Rabu, 07 Januari 2015

Sekolah Master dan Penggusuran yang Tidak Kunjung Usai

Kalau saja kita perhatikan sepanjang jalan Margonda Raya Kota Depok, disana berdiri gedung-gedung megah yang berjajar dengan pusat-pusat perbelanjaan dan beragam sentra bisnis lainnya. Kemudian di salah satu sudutnya, kita akan menemukan pemandangan yang berbeda dari jalan Margonda Raya yang kita kenal. Adalah Sekolah Masjid Terminal (Master), tempat pendidikan yang bersejajar dengan pusat perbelanjaan dan berhimpitan langsung dengan terminal Kota Depok. Tempatnya mungkin bagi kita terlihat kumuh, tapi ketahuilah bahwa disana ada ratusan anak yang bersekolah serta menjadikan wilayah tersebut sebagai pemukiman bagi mereka.

Sekolah Master sendiri merupakan sekolah yang memang ditujukan untuk mengakomodir kebutuhan pendidikan anak-anak jalanan yang tidak bisa mengenyam pendidikan. Aktivitas belajar-mengajar disana pun layaknya sekolah pada umumnya, anak-anak jalanan ini mendapatkan pendidikan dari pengajaran oleh guru-guru yang kebanyakan merupakan sukarelawan. Selama 14 tahun berdirinya sekolah Master (sejak 2000), pernah ditahun 2013 mendapat ancaman penggusuran oleh pemerintah setempat, namun dukungan yang besar terhadap sekolah Master membuat pemerintah kota Depok urung melaksanakan penggusuran (sekaligus berjanji agar Sekolah Master tetap berdiri).[1]

Dua tahun setelahnya, kini Sekolah Master mendapatkan ancaman yang serupa. Pada November 2014 Sekolah Master melalui Nurohim, penggagas Sekolah Master, mendapatkan surat penggusuran oleh pihak Pemkot Depok yang akan dieksekusi pada 15 Januari 2015 mendatang. Berdasarkan investigasi yang dilakukan oleh kawan-kawan Siaga FISIP UI[2] serta Ketua BEM UI 2015, Andi Aulia Rahman, bahwa ada dua lahan yang menjadi masalah. Lahan pertama adalah lahan yang berdiri asrama tempat guru-guru sekolah tersebut tinggal. Lahan ini oleh pihak Pemkot Depok akan digunakan untuk membuka jalan, sehingga menurut pihak pemkot sendiri akan menggantinya sebesar 6 juta rupiah per m2 (biaya yang sesuai dengan Nilai Jual Obyek Pajak), sedangkan menurut pengakuan Nurohim sendiri seharusnya tanah itu mencapai 25 juta rupiah per m2. Kemudian lahan yang kedua adalah lahan dimana bangunan TK dan SMP berdiri (luas: 2000 m2). Tanah ini merupakan tanah sengketa dimana secara legalitas pihak Master tidak memiliki akta/ surat tanah yang kuat secara hukum. Sedangkan tanah ini sudah dibeli oleh pihak pengembang (kabarnya) diperuntukkan membangun apartemen.

Alhasil pihak Master sendiri menginginkan ada mekanisme ganti rugi yang sesuai dengan nilai keekonomian yang ada. Pada lahan yang pertama pihak Master berharap dapat diganti dengan harga tanah yang sesuai dengan harga pasarnya, agar dapat membeli lahan baru yang tidak jauh dari sana. Adapun pada lahan dimana bangunan TK dan SMP berdiri pihak Master menginginkan agar bangunan yang diruntuhkan dapat dibangun kembali pada tanah kosong yang dimiliki oleh Nurohim. Hal ini dikarenakan ketidakmampuan pihak Master untuk membangun kembali ditambah ada sekitar 800 siswa yang menggantungkan pendidikannya pada bangunan sekolah itu. Singkat cerita, usulan solusi pihak Master tersebut tidak diterima dan penggusuran nampaknya akan tetap sesuai rencana.

