Kalau saja kita
perhatikan sepanjang jalan Margonda Raya Kota Depok, disana berdiri gedung-gedung
megah yang berjajar dengan pusat-pusat perbelanjaan dan beragam sentra bisnis
lainnya. Kemudian di salah satu sudutnya, kita akan menemukan pemandangan yang
berbeda dari jalan Margonda Raya yang kita kenal. Adalah Sekolah Masjid
Terminal (Master), tempat pendidikan yang bersejajar dengan pusat perbelanjaan
dan berhimpitan langsung dengan terminal Kota Depok. Tempatnya mungkin bagi
kita terlihat kumuh, tapi ketahuilah bahwa disana ada ratusan anak yang
bersekolah serta menjadikan wilayah tersebut sebagai pemukiman bagi mereka.
Sekolah Master
sendiri merupakan sekolah yang memang ditujukan untuk mengakomodir kebutuhan
pendidikan anak-anak jalanan yang tidak bisa mengenyam pendidikan. Aktivitas
belajar-mengajar disana pun layaknya sekolah pada umumnya, anak-anak jalanan
ini mendapatkan pendidikan dari pengajaran oleh guru-guru yang kebanyakan merupakan
sukarelawan. Selama 14 tahun berdirinya sekolah Master (sejak 2000), pernah
ditahun 2013 mendapat ancaman penggusuran oleh pemerintah setempat, namun
dukungan yang besar terhadap sekolah Master membuat pemerintah kota Depok urung
melaksanakan penggusuran (sekaligus berjanji agar Sekolah Master tetap
berdiri).[1]
Dua tahun
setelahnya, kini Sekolah Master mendapatkan ancaman yang serupa. Pada November
2014 Sekolah Master melalui Nurohim, penggagas Sekolah Master, mendapatkan
surat penggusuran oleh pihak Pemkot Depok yang akan dieksekusi pada 15 Januari
2015 mendatang. Berdasarkan investigasi yang dilakukan oleh kawan-kawan Siaga
FISIP UI[2]
serta Ketua BEM UI 2015, Andi Aulia Rahman, bahwa ada dua lahan yang menjadi
masalah. Lahan pertama adalah lahan yang berdiri asrama tempat guru-guru
sekolah tersebut tinggal. Lahan ini oleh pihak Pemkot Depok akan digunakan
untuk membuka jalan, sehingga menurut pihak pemkot sendiri akan menggantinya
sebesar 6 juta rupiah per m2 (biaya yang sesuai dengan Nilai Jual
Obyek Pajak), sedangkan menurut pengakuan Nurohim sendiri seharusnya tanah itu
mencapai 25 juta rupiah per m2. Kemudian lahan yang kedua adalah
lahan dimana bangunan TK dan SMP berdiri (luas: 2000 m2). Tanah ini
merupakan tanah sengketa dimana secara legalitas pihak Master tidak memiliki
akta/ surat tanah yang kuat secara hukum. Sedangkan tanah ini sudah dibeli oleh
pihak pengembang (kabarnya) diperuntukkan membangun apartemen.
Alhasil pihak
Master sendiri menginginkan ada mekanisme ganti rugi yang sesuai dengan nilai
keekonomian yang ada. Pada lahan yang pertama pihak Master berharap dapat
diganti dengan harga tanah yang sesuai dengan harga pasarnya, agar dapat
membeli lahan baru yang tidak jauh dari sana. Adapun pada lahan dimana bangunan
TK dan SMP berdiri pihak Master menginginkan agar bangunan yang diruntuhkan
dapat dibangun kembali pada tanah kosong yang dimiliki oleh Nurohim. Hal ini
dikarenakan ketidakmampuan pihak Master untuk membangun kembali ditambah ada
sekitar 800 siswa yang menggantungkan pendidikannya pada bangunan sekolah itu.
Singkat cerita, usulan solusi pihak Master tersebut tidak diterima dan
penggusuran nampaknya akan tetap sesuai rencana.
Ringkasan
fenomena diatas merefleksikan bagian kecil dari permasalahan kota yang ada di
Indonesia. Penulisan ini dimaksudkan untuk memunculkan sebab-sebab terjadinya
masalah perkotaan disamping pendekatan teknokratis yang ada. Analisa politik
perkotaan dalam hal ini menjadi relevan untuk menjawabnya.
