Partai politik
telah menjadi salah satu pilar penting bagi negara yang menganut demokrasi. Hal
ini disebabkan karena pandangan normatif terhadap partai politik yang
menempatkannya sebagai agregator kepentingan di masyarakat. Pandangan tersebut
tentu tidaklah salah, karena ideologi dan program partai sebagai cermin
kepentingan masyarakat telah menjadi alat persaingan dalam interaksi antar
partai. Dalam kasus Indonesia, persaingan antar partai berdasarkan ideologi
maupun program partai telah terjadi paling tidak sejak pemilu 1955. Meskipun
persaingan antar partai sempat terhenti akibat otoritarianisme Orde Baru,
persaingan yang serupa juga terjadi kembali pada arena pemilu 1999, maupun di
arena pemilu di periode berikutnya. Persaingan, dalam hal ini menjadi agenda
penting dalam demokrasi karena mampu menciptakan mekanisme check and balances secara horizontal. Persoalannya, benarkah
mekanisme saling mengawasi dan saling menyeimbangkan kekuasaan politik
benar-benar terjadi dalam praktik demokrasi di Indonesia?
Problem ini yang kemudian diangkat
dalam studi Kuskridho Ambardi tentang sistem kepartaian dan interaksi antar
partai politik yang terjadi dalam berbagai arena persaingan. Arena persaingan
dalam hal ini tidak disempitkan dalam konteks pemilu saja; melainkan Ambardi
juga mengambil fakta interaksi antar partai yang terjadi di arena eksekutif dan
legislatif (persaingan pasca pemilu). Fakta empirik yang diungkapkan Ambardi
adalah; partai politik secara umum tidak konsisten dalam melaksanakan agenda
yang telah digaungkan sejak masa sebelum pemilu. Hal ini terlihat dari perilaku
partai politik ketika memasuki arena eksekutif maupun legislatif. Partai
politik terlihat pada kecenderungannya untuk lebih dekat pada lingkaran
kekuasaan, sehingga sering mengesampingkan program partai bahkan ideologi
partai. Kesimpulan Ambardi menyatakan bahwa fenomena tersebut diakibatkan
munculnya sistem kepartaian yang berbasiskan kartel.
Ambardi sendiri mengambil kasus pada
pemilu 1999 dan pemilu 2004 serta bagaimana interaksi antar partai yang terjadi
setelah pelaksanaan keduanya. Namun dalam review
singkat ini, yang penulis ulas adalah kerangka teoritis tentang kartel
politik (BAB I), Kasus Pemilu 2004 (BAB V), serta sebab-sebab munculnya kartel
politik (BAB VI). Hal ini diperuntukkan review
ini menjadi lebih singkat dan padat. Selain itu dalam review ini penulis juga mencoba mengelaborasikan dengan beberapa
studi lain yang relevan sebagai tambahan.
Mendefinisikan Kartel Politik
Pada umumnya partai politik memiliki
fungsi utama antara lain; (1) pendidikan politik bagi masyarakat, (2) agregasi
kepentingan dalam masyarakat, serta (3) manajemen konflik. Konsekuensi logis
dengan adanya fungsi tersebut mengakibatkan partai politik memiliki ideologi
sebagai representasi kepentingan masyarakat tertentu. Kekhasan ideologi sebuah
partai politik akan terlihat ketika persaingan terjadi. Partai politik akan
mendefinisikan dirinya sebagai perwakilan kepentingan tertentu demi mengambil
dukungan masyarakat. Tidak hanya itu, partai politik yang ideologis juga akan
terlihat dari bagaimana partai tersebut berinteraksi dan saling memperjuangkan
program dan kebijakannya. Namun dalam perkembangannya, studi mengenai interaksi
antar partai politik tidak berhenti sampai disana.
Salah satu studi yang pernah
berkembang mengenai interaksi antar partai politik adalah teori koalisi politik
yang muncul sejak 1960-an. William H. Riker dalam the theory of political coalition memberikan penjelasan terhadap
koalisi-koalisi yang mungkin terjadi antar partai politik. Dengan konsep Minimum Winning Coalition (MWC) yang
terinspirasi dari pendekatan rational
choice, Riker mampu memprediksi kemungkinan koalisi partai politik yang
terjadi. Konsep MWC menghendaki adanya koalisi dengan syarat minimal kemenangan
yaitu 50 persen + 1. Menurut Riker, partai politik akan berhenti mencari
anggota koalisi ketika syarat tersebut telah dipenuhi.[1]
Model koalisi politik yang lain juga turut melengkapi dengan melihat faktor
terbentuknya koalisi bukan semata-mata karena syarat minimal kemenangan,
melainkan koalisi juga dapat dibentuk karena adanya kedekatan ideologis antar
partai politik (sebagaimana studi yang dilakukan oleh Robert Axelrod).
