Pelemahan rupiah
terhadap mata uang dollar US nampaknya memberikan pengingatan bagi kita,
masyarakat Indonesia, untuk melihat kembali bahwa ekonomi Indonesia sedang
dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. Sampai dengan tulisan singkat ini
dibuat, pada 31 Agustus 2015 pukul 07.00 WIB, rupiah menunjukkan 14.080,50 per
1 US Dollar. Angka yang cukup fenomenal mengingat pelemahan rupiah ini hampir
mirip dengan krisis 1997. Atas dasar latar belakang itu, BEM UI melalui
departemen Kastrat dan Akprop mencoba untuk mengkaji pelemahan rupiah melalui
faktor luar negeri dan dalam negeri ( bit.ly/BaladaRupiah1 ).
Dalam tulisan
itu, fenomena pelemahan rupiah salah satunya dilihat sebagai imbas dari
kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat, Federal
Reserve, dalam menerapkan tapering
off atau mengurangi pembelian obligasi guna mengurangi jumlah uang yang
beredar. Pengurangan jumlah USD yang beredar dengan jumlah mata uang lain
tetap, mengakibatkan apresiasi USD sehingga menyebabkan mata uang negara lain
melemah termasuk rupiah. Tulisan tersebut sebetulnya juga melihat aspek ekspor –
impor, dimana logikanya pelemahan mata uang menjadi peluang bagi sebuah negara
untuk memanfaatkan ekspor. Namun nampaknya hal ini bukan menjadi keberuntungan
bagi Indonesia. Devaluasi Yuan yang terjadi mengakibatkan penurunan impor China
dan akhirnya berimbas salah satunya adalah Indonesia yang terbiasa dengan
ekspor hasil Sumber Daya Alam (SDA) pun menjadi berkurang. Mengapa China
memiliki dampak yang signifikan? Tentu karena China adalah salah satu dari
negara dengan ekonomi besar dengan industrialisasi yang pesat sehingga
kebutuhan bahan mentah China menjadi sasaran bagi negara eksportir bahan mentah
(SDA) seperti Indonesia.
Kondisi
pelemahan rupiah yang beririsan dengan fenomena ekspor-impor Indonesia memberikan
peringatan kepada kita atas kemapanan industri dan produksi dalam negeri yang
lemah. Mari kita lihat apa yang terjadi pada industri yang bergerak di sektor
padat karya. Sampai dengan Juli 2015 tercatat 11.350 pekerja yang terkena PHK
yang sebagian besar berasal dari perusahaan-perusahaan di sektor padat karya
dan tambang. Untuk sektor padat karya seperti tekstil misalnya, bahan-bahan
yang digunakan dalam proses produksi didapatkan melalui impor. Sehingga
pengurangan jumlah tenaga kerja menjadi pilihan bagi pemilik perusahaan untuk
menekan biaya produksi karena beban pembelian bahan membesar akibat pelemahan
rupiah. Masalah ini secara fundamental terlihat dari lemahnya industri hulu yang
menopang industri-industri di sektor produktif seperti sektor padat karya.
Persoalan lainnya justru pemerintah Indonesia tetap menjadikan sektor komiditas
SDA sebagai andalan ekspor, sehingga untuk industri yang produktif menghasilkan
barang bernilai guna tidak terdorong lebih maju dikarenakan industri hulu yang
tidak banyak men-support kebutuhan
mereka.
Nampaknya harga
pangan juga sedikit –banyak terkena dampak fenomena pelemahan rupiah terhadap
dolar, tentunya pangan yang menggunakan bahan hasil impor. Perlu kita ketahui
bahwa 70 persen lebih bahan pangan dihasilkan dari proses impor. Wajar, pangan
dengan bahan baku impor akan ikut mengalami kenaikan harga karena rupiah yang
melemah terhadap dolar. Ditambah lagi sektor pertanian Indonesia sedang diuji
dengan kemarau panjang (efek fenomena el nino) yang menyebabkan produktivitas
pertanian menurun. Belum lagi mafia harga yang juga ikut mempengaruhi
harga-harga yang meninggi diakibatkan belum adanya pemberantasan yang efektif
terhadap mafia tersebut. Sehingga pada titik ini saya berpikir bahwa pemerintah
Indonesia belum berhasil mencapai tingkat ketahanan pangan demi mencukupi
kebutuhan pangan nasional yang tidak hanya murah, melainkan juga mampu memenuhi
standar kebutuhan gizi masyarakat.
Pada akhirnya, melalui
tulisan yang sangat singkat ini saya ingin menyampaikan kembali bahwa pelemahan
rupiah ini menjadi peringatan keras bagi pemerintah agar segera mengambil
tindakan yang menyelamatkan rakyatnya. Bukan karena akibat pelemahan rupiahnya
secara langsung, melainkan fenomena yang mengiringinya yang berdampak langsung
maupun tidak. Pemerintah pun sudah seharusnya lebih mementingkan kebutuhan
sektor mikro yang menjadi pondasi perekonomian masyarakat. Sehingga
ketergantungan negara terhadap ekonomi global semakin berkurang dan membangun
pondasi ekonomi dalam negeri; tentunya dengan pembangunan dan revitalisasi infrastruktur
di sektor-sektor padat karya dan lebih menggiatkan pembangunan ekonomi domestik.
0 comments:
Posting Komentar