Siapa yang Mengontrol Lahan?
Fenomena
penggusuran yang kita jumpai sehari-hari adalah hal ihwal yang menyangkut
persoalan lahan. Sedangkan kontekstualisasi kontrol atas lahan juga tidak lepas
dari transformasi wilayah pinggiran menjadi wilayah perkotaan (urbanisasi).
Kota Depok merupakan contoh riil bagaimana kawasan pinggiran bertransformasi
menjadi kawasan perkotaan yang mandiri. Perkembangan kota Depok secara
administrasi kewilayahan pun telah menjadi kota yang mandiri dan bukan lagi
sebagai kota administratif maupun bagian dari kabupaten Bogor sebagaimana pada
masa-masa sebelumnya. Dalam hal ini, konteks perkembangan kawasan kota ini
sangat relevan dengan analisa relasi kuasa diatasnya.
William Domhoff
dalam makalahnya yang berjudul “Power at
the Local Level: Growth Coalition Theory” menyebutkan bahwa struktur relasi
kuasa antara perkotaan dengan tingkat nasional adalah berbeda. Pada tingkat
kota, struktur relasi kuasa memiliki core
yaitu agregasi kepentingan untuk meningkatkan intensifikasi penggunaan atas
lahan (a local power structure is at its
core an aggregate of land-based interest that profit from increasingly
intensive use of land).[3]
Dengan analisa yang lebih jauh, Logan dan Molotch (1987) jelas menyebutkan
bahwa transformasi wilayah pinggiran menjadi perkotaan dimanfaatkan oleh mesin
pertumbuhan sebagai konsekuensi kontrol atas lahan.[4]
Konsep ini berkembang dari teori elit yang memposisikan elit sebagai aktor yang
melakukan kontrol. Ciri khas utama dari mesin pertumbuhan adalah intensifikasi
kawasan dengan menukar nilai guna lahan. Oleh karena itu, titik tekan perubahan
(ke arah Kota) terletak pada fungsi lahan yang berasal dari kawasan pinggiran
menjadi kawasan perkotaan yang memiliki nilai jual lebih.
Bergerak atau
tidaknya mesin pertumbuhan ini melibatkan peran elit lokal yang saling
berkoalisi antara pengembang, investor asing, dan pemerintah lokal yang
berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Pada mulanya lahan diintensifikasi
dengan menanamkan modal diatasnya, kemudian terjadi transformasi sehingga lahan
memiliki nilai guna yang lebih. Tentu kondisi demikian menjadi prasyarat
terbentuknya kota, disamping nilai guna lahan memiliki manfaat bagi pengembang
untuk mengakumulasi modalnya. Kebanyakan kasus di Indonesia adalah penanaman
kapital yang membuat alih fungsi lahan menjadi kawasan properti, sentra-sentra
bisnis, dan pusat perbelanjaan. Lama-kelamaan wilayah yang berada disekitarnya
pun ikut tumbuh dan kelas menengah pun bermunculan. Sedangkan Pemerintah lokal
yang berada pada lingkaran elit aktor mesin pertumbuhan memainkan peran pada
pemberian dasar hukum, tata aturan dan mengatur regulasi yang mendukungnya.
Kebutuhan elit lokal untuk saling berkoalisi sebagaimana
dijelaskan pada paragraf sebelumnya adalah hal yang tidak terhindarkan
(terutama bagi pemerintah lokal). Domhoff sendiri telah mengatakan:
“In particular, there is tension between growth
coalitions and corporations because corporations have the ability to move if
they think that local regulations are becoming too stringent or taxes and wages
too high. A move by a major corporation can have a devastating impact on a
local growth coalition. Thus, growth coalitions can fail. Cities can die, or
even become ghost towns.”[5]
“terutama,
terdapat ketegangan antara ‘koalisi pertumbuhan’ dan korporasi dikarenakan
korporasi memiliki kemampuan untuk berpindah jika mereka pikir regulasi kota
(perda) yang ada terlalu ketat atau pajak dan retribusi yang terlalu tinggi.
