Selasa, 07 Agustus 2018

Dunia yang Menyebalkan

Sepanjang 13 Februari sampai 8 Mei 2017, Royal Society for Public Health (RSPH) melakukan survei terkait efek media sosial terhadap kesehatan mental anak muda se-Inggris Raya. Survei tersebut melibatkan responden 1.479 dengan rentang usia 14 – 24 tahun, yang disebut-sebut usia paling banyak (90% di antaranya) menggunakan berbagai jenis platform media sosial. Hasilnya, sama sekali tidak mengejutkan, dan berbanding lurus dengan hipotesis uji; bahwa media sosial memiliki pengaruh buruk terhadap kesehatan mental anak muda. Efek negatif yang paling dirasakan adalah depresi dan rasa cemas. Depresi dan rasa cemas yang melanda anak muda telah meningkat hingga 70 persen sepanjang 25 tahun belakangan. Instagram adalah “biang keroknya”, sedangkan Youtube adalah platform yang paling baik karena dianggap paling “menyehatkan”. [Survei lengkapnya dapat diunduh pada link berikut: https://www.rsph.org.uk/about-us/news/instagram-ranked-worst-for-young-people-s-mental-health.html]

Setelah saya mencermati survei tersebut, meskipun tidak cermat-cermat amat, terbesit respons di dalam otak: Iya juga ya! Kalau dipikir-pikir, saya lebih sering menemukan sampah Instagram. Di Instagram (apalagi insta-story), bertebaran informasi yang sebetulnya tidak penting untuk saya ketahui; keponakan seorang teman yang baru saja ee’, makan siang hari ini, sampai foto wajah dengan bumbu caption; “abaikan wajahnya!”. Saya teringat pada sebuah tweet yang mengatakan, “jadi kalau bukan lihat wajahnya, lihat apanya maliih, lihat kapasitas intelegensianya?” Entah mengapa saya juga cenderung setuju Youtube adalah platform media sosial yang paling menyehatkan. Dari Youtube, saya bisa menyaksikan bagaimana ular berganti kulit, bereproduksi, sampai tips bagaimana melakukan french kiss dengan ular kobra yang dianggap cantik dan seksi menurut presenter di channel Animal Wild dan Panji Petualang. Bahkan, dari Youtube saya merasa menjadi seorang ilmuwan hebat setelah menonton delapan episode tentang teori bumi datar yang berisi kesalahan anggapan bahwa bumi itu bulat, lengkap dengan penjelasan tentang konspirasi wahyudi yang dibawa oleh NASA dan Mama Rika.

Kembali lagi ke survei tersebut. Penyebab utama mengapa Instagram menjadi media yang paling membuat anak muda merasa cemas dan depresi adalah munculnya standar baru yang dianggap sebagai sebuah pencapaian penting. Berikut kutipannya, “Seeing friends constantly on holiday or enjoying nights out can make young people feel like they are missing out while others enjoy life” [hal.8]. Bahasa sederhananya, membanding-bandingkan kehidupan sendiri dengan kehidupan orang lain. Akhirnya, ilusi menjadi standar hidup, dan frame menutup akal sehat. Ibarat gunung es, kita hanya melihat realitas yang ada di permukaan, selebihnya tidak tampak. Atau jangan-jangan itu bukan gunung es, tapi kantong plastik yang mengambang. Istirahatlah!

Feeds Instagram dipenuhi dengan ilusi hidup yang terlihat begitu menyenangkan. Akun-akun yang kita follow berisi tentang liburan yang memuaskan, suasana kantor baru, pemandangan gunung, foto boarding pass pesawat untuk perjalanan ke luar negeri, pengumuman baru dapat beasiswa, serta tidak jarang juga ditambahkan caption inspiratif ala Tere Liye. Sedangkan, Anda hanya terjebak di rumah menanti panggilan wawancara kerja yang tidak kunjung datang sembari golar-goler di atas kasur. Kalau versi Mark Manson di buku “Seni bersikap bodo amat” yang menjadi inspirasi saya, Anda terjebak di rumah sembari menyikat gigi kucing peliharaan Anda. Saya yakin, anak muda di Inggris Raya tidak sendiri, anak-anak muda di seluruh dunia bisa jadi merasakan hal yang sama. Tidak pernah merasa puas dengan apa yang dimiliki.