Studi lain yang terkait dengan
interaksi antar partai politik dalam sistem kepartaian juga diungkapkan oleh
Sartori – yang dijadikan sebagai pijakan teoritis oleh Ambardi. Paling tidak
studi tersebut memberikan penjelasan lebih luas dari sekedar klasifikasi sistem
kepartaian sebuah negara yang hanya menjadi sistem partai tunggal, dwi partai
serta multi partai. Penjelasan lebih mengenai sistem kepartaian telah membentuk
tipologi sistem kepartaian tersendiri. Dalam studi tersebut, sistem kepartaian
tidak hanya dilihat dari jumlah partai, melainkan juga dilihat dari rentang
jarak ideologis antar partai. Sehingga dalam multi partai terbagi menjadi tipe
pluralisme moderat (3-5 partai) dan pluralisme ekstrem (> 5 partai). Dalam
hal tingkat jarak ideologis yang tinggi, jumlah partai politik yang berjumlah 2
ataupun lebih masing-masingnya memiliki kemungkinan terpolarisasi yang tinggi –
terlebih pada jumlah partai yang lebih dari 5 kemungkinan terpolarisasi menjadi
lebih tinggi.
Tawaran tipologi sistem kepartaian
tersebut telah memberikan penguatan terhadap teori koalisi politik. Bahwa
polarisasi partai politik yang se-ideologi memberikan kemungkinan terjadinya
koalisi partai yang lebih tinggi. Namun yang menjadi kelemahan dari tipologi
sartori, maupun teori koalisi politik yang ada hanya mengasumsikan satu arena
persaingan politik saja. Misalkan saja praktik pemilu di Indonesia; yang secara
umum hanya menunjukkan adanya polarisasi partai-partai berbasiskan islam dan
partai-partai yang berbasiskan sekuler. Kerangka teoritis tersebut relevan
untuk melihat koalisi-koalisi yang terjadi antar partai politik di Indonesia
dalam satu arena persaingan. Misalkan saja persaingan dalam pemilu 1999 dan
terjadinya polarisasi antar partai islam dengan terbentuknya koalisi poros
tengah. Namun sekali lagi perlu dicatat, kerangka teori demikian hanya
mengasumsikan satu arena persaingan sehingga tidak dapat menjelaskan interaksi
yang terjadi dalam arena persaingan yang lain.
Salah satu usaha yang mencoba
memberikan penjelasan lebih adalah studi yang dilakukan oleh Richar R. Katz dan
Peter Mair dalam The Cartel Party Thesis.[2]
Dengan melihat pengalaman fenomena partai pasca-industri di Eropa Barat, Katz
dan Mair memberikan kerangka historis bagaimana akhirnya kartel partai muncul.
Dalam studinya, jenis partai muncul paling awal adalah partai kader (cadre party) pada abad ke-19. Hal ini
juga merupakan awal ketika hak pilih publik diperkenalkan di seluruh Eropa
Barat. Partai politik semakin berkembang dengan bertransformasi menjadi partai
massa (mass party) sebagai kebutuhan
untuk mencari konstituen yang lebih besar. Kebutuhan untuk mencari konstituen
yang besar membuat partai politik bergerak lebih pragmatis, sehingga muncul
partai lintas kelompok (catch all-party)
yang tidak hanya melihat satu segmen masyarakat saja, melainkan juga melihat
segmen masyarakat yang lain. Perkembangan berikutnya, partai politik bergeser
ke arah perilaku kartel yang menjadi fokus studi Katz dan Mair.
