Sabtu, 08 Februari 2014

Menggagas Neo-Tarbiyah: Sebuah Wacana Rekonstruksi dan Purifikasi Gerakan

DALAM dunia pemikiran, terutama dunia pemikiran Barat modern, istilah “Neo”  dan “Post” bukan sesuatu yang asing. Kita tentu pernah mengenal istilah “neoliberalisme”, “neomarxisme”, sampai dengan “neo-institusionalisme”. Neoliberalisme misalnya, pada dasarnya merupakan wacana lanjutan panjang dari liberalisme yang muncul pada masa Renaissance (masa pencerahan). Ia merupakan hasil dari evolusi panjang wacana liberalism yang telah bermetamorfosis dari liberalism klasik hingga liberalisme modern ala Keynesian, dan akhirnya menemui bentuk baru lagi setelah muncul istilah Washington Consesus apa yang selama ini kita sebut dengan istilah “neoliberalisme”.

Dalam diskursus Marxisme kontemporer, kita juga mengenal “post-Marxisme”: sebuah gagasan yang mencoba untuk merekonstruksi gagasan Marxisme setelah era Lenin dan partai komunisnya berkuasa atas Uni Soviet secara totaliter (Laclau & Mouffe, 1985). Begitu juga dengan gagasan lain seperti ‘post-modernisme’ yang digagas oleh proponen kritik atas teori-teori modernisasi. Dengan melihat beberapa wacana ini, saya mendefiniskan term “neo” sebagai suatu upaya memperbaharui suatu gagasan yang dianggap sudah tidak relevan lagi dengan zamannya.

Gerakan Tarbiyah, diakui atau tidak, pada hakikatnya merupakan gagasan yang terinspirasi dari kelompok Ikhwanul Muslimin di Mesir. Gerakan ini pada awalnya membangun basis di kampus-kampus yang menjadikan perbaikan moral bangsa sebagai ujung tombak, melalui pembinaan keislaman yang kaffah dan gradual. Tarbiyah adalah suatu upaya untuk membentuk pribadi muslim yang menerapkan islam dalam seluruh aspek kehidupan, dalam hal ini berpedoman pada manhaj salafus sholeh, sehingga gerakan ini (baik Ikhwan di Mesir, ataupun di Indonesia) diidentikkan oleh Yusuf Maulana (2013) sebagai “Gerakan Fundamentalisme Rasional”, karena meyakini bahwa perubahan harus diupayakan secara bertahap dan rasional.

Kisah gerakan Tarbiyah ini pun menunjukkan perkembangan yang luar biasa sampai dengan era reformasi. Cerita Tarbiyah tampil dalam pentas politik Indonesia dimulai dari pembentukan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang tampil dengan aksi-aksi massa mahasiswanya, hingga beberapa proponen utamanya kemudian membentiuk Partai Keadilan (PK) –sekarang sudah berganti nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). PK merupakan rising star dalam Pemilu 2009, karena meskipun baru berumur setahun, mampu mendudukkan beberapa wakilnya di parlemen sejak pemiu 1999 dan semakin meningkat (dengan nama PKS) pada pemilu 2004. Bahkan dalam posisi eksekutif sekalipun, partai dakwah ini mampu menelurkan kadernya dalam posisi menteri dalam kabinet SBY.

Pertanyaannya adalah, apakah dakwah politik ini sudah mampu memberikan islah (perbaikan) dalam konteks kehidupan kenegaraan? Pertanyaan ini memang akan sulit dijawab mengingat kehadiran PK ataupun PKS baru seumuran reformasi. Namiun, saya berpendapat bahwa islahul ummah (memperbaiki masyarakat) memang harus terus diupayakan oleh setiap proponen gerakan Tarbiyah (baik PK, PKS, KAMMI, dll). Dari sini, muncul pertanyaan kembali, gerakan islam yang seperti apa yang harus diupayakan untuk memperbaiki masyarakat tersebut?

Saya akan memulai dari konteks sistem politik demokrasi, yang sejatinya tidak akan melanggengkan suatu rezim dalam waktu yang lama. Sebab, salah satu konsekuensi demokrasi adalah terbentuknya siklus rezim. Mari kita ambil contoh sederhana. Pada pemilu 2004 dan 2009, partai demokrat menjadi partai penguasa dengan memenangi Pemilu dan mendudukkan kadernya sebagai Presiden. Akan tetapi, dengan keterbatasan dan sistem yang berlaku, besar kemungkinan kekuasaan tidak akan dipegang lagi oleh Yudhoyono dan Demokrat pada pemilu 2014 (masa jabatan Yudhoyono sudah berakhir dan ia tak boleh mencalonkan diri kembali.

Begitu pula partai politik islam. Banyak kasus yang menunjukkan bahwa citra partai Islam di Indonesia menunjukkan tren negatif. Hal ini bisa terjadi karena perilaku elit partai yang korup atau konflik dengan gerakan-gerakan Islam lain yang tela mengakar di Indonesia. Saya tidak akan memperpanjang masalah ini. Akan tetapi, dalam konteks dakwah Islam dan demokratisasi, seharusnya hal ini ini sudah menjadi agenda evaluasi besar yang tidak hanya sebatas “taubat nasional” tetapi juga dilihat dari hal yang sangat fondasional yaitu identitas “Tarbiyah” itu sendiri.

Rekonstruksi Gerakan Tarbiyah Kontemporer

Saya ingin kembali pada soal liberalisme terlebih dahulu. Pada mulanya, liberalisme dalam konteks ekonomi merupakan “pelepasan tangan” negara terhadap aktivitas pasar. Ada istilah menarik yang digunakan Adam Smith, yaitu invisible hand, di mana perekonomian diserahkan pada mekanisme pasar (bebas) yang memungkinkan kompetisi terjadi secara terbuka. Sebab, menurut Uncle Smith, hanya dengan pasar bebaslah spesialisasi dan pembagian kerja dapat diciptakan, sehingga memberikan efisiensi bagi produksi. Efisiensi ini tujuannya adalah untuk dikembalikan lagi pada kesejahteraan rakyat. Model ini digagas oleh Smith dan dikembangkan oleh murid-muridnya seperti David Ricardo dll.

