Kebebasan
ekspresi adalah bagian paling substantif dalam demokrasi. Ia tidak hanya
dibentuk dengan institusi politik yang demokratis, melainkan juga dengan
demokratisasi perilaku warga negara. Dalam kasus Indonesia, konsolidasi
demokrasi justru terancam dengan bangkitnya anasir anti-demokrasi; bukan dalam
konteks terorisme, melainkan dari apa yang para political scholars sebut sebagai kebangkitan populisme Islam.
Populisme telah menjadi gejala yang dialami di berbagai negara seperti
kemenangan Duterte di Filipina, Trump di Amerika Serikat, Brexit vote di Britania Raya, hingga kemenangan kembali Erdogan di
Turki. Meskipun populisme adalah ekspresi ketidakpuasan massa terhadap status quo, namun ia dapat memukul
mundur konsolidasi demokrasi yang sedang berjalan karena populisme dapat
meledakkan sentimen (biasanya agama dan ras) warga negara.
Di AS misalnya,
kebijakan anti-imigran yang digawangi oleh Trump, telah membuat gelombang
rasisme di negara tersebut kembali bergolak. Sedangkan di Indonesia,
kebangkitan populisme Islam telah meletupkan sentimen agama dan ras, dibuktikan
dengan menguatnya narasi "anti-Cina" dan "anti-kafir".
Meskipun tidak hadir tiba-tiba, kebangkitan populisme Islam di Indonesia paling
tidak terlihat sejak mobilisasi massa umat Islam pasca kasus "penistaan"
agama oleh mantan gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama a.k.a. Ahok.
Dalam kacamata teori demokrasi, kebangkitan populisme Islam dengan ciri
demikian adalah ancaman serius.
Persoalannya
tidak sampai di situ, sebab, ihwal lain yang tidak kalah penting adalah
bagaimana respons Presiden Jokowi terhadap kebangkitan populisme Islam. Respons
pemerintah akan menentukan apakah konsolidasi demokrasi dapat berjalan lebih
mulus atau justru menyebabkan degradasi (de-konsolidasi). Marcus Mietzner
(2018) dalam artikelnya yang berjudul "Fighting
Illiberalism with Illiberalism", telah menguraikan bagaimana
pemerintahan Jokowi merespons geliat populisme Islam. Kesimpulannya mengerucut
pada pernyataan berikut; pemerintah telah gagal dalam membendung populisme
Islam, dan justru turut mendegradasi konsolidasi demokrasi di Indonesia. Mengutip
Rummens dan Abts (2010) dalam "Defending
Democracy", Mietzner berpendapat bahwa strategi presiden Jokowi dalam
menghadang populisme Islam adalah memadukan antara pendekatan represif dan
toleran. Sederhananya, Jokowi berusaha mengakomodasi agenda yang dibawa
kalangan Islam populis sembari membatasi hak politik para elitenya.
Dalam mengambil
kesimpulan tersebut, Mietzner memotret sikap pemerintah pasca mobilisasi massa
4 November 2016 (dikenal dengan aksi 411). Merespons hal itu, strategi presiden
adalah mengakomodasi kepentingan umat Islam dengan melirik dua organisasi
muslim terbesar; NU dan Muhammadiyah. Bagaimanapun, pada aksi 411, sebagian
besar basis massa kedua organisasi tersebut turut terlibat di dalamnya. Pun,
Jokowi melakukan kunjungan kepada dua organisasi tersebut dengan harapan massa
mereka tidak lagi terlibat lagi, namun kenyataannya, pada mobilisasi massa
tanggal 2 Desember 2016 (aksi 212), sebagian besar basis massa mereka masih
tetap ikut.
Politik
akomodatif Jokowi masih terus berlanjut. Kali ini pihak eksekutif mengakomodasi
tuntutan massa untuk menindaklanjuti kasus penistaan agama oleh Ahok. Gejalanya
terlihat dari disegerakannya kasus Ahok untuk diproses pengadilan hingga Ahok
dinyatakan bersalah.
Apakah ini
menghentikan gelombang populisme Islam? Kenyataannya tidak. Mobilisasi emosi
massa masih terus digencarkan, bahkan sentimen rasial dan agama semakin masif.
Jokowi yang diisukan keturunan komunis, membanggakan rasial pribumi sembari menggemakan
semangat anti-Cina, serta tuduhan kafir bagi siapa pun yang beraliansi dengan status quo karena dianggap mewakili
kalangan Cina-Komunis.
Bentuk akomodasi
oleh Jokowi yang lain adalah menggalakkan narasi bahwa pemerintah sedang serius
dalam mengatasi ketimpangan ekonomi rakyat menengah bawah yang sebagian
besarnya adalah muslim. Pembangunan infrastruktur yang dinarasikan berorientasi
pada rakyat kecil, hingga wacana land
reform guna mengatasi ketimpangan lahan yang lagi-lagi dialami oleh
masyarakat kecil beragama Islam. Sayangnya, populisme Islam masih tidak dapat
dibendung. Beberapa survei bahkan menunjukkan tidak ada korelasi positif antara
status ekonomi dengan dukungan terhadap pandangan intoleran.