Ya begitulah, dunia memang menyebalkan. Ia menyebalkan karena hidup ini dipenuhi dengan ilusi, dan sialnya kita percaya begitu saja. Seperti halnya menjadikan hidup orang lain sebagai standar hidup, adalah sifat menyebalkan manusia yang menurut subyektif saya, sangat alamiah. Mungkin saja gen-gen “merasa tidak pernah puas” telah diwariskan secara turun-temurun. Media sosial yang kebetulan muncul belakangan ini hanya mempercepat persebaran ilusi tersebut. Jika Anda tidak percaya pada sifat alamiah tersebut, silakan tonton sinema religi di Ind*siar. Seorang tokoh utama yang digambarkan saleh, mendapatkan keberuntungan hidup, lalu muncul tokoh antagonis yang iri dan menginginkan tokoh utamanya tersiksa. Penyebabnya bermacam-macam; biasanya karena warisan, suami yang kaya, warung makan yang lebih ramai, dan yang pasti mengusik hati si tokoh antagonis. Meskipun tokoh utama selalu menang, setidaknya sinema religi tersebut telah menggambarkan realitas sosial sehari-hari. Saya pernah membaca buku (sialnya saya lupa judulnya), bahwa komoditas yang ditampilkan media sekelas stasiun televisi adalah cermin dunia nyata masyarakat.

Coba saja dari contoh paling sederhana: persaingan antar sesama tetangga, yang terkadang pertemuan seperti arisan RT/RW menjadi arena pertentangannya. “Pah, kemarin Bu Jamilah baru beli F*rtuner lho, masa kita cuma punya K*jang, udah gitu AC nya mati lagi!”, ungkap Bu Nunung kepada suaminya pasca arisan ibu-ibu kompleks. Bu Jamilah juga tidak mau kalah dalam hal membanding-bandingkan. “Pah, itu Bu Nunung kemarin beli kerudung Z*ya lho, masa mamih cuma punya kerudung R*bbani yang kebetulan dikasih gratis pas mamih gak pakai jilbab!”, keluh Bu Jamilah kepada suaminya yang sama-sama baru saja selesai arisan. Argh, kalau dibayangkan, memang menyebalkan dan ingin aku garuk-garuk dinding. Jangan-jangan perilaku menyebalkan itu sudah ada sejak era Megalitikum? Konflik rumah tangga mungkin bisa dipicu oleh tidak terpenuhinya hasrat menyebalkan yang dimiliki Homo sapiens untuk memiliki gelang batu seperti yang dimiliki tetangga di wilayah perburuan lain.

Gen menyebalkan telah menghasilkan dunia yang menyebalkan. Saya tidak tahu apakah sudah dijelaskan dalam hukum Mendel atau tidak. Untung saja, Tuhan menjadikan dunia yang menyebalkan ini sementara. Ibarat musafir, dunia hanya menjadi tempat singgah sementara dan mengumpulkan energi untuk bekal perjalanan panjang setelahnya. Itulah mengapa, kanjeng Nabi sudah mewanti-wanti soal ini. Urusan dunia, lihatlah ke bawah, sedangkan, untuk urusan akhirat, lihatlah ke atas. Begitu sejuk pesan beliau. Saya membayangkan seandainya beliau hidup di era ini, bisa jadi beliau akan berkata, “Janganlah kamu meniru hidup kelas menengah ngehek yang hari ini menjadi ahli sepak bola, lalu besok menjadi pengamat politik”. Lalu, kita juga dipesan supaya jadikan dunia dalam genggaman tangan, jangan ditaruh di hati. Karena kalau di hati, rasanya tuh sakiiit banget. Sudahlah, mending hapus Instagram, dan subscribe channel National Geographic saja yang jauh lebih berfaedah.

0 comments:

Posting Komentar