Senin, 20 Agustus 2018

Apa Jadinya Jika Kita Sakit Berkepanjangan, Lalu Mati

Hari itu Thomas tampak berbeda. Muka pucat, berat badan semakin turun, dan sering mengeluhkan sakit pada tulang rusuk kiri bawah. Diketahui kemudian ada pembengkakan pada organ Limpa. Sakitnya pasti luar biasa. Tidak jarang pula Thomas pingsan akibat kekurangan darah. Rangkaian pemeriksaan oleh dokter menunjukkan bahwa Thomas menderita leukimia - atau banyak dikenal dengan istilah "kanker darah." Penyakit kanker itu bagaikan mimpi buruk, dan kini Thomas harus menghadapinya. Tidak ada pilihan lain: Thomas harus menghabiskan hari-harinya di rumah sakit. Semua pekerjaan dan kesenangan yang biasa dilakukan, kini digantikan dengan hanya berbaring sepanjang waktu. Itu pun masih menahan sakit yang luar biasa. Ia tidak mampu berdiri sebagaimana biasanya. Akhirnya Thomas sadar: tubuhnya kini, bukan lagi otoritasnya. Hanya sel-sel ganas yang perlahan memakan habis dirinya.

Hari demi hari dilalui, begitu pun bulan demi bulan.

Beberapa temannya tampak berkunjung, memberikan support dan doa. Tapi itu tidak memberikan dampak apa pun. Kondisi Thomas makin memburuk. Keluarga yang senantiasa menemaninya juga semakin pasrah, seolah sedang mempersiapkan diri untuk melepas kepergian Thomas suatu saat nanti. Keluarganya sudah semakin lelah merawatnya. Thomas tidak hanya terjebak pada kesakitan, tetapi juga kesepian.

Hingga penderitaan melengkapi waktu hampir satu tahun, Thomas akhirnya benar-benar pergi meninggalkan dunia. Mereka yang mengenal Thomas pun bersedih. Tapi kesedihan itu sama sekali tidak dapat mengembalikan Thomas ke dunia. Setahun setelah kematian Thomas, semua orang melupakannya, kecuali doa dari orang-orang yang (masih) menyayanginya.

Pertanyaannya, apa jadinya jika kondisi di atas terjadi pada diri kita?

Cerita di atas adalah fiksi yang saya buat, tapi tampak nyata dalam kehidupan sehari-hari. Ibu saya pernah merasakan situasi di atas. Medio 2009, Ibu saya divonis oleh dokter Ob-gyn (kandungan dan kebidanan) terkena penyakit yang dianggap paling mengintai kaum perempuan: kanker serviks (kanker mulut rahim). Penderitaannya berlangsung satu tahun hingga kematian menjemputnya di pertengahan 2010. Setiap malam di hari-hari terberatnya, Ibu saya mengeluhkan sakit yang luar biasa di bagian perutnya. Lama-kelamaan tidak ada satu pun makanan yang dapat masuk ke mulutnya. Badannya habis, hanya tulang-belulang yang tampak dibungkus kulit. Bicara pun terbata-bata, seolah energi dalam tubuh tidak lagi mampu menggerakkan bibirnya. Untuk pergi ke kamar kecil saja, Ibu saya harus dipapah. Saat kebetulan tidak ada orang di sebelahnya, Ibu saya bahkan harus merangkak kesakitan untuk buang air. Dari alat kelaminnya keluar cairan berwarna kuning yang intensitasnya semakin sering.

Hanya saya yang menemani sisa hidupnya. Sayang, saat detik kematiannya, saya sedang tidak di tempat. Saya kembali dengan melihat tubuh Ibu saya yang sudah jadi mayat. Tentu saja saya sedih. Tapi menangis pun percuma, dan memang saya menghindari tangisan karena tahu bahwa itu percuma. Karena kesedihan tidak akan berdampak apa pun yang bisa mengubah keadaan, dan lagi-lagi kecuali hanya doa yang menembus langit. Setidaknya saya berdoa agar penderitaannya tidak terulang kembali setelah kematian. Berdoa agar Tuhan menerima seluruh amal ibadahnya, dan dapat bahagia abadi di surga-Nya.