Ringkasan fenomena diatas merefleksikan bagian kecil dari permasalahan kota yang ada di Indonesia. Penulisan ini dimaksudkan untuk memunculkan sebab-sebab terjadinya masalah perkotaan disamping pendekatan teknokratis yang ada. Analisa politik perkotaan dalam hal ini menjadi relevan untuk menjawabnya.

Siapa yang Mengontrol Lahan?

Fenomena penggusuran yang kita jumpai sehari-hari adalah hal ihwal yang menyangkut persoalan lahan. Sedangkan kontekstualisasi kontrol atas lahan juga tidak lepas dari transformasi wilayah pinggiran menjadi wilayah perkotaan (urbanisasi). Kota Depok merupakan contoh riil bagaimana kawasan pinggiran bertransformasi menjadi kawasan perkotaan yang mandiri. Perkembangan kota Depok secara administrasi kewilayahan pun telah menjadi kota yang mandiri dan bukan lagi sebagai kota administratif maupun bagian dari kabupaten Bogor sebagaimana pada masa-masa sebelumnya. Dalam hal ini, konteks perkembangan kawasan kota ini sangat relevan dengan analisa relasi kuasa diatasnya.

William Domhoff dalam makalahnya yang berjudul “Power at the Local Level: Growth Coalition Theory” menyebutkan bahwa struktur relasi kuasa antara perkotaan dengan tingkat nasional adalah berbeda. Pada tingkat kota, struktur relasi kuasa memiliki core yaitu agregasi kepentingan untuk meningkatkan intensifikasi penggunaan atas lahan (a local power structure is at its core an aggregate of land-based interest that profit from increasingly intensive use of land).[3] Dengan analisa yang lebih jauh, Logan dan Molotch (1987) jelas menyebutkan bahwa transformasi wilayah pinggiran menjadi perkotaan dimanfaatkan oleh mesin pertumbuhan sebagai konsekuensi kontrol atas lahan.[4] Konsep ini berkembang dari teori elit yang memposisikan elit sebagai aktor yang melakukan kontrol. Ciri khas utama dari mesin pertumbuhan adalah intensifikasi kawasan dengan menukar nilai guna lahan. Oleh karena itu, titik tekan perubahan (ke arah Kota) terletak pada fungsi lahan yang berasal dari kawasan pinggiran menjadi kawasan perkotaan yang memiliki nilai jual lebih.

Bergerak atau tidaknya mesin pertumbuhan ini melibatkan peran elit lokal yang saling berkoalisi antara pengembang, investor asing, dan pemerintah lokal yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Pada mulanya lahan diintensifikasi dengan menanamkan modal diatasnya, kemudian terjadi transformasi sehingga lahan memiliki nilai guna yang lebih. Tentu kondisi demikian menjadi prasyarat terbentuknya kota, disamping nilai guna lahan memiliki manfaat bagi pengembang untuk mengakumulasi modalnya. Kebanyakan kasus di Indonesia adalah penanaman kapital yang membuat alih fungsi lahan menjadi kawasan properti, sentra-sentra bisnis, dan pusat perbelanjaan. Lama-kelamaan wilayah yang berada disekitarnya pun ikut tumbuh dan kelas menengah pun bermunculan. Sedangkan Pemerintah lokal yang berada pada lingkaran elit aktor mesin pertumbuhan memainkan peran pada pemberian dasar hukum, tata aturan dan mengatur regulasi yang mendukungnya.

 Kebutuhan elit lokal untuk saling berkoalisi sebagaimana dijelaskan pada paragraf sebelumnya adalah hal yang tidak terhindarkan (terutama bagi pemerintah lokal). Domhoff sendiri telah mengatakan:

In particular, there is tension between growth coalitions and corporations because corporations have the ability to move if they think that local regulations are becoming too stringent or taxes and wages too high. A move by a major corporation can have a devastating impact on a local growth coalition. Thus, growth coalitions can fail. Cities can die, or even become ghost towns.[5]

