing penjaga” (state as watchdog)
berubah menjadi “negara kesejahteraan”.
Akan
tetapi, pada akhir abad ke-20, gagasan liberalisme ini direkonstruksi kembali
dalam bentuk neoliberalisme. Karena model Keynesian tidak cocok di semua
negara, beberapa lembaga keuangan internasional (IMF, Bank Dunia, dll) kemudian
menginisiasi Washington Consensus yang menghasilkan sepuluh poin
kesimpulan. Sepuluh doktrin Konsensus tersebut kemudian diringkas dalam tiga
ajaran utama yaitu; liberalisasi, privatisasi dan deregulasi. Inilah yang
kemudian dikenal dengan istilah neoliberalisme, sebuah doktrin yang pada
hakikatnya melepas kembali campur tangan negara dalam perekonomian dan
menjadikannya sebagai ‘fasilitator’ untuk mengefektifkan mekanisme pasar.
Jika
kita belajar dari pengalaman liberalisme tersebut, kita akan melihat bahwa
liberalisme sebagai sebuah paham terus menerus diperbaharui dengan cara
merekonstruksi liberalisme itu sendiri (tanpa melihat bagiamana bentuk
setelahnya). Begitu pula, menurut hemat saya, perlu adanya rethinking dalam
kultur dan paradigma Gerakan Tarbiyah agar gerakan ini tetap eksis.
Agenda
untuk memikirkan kembali (rethinking) Gerakan Tarbiyah ini dapat
disarikan dalam beberapa gagasan. Pertama, tentang kaderisasi tandzim.
Saya meyakini bahwa gerakan Tarbiyah adalah gerakan yang mengutamakan kualitas
kader. Dalam istilah partai, disebut juga sebagai partai kader. Bentuk ini
melekat dalam tubuh PKS (juga KAMMI) karena memang sistem kaderisasi di gerakan
ini berjalan secara cukup panjang dan manhaji (punya sistem pengelolaan
dan kode etik tertentu).
Saya
melihat bahwa saat ini, sistem kaderisasi dalam jamaah Tarbiyah
memerlukan suatu penyegaran. Kader yang dibentuk bukan lagi kader yang
“fanatik” terhadap partai dan tidak menjadikan Tarbiyah sebagai doktrin
pembenaran dalam Halaqoh Tarbiyah. Kader Tarbiyah perlu mampu untuk
membuka diri dengan adanya eksistensi gerakan islam (ataupun bukan gerakan
islam) yang lain. Artinya, yang dibentuk adalah pemahaman islam yang kaffah
dan tidak berujung pada pembenaran terhadap apa yang dilakukan oleh “partai”
tertentu yang diusung jama’ah.
Sehingga,
para aktivis Tarbiyah ini menjadi pribadi muslim yang kritis. Jadi, sebagai
contoh, ketika ia tidak mendukung partai yang diusung jama’ah karena
alasan yang bisa dipertanggungjawabkan, sikap ini tidak dianggap sebagai
masalah. Sebab, pada hakikatnya orientasi politik adalah soal pilihan.
Keterbukaan ini juga akan menjembatani kader-kader yang lahir dari
habitus/latar belakang masyarakat “yang-lain” seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah,
Persis, dll. Saya berpendapat, seharusnya kaderisasi gerakan Tarbiyah
adalah perbaikan moralitas, bukan justru berorientasi pada patron politik
tertentu.
Kedua,
tentang purifikasi gerakan Tarbiyah. Meminjam istilah Fachry Aidulsyah
(“Membicarakan Post-Tarbiyah”), Purifikasi Tarbiyah ini adalah pengembalian
jati diri gerakan Tarbiyah pada awal mula kemunculannya. Mungkin ini berkaitan
dengan poin yang pertama, bahwa gerakan Tarbiyah sejatinya harus dikembalikan
pada fungsinya sebagai perbaikan mora tanpa adanya doktrin-doktrin
politik tertentu. Islam mengembalikan manusia pada kemurnian fitrahnya, bukan
merujuk pada fanatisme kelompok atau golongan.
Maka,
pada poin yang kedua ini, gerakan Tarbiyah harus dipisahkan dari PKS. Biarkan
ia menjadi sebuah gerakan moralitas dan biarkan pula pada akhirnya kader
Tarbiyah ini memiliki orientasi politik sendiri. Seharusnya, ketika aktivis
Tarbiyah ini berpolitik, bagaimanapun orientasinya, ia tetap akan membawa
nilai-nilai islam. Tidaklah mengapa jika pada akhirnya yang dipilih adalah PKS
–karena alasan yang ia pilih sendiri. Sebab, yang terpenting adalah gerakan
Tarbiyah ini mencetak pribadi muslim yang baik dan mampu berpolitik secara
sehat dan tidak harus menjadi anggota atau simpatisan PKS. Dengan begitu, pada
akhirnya kader-kader bentukan Tarbiyah secara alami akan melakukan perbaikan
atas kesadarannya.
Al
Haqqu min Rabbika; Falaa takuunanna minal mumtarin
0 comments:
Posting Komentar