Dalam ekonomi, istilah Kartel
diasosiasikan sebagai kelompok produsen yang memiliki tujuan menetapkan harga
dengan membatasi suplai dan kompetisi barang, sehingga tercipta suatu bentuk
monopoli yang mengganggu persaingan dalam pasar. Istilah kartel juga dikaitkan
dengan politik dimana ada kecenderungan dari partai politik untuk membatasi
persaingan bahkan menghilangkan persaingan itu sendiri. Studi mengenai kartel
politik juga diperkenalkan oleh Dan Slater dalam mengkaji fenomena partai
politik di Indonesia era reformasi. Menurutnya, partai politik telah gagal
dalam menjalankan fungsi pengawasan dan perimbangan yang menjadi inti
demokrasi. Sehingga bagi Slater, kondisi demikian merupakan jebakan
pertanggungjawaban (accountability trap)
yang diderita oleh demokrasi Indonesia. Perilaku kartel partai politik yang
telah menghilangkan persaingan dan ketiadaan oposisi adalah sebab tidak adanya
pertanggungjawaban horizontal.[3]
Jelas bahwa analisis atas fenomena
kartelisasi partai politik mampu menjelaskan interaksi antar partai politik di
berbagai arena persaingan. Anomali yang terjadi karena adanya ketidak
konsistensi partai politik dalam menjalankan hasil pemilu sehingga
koalisi-koalisi yang terbentuk tidak solid. Jika hari ini kita melihat ada
sikap fraksi partai politik yang terlihat “kompak” dalam kebijakan tertentu –
sehingga tidak terlihat ada persaingan dan oposisi, ataupun adanya koalisi
dengan memasukkan anggota partai (yang seharusnya oposisi) pada jabatan-jabatan
menteri ataupun jabatan lainnya, menurut Ambardi hal demikian adalah bentuk
sistem kepartaian yang terkartelisasi. Dalam hal ini Ambardi memberikan lima
ciri kartel dalam sistem kepartaian di Indonesia; (1) hilangnya peran ideologi
partai sebagai faktor penentu perilaku koalisi partai; (2) sikap permisif dalam
pembentukan koalisi; (3) tiadanya oposisi; (4) hasil-hasil Pemilu hampir-hampir
tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku partai politik; dan (5) kuatnya
kecenderungan partai untuk bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok.
Pemilu 2004 dan Kartelisasi Partai Politik
Pembahasan pemilu 2004 (BAB V) dalam
buku Ambardi berusaha untuk mengkaji kartelisasi yang terjadi. Sehingga pembabakan
dalam bab ini Ambardi membaginya dalam babak sebelum dan babak sesudah pemilu
2004. Perlu kita pahami bersama bahwa pemilu 2004 merupakan awal pemilihan
presiden dilaksanakan secara langsung. Sehingga dalam bab ini pun Ambardi juga
akan melihat babak pilpres sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam melihat
kartelisasi yang terjadi.
Pembabakan pertama yaitu temuan
Ambardi dalam rentang pasca pemilu 1999 sampai dengan menjelang pemilu 2004.
Ambardi melihat terjadi pelebaran jarak ideologis antara partai-partai yang
berbasiskan sekuler dengan partai-partai yang berbasiskan islam. Paling tidak
hal tersebut tercermin dalam sidang MPR tahun 2000 ketika membahas amandemen
pasal 29 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi; “Negara berdasarkan ketuhanan yang maha
esa”. Persaingan ideologis begitu terlihat ketika fraksi Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB) bersikeras tujuh kata dalam
piagam Jakarta yang berbunyi “dengan menjalankan syariat islam bagi para
pemeluknya” ditambahkan dalam bunyi ayat tersebut. Fraksi partai islam lainnya
yaitu Partai Keadilan (PK) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memilih pilihan
ketiga; menambahkan kalimat “dengan kewajiban para pengikut masing-masing agama
untuk menjalankan ajaran-ajarannya”. Pilihan PK dan PKB ini juga masih
bernuansa ideologis dimana alasan PK mengambil pengalaman piagam madinah,
sedangkan PKB yang berbasis tradisional NU mengambil dasar keyakinan atas
pluralisme. Sedangkan fraksi partai lain seperti partai-partai sekuler dan
Kristen memilih untuk tidak ada perubahan dalam ayat tersebut.[4]
Pertarungan ideologis tersebut kembali muncul di arena legislatif ketika
pembahasan RUU Pendidikan Nasional dimana kalangan partai islam mencoba untuk
memasukkan unsur islam didalam pasal-pasal RUU tersebut.