Berpindahnya sebagian besar korporasi dapat berpotensi mengancurkan ‘koalisi
pertumbuhan’ lokal. Dengan demikian ‘koalisi pertumbuhan’ akan gagal. Kota akan
mati bahkan menjadi kota hantu”
Kembali pada
persoalan penggusuran, kita selalu melihat aktor-aktor yang ada dibalik
penggusuran pasti tidak hanya pemerintah lokal saja. Selalu ada aktor lain yang
juga terlibat salah satunya adalah pemilik modal. Termasuk kondisi demikian
kita jumpai pada kasus dibalik rencana penggusuran sekolah Master ini, bahwa
ada pihak pengembang juga yang akan mengambil alih kontrol lahan. Pemerintah
kota yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi ini tentu sangat bergantung
pada arah gerak modal, sehingga jawaban atas pertanyaan siapa yang mengontrol
lahan akan terjawab.
Penggusuran yang Tidak Kunjung Usai
Peningkatan
nilai guna lahan selalu memberikan konsekuensi setelahnya. Analisa David Harvey
memberikan pelajaran kepada kita bahwa kontrol lahan selalu berkaitan dengan
kebutuhan akumulasi modal. Tendensi atas akumulasi modal ini menurut Harvey
adalah ekspansi geografis secara temporal, atau dikenal dengan istilah Harvey
sebagai spatial-temporal fixed.[6] Ekspansi
georgrafis yang diwujudkan dengan perubahan ruang-ruang spasial yang ada, tentu
dimaksudkan untuk kebutuhan akumulasi modal. Modal dalam hal ini harus diputar
agar akumulasi dapat terus berjalan, dan bentuk perputaran ini selalu
membutuhkan suatu ekspansi geografis secara jangka panjang.
Ekspansi inilah
yang seringkali dilakukan melalui penjarahan (accumulation by dispossesion). Perubahan keorganisasian spasial
melalui penjarahan (penggusuran) dalam kasus Sekolah Master ini adalah
mengganti sekolah master sesuai dengan yang dikehendaki pemilik modal. Hal ini
yang dimaksudkan agar lahan memiliki nilai guna lebih, sehingga memiliki
peranan dalam akumulasi modal. Posisi dilematis lainnya adalah pemerintah lokal
yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi ini pasti akan melihat hal ini tidak
hanya berguna sebagai pemasukan saja. Lebih dari itu lahan yang lebih berdaya
guna tentu merupakan prasyarat bagi kota yang jauh dari kekumuhan – dan
nampaknya ini juga menjadi alasan yang kuat bagi pihak pemkot sendiri untuk
menggusur Sekolah Master. Bagaimanapun mewujudkan kenyamanan perkotaan yang
meminggirkan sekelompok masyarakat tertentu adalah alasan yang bias kelas. Oleh
karena itu, dengan memperhatikan analisa diatas, (mungkin) sampai kapanpun
penggusuran di berbagai daerah tidak akan pernah kunjung usai.
[1] Pernyataan walikota
Depok, Nurmahmudi Ismail, melalui rekaman siaran langsung tvOne, Kamis, 18 Juli
2013. http://youtube.com/watch?v=FoJQHDRim0w
[2] Baca tiga artikel yang
ditulis pada tumblr Siaga FISIP UI.
(1) http://siagafisipui.tumblr.com/post/107070249736/master-masihterancam (2) http://siagafisipui.tumblr.com/post/107070380696/sekolah-master-apa-kabarmu (3) http://siagafisipui.tumblr.com/post/107070620516/apa-kabar-sekolah-master-apa-kabar-janji-sang
[3]G. William
Domhoff (2005), “Power at the Local
Level: Growth Coalition Theory” http://www2.ucsc.edu/whorulesamerica/local/growth_coalition_theory.html diakses pada 15 Desember 2014 (11.00 WIB)
[4] John R. Logan dan Harvey
L. Molotch (1987), “Urban Fortunes: The
Political Economy of Place” California: California University Press. Hlm.
291
[5] G. William Domhoff. Op cit.
[6] David Harvey (2010), “Imperialisme Baru: Genealogi dan Logika
Kapitalisme Modern – Edisi Terjemahan” Yogyakarta: Resist Book. Hlm. 99
0 comments:
Posting Komentar