Baik Jokowi maupun Prabowo, keduanya
adalah tokoh populis – yang disinggung oleh para political scholars sebagai pembawa narasi “anti-kemapanan.” Kedua
tokoh ini mampu memobilisasi suara akar rumput setelah kemandegan rezim
Yudhoyono dalam membawa agenda demokratisasi; yang setidaknya dibuktikan dengan
masih maraknya korupsi dan masih terancamnya kaum minoritas. Meskipun sesama
tokoh populis, keduanya memiliki pendekatan yang berbeda dalam menarik suara.
Prabowo, tokoh aristokrat yang dekat
dengan Orde Baru Suharto menawarkan model populisme klasik dengan karakteristik
menolak status quo dan mengkultuskan
dirinya sebagai pahlawan yang ingin menyelamatkan Indonesia dari krisis.
Sebaliknya, Jokowi menerapkan model populisme yang cenderung teknokratis;
menawarkan perbaikan tanpa harus mengubah
status quo sembari menerapkan kepemimpinan yang ramah dan merakyat.
Prabowo bisa dibilang maverick populist berhubung ia bukanlah outsider dari struktur politik
Indonesia, hanya saja ia menawarkan gagasan yang tidak konvensional. Kampanye
yang dibawa Prabowo hampir selalu berkaitan dengan kedaulatan rakyat, nasionalisme
anti-asing, serta kepemimpinan yang kuat. Hingga hari ini, sosok Prabowo masih
cukup dielukan oleh kalangan Islamis dengan agendanya yang dianggap
mengakomodasi kepentingan umat Islam.
Sedangkan Jokowi, ia adalah sosok yang
merepresentasikan kalangan menengah ke bawah dengan tampilan sederhana, lugu,
dan cenderung pluralis. Berbeda dengan Prabowo, Jokowi sama sekali tidak
menawarkan gagasan anti-asing. Ia cenderung menawarkan masa depan Indonesia
yang terangkum dalam Nawacita dengan melanjutkan demokrasi Indonesia yang
sedang berjalan.
Keduanya bersaing dalam kontestasi Pilpres 2014.
Hasilnya, Jokowi unggul 53,15 persen suara atas Prabowo. Namun demikian,
perolehan suara Prabowo yang hampir 48 persen juga bukan angka yang kecil, dan
ini menunjukkan bahwa narasi populisme klasik yang mengajak pemilih untuk
“melawan” status quo cukup laku di
Indonesia. Menjelang Pilpres 2019, kedua tokoh ini sudah dipastikan akan
kembali bertarung.
Pertanyaannya, apakah kali ini Prabowo bisa mengalahkan
Jokowi?
Populisme Prabowo
dan Kekalahannya di Pilpres 2014
Watak populisme Prabowo memang tidak hadir tiba-tiba.
Jauh sebelum Pilpres 2014, Prabowo sudah terinspirasi oleh tokoh populis lain
yang berhasil lebih dahulu merebut kekuasaan; terpilihnya Thaksin Shinawatra
sebagai Perdana Menteri Thailand 2001, serta kemenangan Hugo Chavez sebagai
Presiden Venezuela 1999.
Dari Thaksin, Prabowo terinspirasi untuk mengkapitalisasi
sentimen masyarakat yang sedang dilanda krisis. Ketika krisis ekonomi Asia
1997, Thailand adalah negara pertama yang paling terkena dampaknya; nilai tukar
Bath melemah drastis, dan tentu, kemiskinan merajalela. Secara agregat,
masyarakat Thailand kecewa terhadap rezim yang ketika itu dipimpin Chuan
Leekpai. Bak pahlawan, Thaksin muncul ke pentas politik nasional dengan
menawarkan model kebijakan “anti-neoliberal” dengan menjanjikan akses universal
kepada layanan kesehatan dan pinjaman kepada para petani. Hasilnya, Thaksin
menang pemilu lewat partainya, Thai Rak Thai.
