Rabu, 15 Agustus 2018

Malas

Setiap orang punya alasan yang berbeda soal malas. Tapi dari ragam alasan tersebut, ada dua faktor yang membuat orang (disebut) malas. Faktor pertama adalah yang datang dari luar diri kita, dan ini kita sebut faktor eksternal. Kemudian faktor kedua adalah yang datang dari diri kita sendiri, dan ini sebut saja faktor internal. Kita tidak dapat mengendalikan faktor eksternal, tapi bisa untuk faktor internal.

Saya punya cerita soal kedua faktor tersebut dalam pengalaman masa lalu.

Dulu, waktu SD, guru-guru memuji saya sebagai anak yang pintar. Indikatornya sederhana saja. Saya paling rajin, disiplin dengan aturan sekolah, dan saya selalu mendapat ranking pertama (kecuali saat kelas 1 SD). Saya bisa dibilang adalah anti-tesis dari kebanyakan teman-teman di kelas yang dicap oleh guru sebagai "pemalas". Jujur saja saya paling tidak rela disebut pemalas. Pasalnya itu sangat menyakitkan hati dan saya harus menghindarinya. Inilah yang menyebabkan saya selalu mencari perhatian guru. Oleh sebab itu, sudah dipastikan saya akan mengerjakan setiap PR yang diberikan, duduk paling depan (kalau bisa depan meja guru), dan rajin menjawab setiap soal yang diberikan guru. 

Meskipun lolos dari cap anak malas, hubungan sosial dengan teman-teman di kelas merenggang. Bisa dibilang saya adalah orang yang paling dibenci di kelas. Beberapa anak yang dilabeli pemalas akut oleh guru justru paling rajin membully saya, kecuali beberapa anak perempuan yang senang dekat-dekat dengan anak yang dianggap rajin dan pintar. Satu-satunya pem-bully-an yang masih saya kenang adalah soal celana saya yang disembunyikan. 

Saat itu saya sedang buang air di toilet sekolah. Berhubung tidak ada gantungan pakaian, otomatis saya gantung celana saya di atas pintu. Ternyata para haters sudah mengikuti saya, dan saat saya berada di dalam kamar kecil, celana saya diambil. Lalu saya berteriak sembari sumpah serapah diakhiri dengan tangisan sejadi-jadinya. Untung saja ada teman saya yang rela membantu saya untuk merebut kembali hak saya untuk memakai celana. Tapi gangguan itu tidak berhenti setelahnya. Saat saya kembali ke kelas, para gembong haters menutup hidung mereka sembari berteriak, "bau tahi-bau tahi!". Maklum, zaman SD dulu, buang air besar di kamar mandi sekolah adalah aib. Belum lagi kisah mistis seperti kemunculan mister gepeng yang membuat anak-anak SD rela cepirit di kelas dibandingkan buang air di tempat yang benar.

Pelabelan anak malas adalah faktor eksternal yang membuat orang justru semakin malas. Mereka yang sudah dicap anak malas, oleh guru akan dipinggirkan. Hal ini yang membuat saya sering mendapat keistimewaan guru di kelas. Pernah sesekali saya terlambat sekolah, di saat teman-teman yang lain dijewer telinganya, tapi saya selamat, karena saya punya keistimewaan itu. Dari sini, anak-anak yang secara rutin dicap pemalas akan tertanam dalam dirinya bahwa mereka anak yang malas. Inilah faktor eksternal yang membuat orang disebut malas, dan ini di luar kendali mereka. Tentu saja kita juga tidak bisa menyalahkan anak-anak yang tidak aktif di kelas karena setiap dari mereka memiliki keunikan yang berbeda. Sayangnya, sistem pendidikan waktu saya SD dulu secara otoriter ingin menyeragamkan indikator kepintaran dan kemalasan, dibanding melihat keistimewaan masing-masing peserta didik.

Kembali lagi pada faktor eksternal penyebab malas, intinya adalah sistem/lingkungan yang tidak mendukung kita untuk mengerjakan sesuatu hal yang menjadi pekerjaan utama kita. Seorang pekerja menjadi malas bekerja karena ia sedang bermusuhan dengan rekannya di kantor, atau kesal terhadap atasannya. Tapi itu bukan berarti bahwa pekerja itu adalah pemalas, karena sebelum lingkungan memengaruhinya, ia mengerjakan semua tanggung jawabnya yang diberikan.

Tapi ada juga yang malas karena dorongan dari dalam diri. Biasanya ini dicirikan dengan hilangnya semangat hidup dan disorientasi tujuan. Saya juga punya cerita soal ini.

Waktu SMP, saya menyukai seorang teman perempuan. Ini adalah pertama kalinya saya merasakan ketertarikan terhadap lawan jenis. Berbeda dengan SD, saat SMP saya sudah mulai sedikit nakal mengikuti pergaulan teman. Karena saya lihat beberapa teman saya pacaran, saya pun memberanikan diri untuk nembak perempuan yang saya suka. 

Hasilnya? saya ditolak. Hati pun hancur berkeping-keping. Dari sini semangat belajar saya mengendur. Beberapa PR yang diberikan guru tidak dikerjakan di rumah, tapi di sekolah sembari melihat hasil pekerjaan orang lain. Intinya saya berada dalam frustasi yang mendalam saat itu, dan kemalasan adalah ekspresi batin saya.

Apakah ini faktor internal kemalasan? Iya, karena ia muncul dari dalam diri, padahal sistem/lingkungan tidak ada yang berubah. Yang berubah adalah suasana hati saya; kehilangan orientasi hidup, dan tidak tahu manfaat dari apa yang sedang dikerjakan, sebab, apa yang ingin saya dapatkan tidak tercapai. 

Jadi, bagaimana agar kita tidak malas? Tetapkan orientasi hidup yang abadi, dan abaikan perubahan lingkungan yang tidak bisa kita kendalikan. Dengan demikian (menurut saya), kita tidak lagi malas mengerjakan sesuatu.

2 komentar:

  1. Teruslah menulis, kak Grady
    Btw kak, saya penikmat tulisan kakak sejak maba wkwk

    Waktu kakak kalah di pemira bem fisip waktu itu, kakak bilang kalau gagal itu adalah ketika kita ngga tahu langkah kita berikutnya apa

    Semenjak itu, gue merasa kak grady adalah seseorang yang genuine, jadi selalu gue baca tulisan reflektifnya di medsos wkwk. Relate sekali sama keseharian

    BalasHapus