“terutama, terdapat ketegangan antara ‘koalisi pertumbuhan’ dan korporasi dikarenakan korporasi memiliki kemampuan untuk berpindah jika mereka pikir regulasi kota (perda) yang ada terlalu ketat atau pajak dan retribusi yang terlalu tinggi. Berpindahnya sebagian besar korporasi dapat berpotensi mengancurkan ‘koalisi pertumbuhan’ lokal. Dengan demikian ‘koalisi pertumbuhan’ akan gagal. Kota akan mati bahkan menjadi kota hantu”

Kembali pada persoalan penggusuran, kita selalu melihat aktor-aktor yang ada dibalik penggusuran pasti tidak hanya pemerintah lokal saja. Selalu ada aktor lain yang juga terlibat salah satunya adalah pemilik modal. Termasuk kondisi demikian kita jumpai pada kasus dibalik rencana penggusuran sekolah Master ini, bahwa ada pihak pengembang juga yang akan mengambil alih kontrol lahan. Pemerintah kota yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi ini tentu sangat bergantung pada arah gerak modal, sehingga jawaban atas pertanyaan siapa yang mengontrol lahan akan terjawab.

Penggusuran yang Tidak Kunjung Usai

Peningkatan nilai guna lahan selalu memberikan konsekuensi setelahnya. Analisa David Harvey memberikan pelajaran kepada kita bahwa kontrol lahan selalu berkaitan dengan kebutuhan akumulasi modal. Tendensi atas akumulasi modal ini menurut Harvey adalah ekspansi geografis secara temporal, atau dikenal dengan istilah Harvey sebagai spatial-temporal fixed.[6] Ekspansi georgrafis yang diwujudkan dengan perubahan ruang-ruang spasial yang ada, tentu dimaksudkan untuk kebutuhan akumulasi modal. Modal dalam hal ini harus diputar agar akumulasi dapat terus berjalan, dan bentuk perputaran ini selalu membutuhkan suatu ekspansi geografis secara jangka panjang.

Ekspansi inilah yang seringkali dilakukan melalui penjarahan (accumulation by dispossesion). Perubahan keorganisasian spasial melalui penjarahan (penggusuran) dalam kasus Sekolah Master ini adalah mengganti sekolah master sesuai dengan yang dikehendaki pemilik modal. Hal ini yang dimaksudkan agar lahan memiliki nilai guna lebih, sehingga memiliki peranan dalam akumulasi modal. Posisi dilematis lainnya adalah pemerintah lokal yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi ini pasti akan melihat hal ini tidak hanya berguna sebagai pemasukan saja. Lebih dari itu lahan yang lebih berdaya guna tentu merupakan prasyarat bagi kota yang jauh dari kekumuhan – dan nampaknya ini juga menjadi alasan yang kuat bagi pihak pemkot sendiri untuk menggusur Sekolah Master. Bagaimanapun mewujudkan kenyamanan perkotaan yang meminggirkan sekelompok masyarakat tertentu adalah alasan yang bias kelas. Oleh karena itu, dengan memperhatikan analisa diatas, (mungkin) sampai kapanpun penggusuran di berbagai daerah tidak akan pernah kunjung usai.

Penulis adalah Mahasiswa ilmu Politik UI dan Koordinator Bidang Sosial Politik BEM UI 2015. @GradyNagara


[1] Pernyataan walikota Depok, Nurmahmudi Ismail, melalui rekaman siaran langsung tvOne, Kamis, 18 Juli 2013. http://youtube.com/watch?v=FoJQHDRim0w
[3]G.  William Domhoff (2005), “Power at the Local Level: Growth Coalition Theoryhttp://www2.ucsc.edu/whorulesamerica/local/growth_coalition_theory.html diakses pada 15 Desember 2014 (11.00 WIB)
[4] John R. Logan dan Harvey L. Molotch (1987), “Urban Fortunes: The Political Economy of Place” California: California University Press. Hlm. 291
[5] G. William Domhoff. Op cit.
[6] David Harvey (2010), “Imperialisme Baru: Genealogi dan Logika Kapitalisme Modern – Edisi Terjemahan” Yogyakarta: Resist Book. Hlm. 99

0 comments:

Posting Komentar