Dari Chavez, Prabowo melihat sosok yang mirip dengan
dirinya; yaitu berlatar karir militer. Chavez
sendiri bisa dibilang adalah icon tokoh
populis-kiri di dunia. Tokoh yang paling dibenci elit dan para jenderal yang
disokong Amerika Serikat, namun dicintai rakyatnya. Alih-alih Prabowo mengambil
inspirasi dari Chavez, – jika Chavez menyerukan anti-AS – justru Prabowo
memodifikasinya dengan seruan anti-asing. Berbeda dengan Chavez, Prabowo lebih
condong pada ide nasionalisasi ekonomi dan mengangkat martabat pribumi yang
seolah sedang dikuasai asing (terutama Cina). Dalam hal ini, jika Chavez adalah
seorang sosialis, Prabowo cenderung ultra-nasionalis. Dari usaha Chavez, ia
berhasil bertahan di puncak kekuasaannya sebagai Presiden hingga kematiannya
pada 2013 silam.
Baik Thaksin maupun Chavez, keduanya sama-sama menyerukan
narasi anti-kemapanan, dan mereka berhasil meraih kekuasaan. Tapi, sayangnya
tidak dengan Prabowo pada Pilpres 2014. Ada dua kondisi yang membuat Prabowo
tidak memiliki nasib sama dengan dua tokoh populis lain yang menjadi
inspirasinya.
Pertama, Prabowo sedang berhadapan dengan Jokowi yang
notabene adalah tokoh populis kuat. Jokowi menawarkan narasi perbaikan
Indonesia dengan cara melanjutkan demokratisasi dan perbaikan layanan publik untuk
menarik simpati massa. Apalagi sosok Jokowi seolah menjawab keresahan
masyarakat terhadap elit dan partai politik yang korup. Sosoknya yang terkesan
merakyat dan sederhana menjadi representasi kalangan menengah bawah yang
menderita. Selain itu, Jokowi sudah dikenal melalui karirnya sebagai walikota
Solo yang cukup prestatif, dan ini memberikan nilai positif bagi dirinya.
Bukti paling nyata dari kuatnya populisme Jokowi
menjelang Pilpres 2014 adalah kemunculan namanya sebagai kandidat kuat Presiden
dari beberapa survei. Pada 2013, survei Cyrus Network menempatkan Jokowi dengan
perolehan 44%, sedangkan Indikator Politik Indonesia sebesar 47%. Angka ini
telah menggeser posisi Prabowo yang sebelumnya diisukan kandidat paling kuat
pada 2011.
Kedua, kondisi Indonesia sebelum Pilpres 2014 sangat
berbeda dengan Thailand saat kemenangan Thaksin dan Venezuela saat kemenangan
Chavez. Meskipun kasus korupsi mewarnai pemerintahan Presiden SBY, secara
ekonomi, Indonesia sangat berbeda denga kedua negara tersebut. Rezim SBY cukup
banyak diuntungkan dengan kondisi ekonomi global, terutama harga komoditas yang
menjadi andalan ekspor Indonesia. Secara otomatis, ini akan berdampak pada
meningkatnya daya beli, dan tentu saja mendorong nilai konsumsi. Tidak heran,
selama periode kepemimpinan SBY, pertumbuhan ekonomi bertahan di kisaran 6%,
dan terendah 4,9% pada 2009 karena badai krisis ekonomi global 2008. Terlepas
dari kritiknya, setidaknya SBY masih mampu mempertahankan kebijakan populis
seperti subsidi.
Kesimpulannya adalah, sebelum Pilpres 2014, Indonesia
sedang tidak krisis. Menyelesaikan persoalan teknis tentu saja lebih efektif
untuk meningkatkan dukungan publik. Oleh karena itu, tidak ada keinginan besar
dari akar rumput untuk mendukung perubahan sistem secara radikal.
Selain faktor kegagalan Prabowo, sebab kemenangan Jokowi
juga perlu diulas. Marcus Mietzner (2015) dalam Reinventing Asian Populism: Jokowi’s Rise, Democracy, and Political
Contestation in Indonesia menyebutkan ada empat faktor kemenangan Jokowi
pada Pilpres 2014.[1]
Pertama, Jokowi memiliki jaringan relawan yang luas hingga ke akar rumput.