Konsistensi partai politik diuji
dalam arena pemilu 2004 yang menjadi babak berikutnya dalam temuan Ambardi. Hasil
dari pemilu legislatif tentu memiliki pengaruh dalam penentuan koalisi partai
menjelang pemilihan presiden yang dilaksanakan secara langsung. Dalam beberapa
hal memang konsekuensi atas pemilu legislatif menyebabkan adanya kompromi antar
partai dalam penentuan koalisi, namun titik tekan Ambardi adalah kompromi yang
mengorbankan hal-hal prinsipil yang dapat menghilangkan inti persaingan. Tesis
koalisi minimal kemenangan (Minimum
Wiinning Coalition) yang diajukan Riker terbukti dalam penentuan pasangan
Capres-Cawapres serta partai politik yang mendukungnya.
Terdapat lima pasangan Capres –
Cawapres dimana di setiap pasangan tersebut telah diidentikkan masing-masingnya
mewakili pemimpin partai sekuler dan islam, termasuk perpaduan partai islam dan
sekuler juga terlihat dari partai yang mendukungnya. Mari kita lihat perpaduan
tersebut; (1) Megawati – Hasyim Muzadi didukung oleh PDIP, PDS; (2) Wiranto –
Shalahuddin Wahid didukung oleh Partai Golkar dan PKB; (3) Amien Rais – Siswono
Yudho Husodo didukung oleh PAN, PKS, PBR, PNBK, PNI Marhaen, PPDI, PSI, PBSD;
(4) Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla didukung oleh Partai Demokrat, PBB
dan PKPI; serta (5) Hamzah Haz – Agum Gumelar didukung oleh PPP. Model koalisi
minimal kemenangan juga terjadi pada Pilpres putaran kedua dimana pasangan Mega
– Hasyim bersaing dengan pasangan SBY – JK. Perpaduan partai dengan ideologi
yang berbeda telah menghasilkan dua poros koalisi; Koalisi Kebangsaan pendukung
Mega – Hasyim (PDIP, PDS, Golkar, PPP, PBR) dan Koalisi Kerakyatan pendukung
SBY – JK (PD, PPP, PKPI, PKS). Kemudian dalam Pilres tersebut pasangan SBY – JK
terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2004 – 2009 yang
menandakan Koalisi Kebangsaan menjadi oposisi sampai dengan pemilu 2009.
Babak berikutnya dalam temuan
Ambardi menjadi sangat penting karena menentukan konsistensi partai paling
tidak setelah koalisi terbentuk. Babak berikutnya terbagi menjadi dua arena;
arena eksekutif dan arena legislatif. Pada arena eksekutif, komposisi kabinet
tidak berhenti pada partai pendukung dalam koalisi kerakyatan saja, melainkan
semua partai koalisi kebangsaan kecuali PDIP bergaung dalam kabinet. Kasus PDIP
yang tidak bergabung menurut Ambardi ada kemungkinan psikologis hubungan yang
tidak harmonis antara Megawati dan SBY sejak SBY menjabat sebagai Menkopolhukam
dalam pemerintahan Megawati. Meskipun indikasi tersebut bisa jadi tidak, track record PDIP sejak pemilu 1999
telah gagal uji mengingat Megawati tetap menjadi pasangan Gus Dur sebagai wakil
Presiden diperiode sebelumnya. Kemudian mari kita lihat apa yang terjadi dalam
arena legislatif.
Pada arena legilsatif, pertarungan
awal terlihat dalam perebutan kursi pimpinan DPR (Ketua dan Wakil Ketua) serta
perebutan kursi ketua komisi. Temuan Ambardi sampai dengan persaingan di
tingkat komisi menunjukkan pola yang serupa dengan arena pemerintahan; yang
terbentuk adalah koalisi turah. Hal ini agar memperlihatkan bahwa terpilihnya
Agung Laksono sebagai Ketua DPR saat itu bukan berarti persaingan koalisi
kerakyatan dan koalisi kebangsaan secara konsisten terjadi. Melainkan
pengalaman persaingan perebutan kursi di tingkat komisi membuktikan adanya
praktik “bagi-bagi kursi” yang merata disemua partai politik. Atas nama
“solidaritas” dan “pemerataan” kekuasaan, arena legislatif telah gagal dalam
membentuk sebuah persaingan. Analisis Dan Slater juga memberikan indikasi yang
sama dengan mengatakan bahwa fenomena tersebut merupakan jebakan
pertanggungjawaban sebagai kegagalan sistem kepartaian dalam membentuk
mekanisme check and balances.
