Jumat, 13 Maret 2015

Sisi Lain Problem Pangan dari Sekedar Harga

Bangsa ini kembali dikejutkan dengan permasalahan yang tidak baru; harga-harga bahan pangan yang fluktuatif. Harga beras misalnya, – sebagai pangan utama masyarakat Indonesia – sampai dengan 11 Maret 2015 mencapai 10.492 rupiah per kg-nya (standar beras medium). Dibandingkan Periode Januari dengan kisaran 9.494 – 9.628 rupiah dan Februari 9.767 – 10.480 rupiah, harga beras periode paruh pertama Maret ini mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Kondisi yang sedikit berbeda dengan harga cabai merah yang pada awal Januari sangat tinggi (mencapai 58,308 rupiah/kg) kini mengalami penurunan yang cukup signifikan sampai dengan 11 Maret ini (24,837 rupiah/kg).[1] Lantas, harga-harga bahan pokok kedepannya akan mengalami nasib yang sama; fluktuasi harga.

Tidak stabilnya harga bahan pokok dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor. Misalkan saja faktor alam (cuaca dan banjir) yang menyebabkan gagal panen di sektor pertanian. Produksi yang menurun dibandingkan dengan tingkat kebutuhan konsumsi sangatlah wajar jika harga menjadi naik. Kasus beras sendiri, pemerintah sudah menyediakan beras melalui Bulog dengan harga yang relatif lebih rendah dengan kisaran harga 7,000 – 8,000 rupiah. Terlepas dari praktik spekulan yang ada, ternyata operasi pasar melalui Bulog ini cukup efektif untuk menurunkan harga beras premium yang sempat melambung tinggi (menyentuh harga 9,000 rupiah). Namun sekali lagi sangat mungkin jika perubahan harga akan terjadi dalam waktu yang singkat.

Problem Pangan Bukan Sekedar Harga!

Jika deskripsi diatas menggambarkan dinamika komoditas pangan di pasar, yang berkaitan dengan kemampuan/ daya beli masyarakat, ada isu lain yang lebih penting yaitu ketahanan pangan. Ketahanan pangan merupakan kondisi dimana terpenuhinya pangan sampai dengan level individu, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup; baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi (UU. 18/2012 tentang Pangan). Kompleksitas definisi tersebut menyebabkan perspektif terhadap pangan tidak dilihat dari bagaimana pangan menyediakan kebutuhan untuk manusia, melainkan bagaimana manusia itu sendiri membutuhkan pangan yang seperti apa.

Menunjang tercapainya ketahanan pangan; aspek ketersediaan pangan, distribusi dan konsumsi memainkan peranan yang penting didalamnya. Aspek ketersediaan pangan berbicara mengenai bagaimana kemampuan produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Kesenjangan yang besar antara produksi dan konsumsi menyebabkan kebijakan impor menjadi pilihan untuk stabilisasi harga, khususnya pada komoditi beras. Hal ini berkaitan dengan aspek lainnya yaitu distribusi; bagaimana dukungan infrastruktur? Bagaimana pemerintah menyediakan sarana dan sistem transportasi untuk distribusi? Bahkan naiknya biaya produksi juga disebabkan oleh faktor keamanan/ pungutan liar yang jarang diperhatikan. Terkait aspek konsumsi, apakah pangan yang tersedia sudah memenuhi standar gizi yang cukup untuk masyarakat? Bagaimanapun juga, pangan harus memenuhi standar mutu yang baik agar terwujudnya manusia yang sehat. Kompleksitas ini berlanjut karena akses pangan juga harus mencapai level individu. Maka pertanyaannya; jika harga pangan berkualitas tinggi, daya beli masyarakat rendah, sedangkan harga pangan murah namun tidak berkualitas untuk memenuhi standar mutu bagi masyarakat, dimanakah Negara dalam menyelesaikan semua masalah tersebut?
[1] Tabel Harga Kebutuhan Pokok Nasional. Diakses dari www.kemendag.go.id pada 13 Maret 2015 (08.00 WIB)

0 comments:

Posting Komentar