Dengan kata
lain, politik akomodatif Jokowi, jika tidak ingin disebut gagal, memiliki
dampak yang sama sekali tidak efektif. Namun ada langkah lain yang diambil
Jokowi; yaitu merepresi elemen yang dianggap anti-demokrasi.
Pertama,
kriminalisasi tokoh-tokoh aktor penggerak yang tergabung dalam aliansi Gerakan
Pengawal Fatwa MUI (GNPF-MUI). Isu yang diperkarakan pun sama sekali tidak
berkaitan langsung dengan aksi-aksi sebelumnya. Misalnya, (1) pemimpin FPI,
Rizieq Shihab diperkarakan akibat konten pornografi, (2) koordinator GNPF-MUI,
Bachtiar Nasir diperkarakan atas kasus money
laundering yang merupakan kasus di masa lalu, (3) Koordinator Forum Umat
Islam (FUI), Al-Khaththah diperkarakan atas tuduhan pengkhianatan terhadap
negara, serta (4) sekjen FPI, Munarman yang diperkaran karena keterlibatannya
dalam kasus bom Bali 2002 silam. Hasil di antaranya cukup jelas, Al-Khaththah
di bui dan Rizieq Shihab menghindar dengan pergi ke Arab Saudi. Kedua,
Pemerintah menindak organisasi yang dianggap bertentangan dengan Pancasila,
yaitu membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Melalui Perppu Ormas yang
seolah buru-buru diterbitkan, HTI pun dapat dengan mudahnya dicabut hak
politiknya. Ketiga, "memanfaatkan" milisi-milisi yang dianggap pro-Pancasila
seperti GP Anshor untuk menindak berbagai acara yang diselenggarakan oleh
kalangan Islam populis.
Lagi-lagi,
apakah kemudian populisme Islam dapat ditekan? Kenyataannya tidak.
Friksi-friksi antara mereka yang pro-status
quo dengan kalangan populis Islam masih terus berlanjut. Bahkan,
pertentangan semakin keras di media sosial melalui buzzer masing-masing pihak yang saling menyerang satu-sama lain.
Tentu saja, sentimen-sentimen rasial dan agama masih bergelora bak bola liar.
Masa Depan Konsolidasi Demokrasi di Indonesia
Kembali pada
tesis Mietzner, bahwa respons Jokowi terhadap tantangan Populisme Islam
bukannya mengarah pada konsolidasi demokrasi, justru mendegradasi konsolidasi
itu sendiri. Politik akomodatif berjalan tidak efektif, sedangkan tindakan
represif justru mematikan hak-hak politik warga negara yang seharusnya dijamin
dalam negara demokratis. Tentu saja, bagi kalangan pro-demokrasi, hadirnya
populisme ini menjadi dilema serius. Terlebih Pilpres 2019 telah membuat
kontestasi demokrasi justru semakin jauh dari narasi yang substantif; yaitu
bagaimana mendemokratisasi hak politik dan ekonomi warga negara guna mencapai
negara yang sejahtera. Persoalan ini semakin pelik tidak hanya sentimen rasial
dan agama yang masih kuat, juga menjauhkan warga negara dari kesadaran bahwa
masih maraknya peminggiran di akar rumput akibat pembangunan yang terkesan mengakomodasi
neoliberalisme.
Oleh karena itu,
perlu ada strategi yang lebih efektif untuk membendung populisme setelah trial and error yang sudah dilakukan.
Pertama,
menjauhkan intervensi eksekutif terhadap kekuasaan yudikatif; biarkan lembaga
peradilan menindak setiap anasir yang menghambat konsolidasi demokrasi
Indonesia secara independen. Artinya, memutus politik patron-klien yang
setidaknya masih mewarnai institusi demokrasi di Indonesia. Dalam hal ini, kita
perlu belajar dari Jerman saat menindak gelombang neo-nazi yang anti-demokrasi
dengan memberikan independensi pada lembaga peradilan untuk membuat keputusan.
Kedua,
menggencarkan pendidikan demokrasi di sekolah-sekolah yang tidak hanya menjadi
hafalan siswa, melainkan juga diwujudkan secara praktik sehari-hari. Hal ini
disebabkan karena, sentimen rasial dan agama masih sering ditemukan di
institusi pendidikan.
Ketiga,
melakukan demokratisasi "dari bawah", dalam arti warga negara dilibatkan
secara substantif dalam menentukan kehidupan sosio-ekonominya. Dari sini, kita
bisa belajar dari Porto Alegre, Brazil, yang bahkan melibatkan warga negara
dalam menentukan anggaran belanjanya agar tepat sesuai kebutuhan. Masalahnya,
praktik demokrasi paling sederhana seperti Musrenbang, kebanyakan masih
dilakukan hanya sebagai formalitas belaka.
0 comments:
Posting Komentar