Jika ciri kartel dalam sistem
kepartaian telah terlihat dalam fenomena kepartaian di Indonesia, pertanyaan
berikutnya adalah; apa yang menjadi motivasi bagi partai politik membentuk
perilaku yang serupa dengan kartel? Argumen Ambardi adalah, perilaku tersebut
merupakan usaha partai politik untuk melindungi kepentingan kolektifnya, yaitu
sumber-sumber rente. Menurutnya, ketika partai politik yang kuat (dengan
melihat basis dukungan dari hasil pemilu) tidak diakomodir, hal ini dapat
mengganggu distribusi rente.
Partai Pemburu Rente dan Kepentingan Kolektifnya
Perilaku kartel partai politik
terjadi menurut Ambardi dikarenakan adanya motivasi partai politik untuk
mendapatkan keuntungan finansial. Temuan Ambardi kali ini merupakan kritik atas
tesis Katz dan Mair yang mengungkapkan bahwa motivasi terbentuknya kartel
karena partai politik ingin mengamankan sumber subsidi finansial dari negara.
Bagi Ambardi, perilaku kartel terjadi justru karena partai politik ingin
mendapatkan sumber-sumber rente yang bersifat illegal, dan hal ini hanya
didapatkan dengan menjadikan partai politik masuk dalam lingkaran kekuasaan.
Pencarian atas sumber rente inilah yang menurut Ambardi menjadi kepentingan
kolektif partai-partai politik. Berikut ini ringkasan penulis dari temuan Ambardi
dalam beberapa contoh kasus.
Terdapat tiga contoh kasus yang
diambil oleh Ambardi; kasus skandal uang Departemen Kelautan dan Perikanan,
Kasus Buloggate I dan II serta kasus Bank Bali. Namun sebelumnya perlu kita
ketahui bahwa, aturan yang berlaku ketika itu – dalam hal ini UU Partai Politik
– memiliki celah yang paling tidak dapat dimanfaatkan oleh partai politik.
Dalam temuan Ambardi, sebagian besar pemasukan partai berasal dari sumbangan
individu, yang mana dalam proses audit laporan keuangan partai diakui oleh
Ambardi tidak sepenuhnya mendetail dan hanya membenarkan dari proses
administratifnya saja. Tentu sumbangan individu ataupun perusahaan memiliki
koneksi-koneksi yang bersifat perorangan, bukan kelembagaan partai, yang
berkonsekuensi pada ketidakjelasan besaran jumlah penerimaan dana partai dari
penerimaan yang lain – atau disebut juga dengan sumber dana nonbujeter.
Kasus skandal uang DKP misalnya,
Ambardi melihat fenomena bahwa partai politik terlihat saling melindungi untuk
melindungi aliran distribusi rente. Sumber distribusi rente berasal dari
penyelewengan dana subsidi DKP dan menjerat Rokhmin Damhuri, menteri kelautan
dan perikanan yang menjabat saat itu (era pemerintahan Megawati 2001 – 2004).
Hal ini baru berhasil diungkap oleh KPK dan mendapatkan temuan bahwa aliran
dana tersebut terdistirbusi secara merata di semua fraksi di komisi III DPR
bahkan tim kampanye salah satu pasangan Capres – Cawapres. Meskipun demikian,
kasus ini tidak menjerat semuanya karena hanya pemberi dana yang dikenakan
sanksi, sedangkan dalam kenyataannya penerima dana tidak dikenakan sanksi hukum
sedikitpun. Hal ini dapat terjadi karena adanya upaya dari setiap partai
politik untuk saling “melindungi”.
Kasus rente yang juga fenomenal saat
itu adalah kasus Buloggate yang melibatkan Presiden Gus Dur ketika itu – dan
juga menjadi dasar alasan impeachment
terhadap Gus Dur. Gus Dur dan PKB dianggap telah menerima dana ilegal dari
Badan Usaha Logistik (Bulog). Kasus ini kemudian berlanjut dengan dituduhnya
Partai Golkar dan Akbar Tanjung yang juga mengambil untung dari dana ilegal
dari Bulog (kasus Buloggate II). Dana ini pun juga mengalir ke beberapa menteri
dan juga fraksi partai di DPR. Sekali lagi, kasus Buloggate ini berhenti begitu
saja, karena partai politik telah berseteru untuk melindungi kepentingan
kolektifnya. Bahkan melalui kekuasaan anggaran dan kekuasaan legislasi, DPR
dapat memanfaatkannya untuk melindungi dirinya dari jeratan hukum sekalipun.
