Rabu, 08 Agustus 2018

Menilai Strategi Jokowi dalam Menghadapi Populisme Islam

Kebebasan ekspresi adalah bagian paling substantif dalam demokrasi. Ia tidak hanya dibentuk dengan institusi politik yang demokratis, melainkan juga dengan demokratisasi perilaku warga negara. Dalam kasus Indonesia, konsolidasi demokrasi justru terancam dengan bangkitnya anasir anti-demokrasi; bukan dalam konteks terorisme, melainkan dari apa yang para political scholars sebut sebagai kebangkitan populisme Islam. Populisme telah menjadi gejala yang dialami di berbagai negara seperti kemenangan Duterte di Filipina, Trump di Amerika Serikat, Brexit vote di Britania Raya, hingga kemenangan kembali Erdogan di Turki. Meskipun populisme adalah ekspresi ketidakpuasan massa terhadap status quo, namun ia dapat memukul mundur konsolidasi demokrasi yang sedang berjalan karena populisme dapat meledakkan sentimen (biasanya agama dan ras) warga negara.

Di AS misalnya, kebijakan anti-imigran yang digawangi oleh Trump, telah membuat gelombang rasisme di negara tersebut kembali bergolak. Sedangkan di Indonesia, kebangkitan populisme Islam telah meletupkan sentimen agama dan ras, dibuktikan dengan menguatnya narasi "anti-Cina" dan "anti-kafir". Meskipun tidak hadir tiba-tiba, kebangkitan populisme Islam di Indonesia paling tidak terlihat sejak mobilisasi massa umat Islam pasca kasus "penistaan" agama oleh mantan gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama a.k.a. Ahok. Dalam kacamata teori demokrasi, kebangkitan populisme Islam dengan ciri demikian adalah ancaman serius.

Persoalannya tidak sampai di situ, sebab, ihwal lain yang tidak kalah penting adalah bagaimana respons Presiden Jokowi terhadap kebangkitan populisme Islam. Respons pemerintah akan menentukan apakah konsolidasi demokrasi dapat berjalan lebih mulus atau justru menyebabkan degradasi (de-konsolidasi). Marcus Mietzner (2018) dalam artikelnya yang berjudul "Fighting Illiberalism with Illiberalism", telah menguraikan bagaimana pemerintahan Jokowi merespons geliat populisme Islam. Kesimpulannya mengerucut pada pernyataan berikut; pemerintah telah gagal dalam membendung populisme Islam, dan justru turut mendegradasi konsolidasi demokrasi di Indonesia. Mengutip Rummens dan Abts (2010) dalam "Defending Democracy", Mietzner berpendapat bahwa strategi presiden Jokowi dalam menghadang populisme Islam adalah memadukan antara pendekatan represif dan toleran. Sederhananya, Jokowi berusaha mengakomodasi agenda yang dibawa kalangan Islam populis sembari membatasi hak politik para elitenya.

Dalam mengambil kesimpulan tersebut, Mietzner memotret sikap pemerintah pasca mobilisasi massa 4 November 2016 (dikenal dengan aksi 411). Merespons hal itu, strategi presiden adalah mengakomodasi kepentingan umat Islam dengan melirik dua organisasi muslim terbesar; NU dan Muhammadiyah. Bagaimanapun, pada aksi 411, sebagian besar basis massa kedua organisasi tersebut turut terlibat di dalamnya. Pun, Jokowi melakukan kunjungan kepada dua organisasi tersebut dengan harapan massa mereka tidak lagi terlibat lagi, namun kenyataannya, pada mobilisasi massa tanggal 2 Desember 2016 (aksi 212), sebagian besar basis massa mereka masih tetap ikut.

Politik akomodatif Jokowi masih terus berlanjut. Kali ini pihak eksekutif mengakomodasi tuntutan massa untuk menindaklanjuti kasus penistaan agama oleh Ahok. Gejalanya terlihat dari disegerakannya kasus Ahok untuk diproses pengadilan hingga Ahok dinyatakan bersalah.

Apakah ini menghentikan gelombang populisme Islam? Kenyataannya tidak. Mobilisasi emosi massa masih terus digencarkan, bahkan sentimen rasial dan agama semakin masif. Jokowi yang diisukan keturunan komunis, membanggakan rasial pribumi sembari menggemakan semangat anti-Cina, serta tuduhan kafir bagi siapa pun yang beraliansi dengan status quo karena dianggap mewakili kalangan Cina-Komunis.

Bentuk akomodasi oleh Jokowi yang lain adalah menggalakkan narasi bahwa pemerintah sedang serius dalam mengatasi ketimpangan ekonomi rakyat menengah bawah yang sebagian besarnya adalah muslim. Pembangunan infrastruktur yang dinarasikan berorientasi pada rakyat kecil, hingga wacana land reform guna mengatasi ketimpangan lahan yang lagi-lagi dialami oleh masyarakat kecil beragama Islam. Sayangnya, populisme Islam masih tidak dapat dibendung. Beberapa survei bahkan menunjukkan tidak ada korelasi positif antara status ekonomi dengan dukungan terhadap pandangan intoleran.