Alasan pertama ini yang membuat Jokowi layak mewakili fenomena populisme
Indonesia karena meskipun dukungan partai yang rendah, namun gerakan massa yang
sangat mendukung. Bahkan, jaringan ini telah dibentuk sejak pemenangannya saat
kontestasi Pilgub Jakarta 2012. Kedua, Mietzner berpendapat bahwa pertarungan
Pilpres 2014 lebih didominasi oleh sentimen kelas, bukan program. Secara
langsung, hal ini menguntungkan Jokowi – dengan citra sederhananya – untuk
mendapatkan dukungan dari masyarakat miskin pedesaan.
Ketiga, Jokowi mendapatkan dukungan dana yang besar dari
kalangan oligark. Dukungan oligark dapat dilihat dari partai pengusung yang di
antaranya dipimpin oligark, yaitu Partai Nasdem yang dipimpin Surya Paloh dan
Partai Hanura yang dipimpin Wiranto. Hal ini tentu saja dapat menyeimbangkan
Prabowo yang pada dasarnya adalah oligark. Keempat, mood pemilih yang tidak menginginkan ada perubahan rezim secara
radikal. Alasan keempat ini sebagaimana telah disinggung sebelumnya, Indonesia
tidak dalam prakondisi yang krisis untuk menggelorakan sentimen nasionalistik.
Meskipun demikian, kontestasi Pilpres 2014 cukup
berlangsung dengan ketat. Secara perlahan, perbedaan suara antara Jokowi dan
Prabowo berdasarkan beberapa kali survei sebelum pemilihan semakin kecil. Dari
survei nasional Saiful Mujani Research Center (SMRC) sepanjang Desember 2013
hingga pertengahan 2014, dukungan pemilih terhadap Prabowo semakin meningkat.
Di akhir 2013, survei terhadap Prabowo sebesar 23 persen, lalu meningkat
signifikan hingga 44,9 persen. Hal ini menunjukkan bahwa Prabowo adalah ancaman
serius bagi proses kemenangan Jokowi.
Masih menurut Mietzner (2015), alasan yang paling mungkin
dari naiknya dukungan publik terhadap Prabowo adalah isu politik identitas yang
menguat. Jokowi diisukan sebagai keturunan Cina-Kristen. Sekalipun Jokowi terus
menunjukkan dirinya adalah muslim yang taat, tapi isu tersebut sangat kuat,
karena perlu diingat bahwa sentimen agama dan ras adalah alat paling ampuh
untuk membakar kemarahan massa hingga hari ini. Selain itu, kita juga tidak
boleh melupakan hadirnya partai militan yang bernama PKS. Kader-kader yang
konsisten bekerja hingga akar rumput membawa pengaruh positif atas dukungan
publik terhadap Prabowo. Hal ini mirip dengan konsep relawan yang biasanya
bergerak di luar partai, namun dalam kasus PKS, justru bergerak atas arahan
partai.
Pilpres 2019: Peluang
Kemenangan Prabowo?
Pilpres 2019 memang memunculkan kejutan. Jokowi memilih rais ‘am PBNU serta ketua MUI, Ma’ruf
Amin – yang dianggap merepresentasikan kalangan Islamis – sebagai pasangannya.
Sedangkan Prabowo, justru menarik Sandiaga Uno yang sedang menjabat sebagai
Wakil Gubernur DKI Jakarta. Ini juga tidak kalah mengejutkan, sebab, seolah
kali ini Prabowo menolak keputusan “ijtima
ulama” yang telah merekomendasikan Ustad Abdul Somad atau Habib Salim Segaf
sebagai Cawapresnya.
Sudah dapat dipastikan bahwa dipilihnya Ma’ruf Amin
adalah untuk menarik simpati massa muslim, dan memecah suara umat Islam –
khususnya kalangan Islamis – yang selama ini cukup kental mendukung Prabowo. Lebih
dari itu, dipilihnya Ma’ruf Amin mendukung tesis Mietzner (2018) dalam Fighting Illiberalism with Illiberalism,[2] adalah bagian dari
rangkaian politik akomodatif Jokowi untuk meredam kekuatan populisme Islam.