Kemudian untuk kasus Bank Bali, pola yang serupa dengan kasus DKP juga terjadi.
Partai politik dengan kekuasaanya di eksekutif dan legislative memiliki
kemampuan untuk memproteksi kepentingan kolektifnya, sehingga sangatlah wajar
dengan kondisi demikian dalam beberapa kasus persaingan tidak akan terjadi.
Sekali lagi dalam bab ini Ambardi
telah menemukan fakta bahwa jabatan – jabatan strategis di kementerian maupun
di DPR memiliki peluang yang besar untuk mendapatkan sumber rente. Hal ini yang
menjadi hilangnya komitmen ideologis partai politik, tidak adanya persaingan
dan partai politik secara otonom mengejar kepentingan lembaganya dibandingkan
mengedepankan kepentingan konstituennya.
Kesimpulan
Dari ulasan singkat diatas telah jelas bahwa;
demokrasi di Indonesia berada dalam jebakan kartel partai politik. Hal-hal
substansial tentang demokrasi yang mengedepankan adanya check and balances dan partai politik yang menjadi perwakilan
kepentingan masyarakat seutuhnya menjadi sirna dengan melihat kenyataan
perilaku yang terjadi dalam dunia kepartaian di Indonesia. Tentu praktik kartel
politik dalam hal ini dapat dilawan dengan meningkatkan kinerja akuntabilitas
pemerintahan, dan terlihat dalam beberapa tahun terakhir usaha untuk mewujudkan
pengawasan vertikal sudah terlihat dengan menciptakan mekanisme pemerintahan
yang transparan. Sehingga, dalam beberapa aspek rakyat Indonesia dapat
mengawasi kinerja wakil-wakilnya yang menjabat di pemerintahan, meskipun hal
ini masih jauh dari yang diharapkan.
Mengakhiri review ini, ada dua hal yang ingin penulis sampaikan. Pertama,
perlu kita ketahui bersama bahwa studi Kuskridho Ambardi ini tidak melihat
kartelisasi yang terjadi pada masing-masing partai politik. Melainkan fokus
studi ini adalah interaksi antar partai politik, dan mengambil kasus-kasus
empirik sebagai pembuktian atas hipotesisnya. Hal ini bagaimanapun juga menurut
penulis, mengakibatkan generalisasi terhadap seluruh partai politik bahwa semua
partai telah berperilaku sebagai kartel. Hal ini tidak mengecualikan adanya kemungkinan
pada satu atau beberapa partai politik yang mungkin mengambil sikap bukan
karena mencari keuntungan finansial bagi partainya. Sehingga, menurut penulis
Ambardi terlihat luput pada aspek-aspek yang sifatnya kemungkinan adanya
pengecualian terhadap satu atau beberapa partai dan tidak terlihat dalam temuan
studi ini.
Kedua, studi Ambardi ini tentu memiliki manfaat
yang sangat besar untuk menganalisis fenomena interaksi antar partai politik di
masa-masa selanjutnya. Bagaimanapun juga, selama partai politik dan demokrasi
ada di Indonesia, selama itu pula arena persaingan akan terus terbentuk. Dengan
pendekatan yang sama, seharusnya penjelasan atas interaksi antar partai politik
dapat dibedah dengan model analisis yang serupa juga, meskipun ada kemungkinan
studi ini berkembang dengan terjadinya pengalaman-pengalaman empirik yang baru.
[1] William H. Riker (1962), “The Theory of Political Coalition”
dalam Itai Sened (1996), “A Model of
Coalition Formation: Theory and Evidence” The Journal of Politics, vol.58, no.2. (hlm.351)
[2] Richard S Katz dan Peter
Mair (2009), “The Cartel Party Thesis: A
Restatement” Perspective on Politics,
vol.7, no.2, hlm. 753 – 766 (hlm.753)
[3] Dan Slater (2004), “Indonesia’s Accountability Trap: Party
Cartels and Presidential Power after Democratic Transition” Indonesia 78,
hal. 61 – 72
[4] Partai Damai Sejahtera
(PDS) yang diasosiakan sebagai Partai Kristen seringkali dikelompokkan dengan
partai sekuler. Dalam beberapa hal pandangan ini dikritik karena bagaimana pun
juga partai Kristen adalah partai yang berbasiskan agama.
0 comments:
Posting Komentar