Dengan kata lain, politik akomodatif Jokowi, jika tidak ingin disebut gagal, memiliki dampak yang sama sekali tidak efektif. Namun ada langkah lain yang diambil Jokowi; yaitu merepresi elemen yang dianggap anti-demokrasi.  

Pertama, kriminalisasi tokoh-tokoh aktor penggerak yang tergabung dalam aliansi Gerakan Pengawal Fatwa MUI (GNPF-MUI). Isu yang diperkarakan pun sama sekali tidak berkaitan langsung dengan aksi-aksi sebelumnya. Misalnya, (1) pemimpin FPI, Rizieq Shihab diperkarakan akibat konten pornografi, (2) koordinator GNPF-MUI, Bachtiar Nasir diperkarakan atas kasus money laundering yang merupakan kasus di masa lalu, (3) Koordinator Forum Umat Islam (FUI), Al-Khaththah diperkarakan atas tuduhan pengkhianatan terhadap negara, serta (4) sekjen FPI, Munarman yang diperkaran karena keterlibatannya dalam kasus bom Bali 2002 silam. Hasil di antaranya cukup jelas, Al-Khaththah di bui dan Rizieq Shihab menghindar dengan pergi ke Arab Saudi. Kedua, Pemerintah menindak organisasi yang dianggap bertentangan dengan Pancasila, yaitu membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Melalui Perppu Ormas yang seolah buru-buru diterbitkan, HTI pun dapat dengan mudahnya dicabut hak politiknya. Ketiga, "memanfaatkan" milisi-milisi yang dianggap pro-Pancasila seperti GP Anshor untuk menindak berbagai acara yang diselenggarakan oleh kalangan Islam populis.

Lagi-lagi, apakah kemudian populisme Islam dapat ditekan? Kenyataannya tidak. Friksi-friksi antara mereka yang pro-status quo dengan kalangan populis Islam masih terus berlanjut. Bahkan, pertentangan semakin keras di media sosial melalui buzzer masing-masing pihak yang saling menyerang satu-sama lain. Tentu saja, sentimen-sentimen rasial dan agama masih bergelora bak bola liar.

Masa Depan Konsolidasi Demokrasi di Indonesia

Kembali pada tesis Mietzner, bahwa respons Jokowi terhadap tantangan Populisme Islam bukannya mengarah pada konsolidasi demokrasi, justru mendegradasi konsolidasi itu sendiri. Politik akomodatif berjalan tidak efektif, sedangkan tindakan represif justru mematikan hak-hak politik warga negara yang seharusnya dijamin dalam negara demokratis. Tentu saja, bagi kalangan pro-demokrasi, hadirnya populisme ini menjadi dilema serius. Terlebih Pilpres 2019 telah membuat kontestasi demokrasi justru semakin jauh dari narasi yang substantif; yaitu bagaimana mendemokratisasi hak politik dan ekonomi warga negara guna mencapai negara yang sejahtera. Persoalan ini semakin pelik tidak hanya sentimen rasial dan agama yang masih kuat, juga menjauhkan warga negara dari kesadaran bahwa masih maraknya peminggiran di akar rumput akibat pembangunan yang terkesan mengakomodasi neoliberalisme.

Oleh karena itu, perlu ada strategi yang lebih efektif untuk membendung populisme setelah trial and error yang sudah dilakukan.

Pertama, menjauhkan intervensi eksekutif terhadap kekuasaan yudikatif; biarkan lembaga peradilan menindak setiap anasir yang menghambat konsolidasi demokrasi Indonesia secara independen. Artinya, memutus politik patron-klien yang setidaknya masih mewarnai institusi demokrasi di Indonesia. Dalam hal ini, kita perlu belajar dari Jerman saat menindak gelombang neo-nazi yang anti-demokrasi dengan memberikan independensi pada lembaga peradilan untuk membuat keputusan.

Kedua, menggencarkan pendidikan demokrasi di sekolah-sekolah yang tidak hanya menjadi hafalan siswa, melainkan juga diwujudkan secara praktik sehari-hari. Hal ini disebabkan karena, sentimen rasial dan agama masih sering ditemukan di institusi pendidikan.


Ketiga, melakukan demokratisasi "dari bawah", dalam arti warga negara dilibatkan secara substantif dalam menentukan kehidupan sosio-ekonominya. Dari sini, kita bisa belajar dari Porto Alegre, Brazil, yang bahkan melibatkan warga negara dalam menentukan anggaran belanjanya agar tepat sesuai kebutuhan. Masalahnya, praktik demokrasi paling sederhana seperti Musrenbang, kebanyakan masih dilakukan hanya sebagai formalitas belaka.

0 comments:

Posting Komentar