Di sisi lain, dipilihnya Sandiaga Uno sebagai pasangan
Prabowo, menurut Nugroho, ada tiga kemungkinan alasan:[3] (1) menyasar suara pemula
dan kaum milenial, (2) menguasai sektor ekonomi dan bisnis, (3) sumber
pendanaan yang besar untuk kampanye. Tapi, hal ini jelas tidak akan cukup, jika
Prabowo masih mengulang strateginya seperti Pilpres 2014. Satu hal yang paling
penting diubah adalah narasi kampanye Prabowo – tidak lagi mengkampanyekan a la
populisme klasik. Terkait hal ini, ada hal yang harus diperhatikan oleh Prabowo.
Kenyataannya, mayoritas warga Indonesia masih mendukung
jalannya sistem demokrasi. Hasil survei Indobarometer mendapati bahwa 69,9
persen dari 1200 responden setuju bahwa demokrasi Indonesia sudah berjalan ke
arah yang tepat. Masih dari survei yang sama disebutkan bahwa tingkat kepuasan
publik terhadap kinerja Jokowi-JK mencapai 65,1 persen. Hal ini senada dengan
survei Alvara Research Institute yang menyebutkan bahwa 65,9 persen puas dengan
kinerja Jokowi-JK – menurun 3,5 persen dari survei Februari 2018. Bahkan, survei
Litbang Kompas menempatkan tingkat kepuasan hingga 72,2 persen. Dengan
demikian, rasa puas yang mencapai angka mayoritas adalah tantangan paling berat
yang harus dihadapi Prabowo.
Lalu, narasi kampanye apa yang dibutuhkan Prabowo? Tidak
ada jalan lain bagi Prabowo untuk mengoperasionalisasikan pendekatan
teknokratis seperti Jokowi – dengan meninggalkan kampanye sentimentil agama dan
etnik, yang jadi narasi besar kampanye di masa sebelumnya. Prabowo (dan juga
Sandiaga) sudah seharusnya menonjolkan dalam kampanyenya, solusi alternatif
masalah kesejahteraan dalam koridor konsolidasi demokrasi yang sedang berjalan.
Menurut saya, kehadiran Sandiaga Uno dengan pengalamannya mengkonsep berbagai program dalam pemenangan sebagai wakil gubernur DKI Jakarta dapat menjadi salah satu senjata Prabowo untuk tinggalkan narasinya lamanya.
Dengan demikian, dari sinilah peluang kemenangan Prabowo bisa semakin terbuka lebar.
[1] Marcus Mietzner (2015), Reinventing Asian Populism, Honolulu:
East-West Center, online: https://www.eastwestcenter.org/publications/reinventing-asian-populism-jokowis-rise-democracy-and-political-contestation-in
(10 Agustus 2018).
[2] Marcus Mietzner (2018), Fighting
Illiberalism with Illiberalism, dalam: Pacific
Affairs, 91, 2, 261 – 82. Online: https://pacificaffairs.ubc.ca/articles/fighting-illiberalism-with-illiberalism-islamist-populism-and-democratic-deconsolidation-in-indonesia/
(10 Agustus 2018).
[3] Nugroho (2018), mengapa Sandiaga Uno
dipilih Prabowo?, online: https://www.kompasiana.com/nugroho_sbm/5b6c722d677ffb01e2777be4/mengapa-sandiaga-uno-dipilih-prabowo
(13 Agustus 2018).
menarik tulisannya Grady, di atas kertas sejauh ini sampai bulan November 2018, Jokowi masih unggul dari Prabowo, ditambah dengan beberapa kejadian yang secara elektoral merugikan Prabowo, diantaranya kasus "hoax Ratna Sarumpaet" dan polemik pidato "tampang Boyolali" Prabowo, terlebih juga koalisi yang dibangun oleh Prabowo yang semakin tidak solid, praktis sejauh ini hanya Gerindra dan PAN yang masih solid , sementara Partai Demokrat secara terbuka menyatakan lebih fokus kepada pileg, PKS yang "berebut" kursi Wagub DKI dengan Gerindra, dan indikasi PBB akan merapat ke Jokowi menyusul terpilihnya Yusril menjadi pengacara TKN Jokowi-Ma'ruf. mungkin selain memperbaiki komunikasi politik dengan meninggalkan isu SARA dan beralih ke isu teknokratik seperti ekonomi dan kebijakan, Prabowo juga harus memikirkan kepentingan partai koalisi jika ingin menang melawan Jokowi yang notabene memiliki koalisi lebih solid dan lebih besar.
BalasHapus