Lalu dalam hati saya membayangkan, apa jadinya jika waktu itu saya tidak di sisinya? Bisa jadi penderitaannya semakin berlipat ganda: kesakitan dan juga kesepian. Tapi kenyataannya, penderitaan itu telah banyak orang yang mengalaminya. 90 ribu lebih perempuan di Indonesia meninggal akibat kanker dalam setahun, dan 10 persen di antaranya adalah akibat kanker serviks. Itu baru satu jenis penyakit saja: kanker (yang jenisnya juga bermacam-macam). Bagaimana dengan penyakit mematikan lain seperti jantung koroner, gagal ginjal, stroke, TBC, diabetes, dst. Bahkan soal penyakit, dunia modern ini penuh paradoks: saat banyak orang mati karena kurang gizi, justru lebih banyak lagi orang yang mati akibat obesitas!

Dari berbagai jenis penyakit mematikan tersebut, secara statistik, telah banyak menyumbang puluhan ribu kasus kematian dalam setahunnya. Artinya, ada puluhan ribu pula orang yang harus menderita kesakitan (dan mungkin kesepian) hingga detik-detik kematiannya.

Apakah Anda siap jika menjadi salah satunya?

Loh, memangnya siapa yang ingin sakit? Jempol kaki yang tak sengaja menendang meja saja bagi kita sakitnya sudah luar biasa! Bagaimana dengan kanker. Kalau jawaban saya: tidak siap, bagaimana dengan Anda? Saya yakin Anda juga tidak siap, dan tidak akan pernah siap. Bahkan mungkin kita menginginkan mati dengan cara yang mudah dan menyenangkan. Bisa jadi ini adalah doa yang selalu kita panjatkan. Tapi bagaimana jika doa Anda tidak dikabulkan di dunia? (Karena saya sangat yakin Tuhan pasti mengabulkan setiap doa hamba-Nya kapan pun Ia mau, sekali pun baru dikabulkan saat kita sudah di akhirat). Atau jangan-jangan Anda tidak pernah berdoa karena merasa nyaman dengan apa yang dimiliki saat ini.

Tapi tidak ada salahnya - tanpa bermaksud mengaminkan - untuk berandai-andai jika suatu saat kita sakit berkepanjangan, lalu mati. Coba bayangkan!

Satu hal yang terlintas dalam benak saya jika suatu saat harus sakit tidak berdaya adalah, siapa orang-orang yang menemani di hari-hari terberat saya? Teman kita boleh banyak, tapi apakah mereka mau menggantikan popok karena kita tidak lagi mampu menahan buang air? Apakah mereka mau menyikatkan gigi kita? Dan yang paling penting adalah, apakah mereka mau menghabiskan waktunya hanya untuk kita? Mungkin ini semua akan dilakukan oleh keluarga: entah istri, anak, ayah, Ibu, Kakak, atau adik.

Saat sakit parah, seperti Thomas, Anda mungkin baru sadar bahwa tubuh Anda bukan lagi otoritas Anda, tapi ia milik tumor keparat yang tidak pernah Anda inginkan.

Dalam kondisi yang semakin lemah, Anda bisa jadi semakin temperamental. Anda semakin ingin memaki-maki penyakit Anda. Karena tidak bisa, Anda memaki-maki dokter dan perawat di sekitar Anda. Keluarga yang merawat Anda juga bisa jadi sasaran kemarahan Anda. Tapi Anda harus sadar, bahwa penyakit itu milik Anda, bukan milik dokter, perawat atau siapa pun. Lagi pula, orang yang merawat Anda juga punya hak untuk melanjutkan hidupnya, bukan hanya untuk Anda saja!

Dan akhirnya Anda hanya bagian dari statistik, untuk menambah jumlah angka kematian akibat penyakit-penyakit mengerikan di dunia ini. Dalam statistik, Anda tidak berarti apa pun. Jika Anda menderita kanker, Anda hanya menambah jumlah dari ratusan ribu penderita kanker di Indonesia. Secara statistik pun, Anda tidak signifikan, hanya menambah angka satu saja dari total jumlah yang ada, itu pun kalau Anda beruntung masuk ke dalam angka statistik tersebut.

Lalu Anda merasa saat ini masih muda, dan merasa jauh dari ragam penyakit mematikan. Eits, jangan salah. Penyakit mematikan sama sekali tidak mengenal usia. Mereka yang berusia produktif, juga dapat menjadi mangsanya. Memangnya Anda yakin dapat tetap berwenang atas tubuh Anda? Kenyataannya tidak. Bisa jadi Anda juga harus terbaring lemah. Kegagahan yang dibanggakan kapan pun bisa jadi hilang. Dan tiba-tiba Anda mengemis perhatian dari orang lain? Lah kan penyakit itu milik Anda, jadi harus Anda rasakan sendiri!

Jadi, kira-kira sudah siap?


0 comments:

Posting Komentar