Model liberalisme ini pun semakin berkembang dengan munculnya ekonometrika pada masa neoklasik. Akan tetapi, fondasi liberalism Smith ini berubah manakala terjadi krisis ekonomi global (malaise) pada masa tahun 1930-an. Secara teoretis, pola liberalism ekonomi ini direkonstruksi oleh Keynes, yang menyatakan bahwa ternyata campur tangan negara harus tetap ada dalam mekanisme pasar. Sehingga, logika “negara anjing penjaga” (state as watchdog) berubah menjadi “negara kesejahteraan”.

Akan tetapi, pada akhir abad ke-20, gagasan liberalisme ini direkonstruksi kembali dalam bentuk neoliberalisme. Karena model Keynesian tidak cocok di semua negara, beberapa lembaga keuangan internasional (IMF, Bank Dunia, dll) kemudian menginisiasi Washington Consensus yang menghasilkan sepuluh poin kesimpulan. Sepuluh doktrin Konsensus tersebut kemudian diringkas dalam tiga ajaran utama yaitu; liberalisasi, privatisasi dan deregulasi. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah neoliberalisme, sebuah doktrin yang pada hakikatnya melepas kembali campur tangan negara dalam perekonomian dan menjadikannya sebagai ‘fasilitator’ untuk mengefektifkan mekanisme pasar.

Jika kita belajar dari pengalaman liberalisme tersebut, kita akan melihat bahwa liberalisme sebagai sebuah paham terus menerus diperbaharui dengan cara merekonstruksi liberalisme itu sendiri (tanpa melihat bagiamana bentuk setelahnya). Begitu pula, menurut hemat saya, perlu adanya rethinking dalam kultur dan paradigma Gerakan Tarbiyah agar gerakan ini tetap eksis.

Agenda untuk memikirkan kembali (rethinking) Gerakan Tarbiyah ini dapat disarikan dalam beberapa gagasan. Pertama, tentang kaderisasi tandzim. Saya meyakini bahwa gerakan Tarbiyah adalah gerakan yang mengutamakan kualitas kader. Dalam istilah partai, disebut juga sebagai partai kader. Bentuk ini melekat dalam tubuh PKS (juga KAMMI) karena memang sistem kaderisasi di gerakan ini berjalan secara cukup panjang dan manhaji (punya sistem pengelolaan dan kode etik tertentu).

Saya melihat  bahwa saat ini, sistem kaderisasi dalam jamaah Tarbiyah memerlukan suatu penyegaran. Kader yang dibentuk bukan lagi kader yang “fanatik” terhadap partai dan tidak menjadikan Tarbiyah sebagai doktrin pembenaran dalam Halaqoh Tarbiyah. Kader Tarbiyah perlu mampu untuk membuka diri dengan adanya eksistensi gerakan islam (ataupun bukan gerakan islam) yang lain. Artinya, yang dibentuk adalah pemahaman islam yang kaffah dan tidak berujung pada pembenaran terhadap apa yang dilakukan oleh “partai” tertentu yang diusung jama’ah.

Sehingga, para aktivis Tarbiyah ini menjadi pribadi muslim yang kritis. Jadi, sebagai contoh, ketika ia tidak mendukung partai yang diusung jama’ah karena alasan yang bisa dipertanggungjawabkan, sikap ini tidak dianggap sebagai masalah. Sebab, pada hakikatnya orientasi politik adalah soal pilihan. Keterbukaan ini juga akan menjembatani kader-kader yang lahir dari habitus/latar belakang masyarakat “yang-lain” seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, dll. Saya berpendapat, seharusnya kaderisasi gerakan Tarbiyah adalah perbaikan moralitas, bukan justru berorientasi pada patron politik tertentu.

Kedua, tentang purifikasi gerakan Tarbiyah. Meminjam istilah Fachry Aidulsyah (“Membicarakan Post-Tarbiyah”),  Purifikasi Tarbiyah ini adalah pengembalian jati diri gerakan Tarbiyah pada awal mula kemunculannya. Mungkin ini berkaitan dengan poin yang pertama, bahwa gerakan Tarbiyah sejatinya harus dikembalikan pada fungsinya sebagai perbaikan mora  tanpa adanya doktrin-doktrin politik tertentu. Islam mengembalikan manusia pada kemurnian fitrahnya, bukan merujuk pada fanatisme kelompok atau golongan.

Maka, pada poin yang kedua ini, gerakan Tarbiyah harus dipisahkan dari PKS. Biarkan ia menjadi sebuah gerakan moralitas dan biarkan pula pada akhirnya kader Tarbiyah ini memiliki orientasi politik sendiri. Seharusnya, ketika aktivis Tarbiyah ini berpolitik, bagaimanapun orientasinya, ia tetap akan membawa nilai-nilai islam. Tidaklah mengapa jika pada akhirnya yang dipilih adalah PKS –karena alasan yang ia pilih sendiri. Sebab, yang terpenting adalah gerakan Tarbiyah ini mencetak pribadi muslim yang baik dan mampu berpolitik secara sehat dan tidak harus menjadi anggota atau simpatisan PKS. Dengan begitu, pada akhirnya kader-kader bentukan Tarbiyah secara alami akan melakukan perbaikan atas kesadarannya.

Al Haqqu min Rabbika; Falaa takuunanna minal mumtarin

0 comments:

Posting Komentar