Hati ini terbakar panas, sama panasnya dengan terik
matahari di siang hari. Di tengah border yang tertutup rapat, kami memekikkan “hidup
mahasiswa” dengan lantang. Yel-yel dan orasi tak henti-hentinya bergema dari
mobil sound yang tepat berada di
depan barisan kami. Suasana itu semakin tegang saat malam tiba. Kami masih
berada di depan gedung DPR RI Senayan saat para pemimpin eksekutif mahasiswa
berusaha melakukan lobi di dalam. Tentu saja, kericuhan tak dapat dihindari.
Koordinator lapangan sudah mewanti-wanti kepada para peserta aksi untuk tetap
mendengar komando dan berada dalam satu barisan. Maklum, khawatir ada penyusup.
Di dalam gedung, ternyata kekacauan terjadi saat mahasiswa teriak di
tengah-tengah sidang paripurna. Itu adalah hari yang paling tidak dapat
dilupakan sepanjang karier saya sebagai mahasiswa.
Saat itu saya masih menginjak semester dua. Buat saya,
itu adalah demo menolak kenaikan harga BBM yang paling berkesan. Rasanya
keringat dan pegal yang saya rasakan terbayar sudah dengan kepuasan bahwa saya
telah ikut berjuang. Ini wajar saja sebab, beberapa hari sebelumnya dalam
pikiran saya telah tertanam bahwa kebijakan kenaikan harga BBM ini adalah bentuk
kebajingan yang nyata.
Dalam alam bawah sadar kami ditanamkan bahwa mahasiswa
sudah semestinya berjuang untuk rakyat kecil nan lemah. Seperti kenaikan harga BBM,
maka mahasiswa harus menolaknya.
Sadar atau tidak, kenyataannya adalah idealisme yang selama
ini ditanamkan oleh senior kita saat mahasiswa bersifat semu. Mahasiswa sebagai
agen perubahan, kontrol sosial dan penegak moral tidak lain adalah jargon demi
memelihara romantisme masa lalu. Biasanya jargon tersebut dibumbui dengan kisah
heroisme para senior yang menurut mereka berhasil menumbangkan rezim Orde Baru pada
1998. Para senior itu selalu membanding-bandingkan bahwa masa mereka ketika mahasiswa
begitu semangat berjuang, dan mengatakan bahwa mahasiswa sekarang lebih manja. Akibatnya:
gerakan mahasiswa tidak lebih dari sekedar simbol, dan keinginan untuk
mendapatkan justifikasi bahwa mahasiswa masih berjuang bersama rakyat.
Tentu saja ini adalah kesesatan pikir yang dipelihara. Masalahnya,
romantisme dan heroisme adalah lingkaran setan yang diwariskan turun-temurun. Mentoknya
adalah simbolisasi dan glorifikasi gerakan mahasiswa, padahal hasilnya nihil.
Demo dengan jumlah massa yang besar adalah puncak kebahagiaan para mahasiswa,
apalagi jika diwarnai baku hantam dengan polisi, rasanya perjuangan membela
rakyat akan terasa lebih afdhal. Lebih
bagus lagi jika ada mahasiswa yang harus ditahan aparat. Dengan begitu, para
mahasiswa ini bisa menuduh bahwa rezim ini represif dan sewenang-wenang. Dan sialnya,
kebanyakan mahasiswa ini termakan propaganda para elite mereka di kampus. Kasarnya,
mental yang tertanam seperti ini cukup pas jika dikatakan sebagai “gaya-gayaan”
belaka.
Mungkin kalian setuju, dan mungkin juga tidak setuju.
Bagi yang tidak setuju, bisa jadi kalian menuduh saya sebagai orang yang tidak pernah
demo, anak manja, dan hanya bisa komentar saja. Tuduhan kalian sebagian benar,
karena di sini saya hanya komentar. Tapi di sisi lain, saya sendiri adalah
bagian dari elite mahasiswa di kampus yang cukup sering menyelenggarakan
demonstrasi, dan saya hampir tidak pernah absen berdemo ria sejak mahasiswa
baru hingga akhir karier saya sebagai mahasiswa strata satu.
Apakah saya menyesal? Tentu saja tidak. Kegiatan
aktivisme – meskipun gaya-gayaan – telah mengasah softskill yang ada dalam diri saya. Kalian yang bernasib sama
dengan saya juga tidak perlu menyesal. Karena pada dasarnya menjadi mahasiswa tidak
ada salahnya untuk mencoba banyak hal. Lagi pula, saya tidak pernah tidak
sepakat tentang demo mahasiswa. Justru saya merasa miris saat korupsi dan
kemiskinan merajalela, mahasiswa justru hanya asyik sendiri. Berdiam di tengah
kebisingan.
Sikap tidak setuju saya adalah soal simbolisasi dan glorifikasi
kehebatan mahasiswa yang seolah bisa mengubah segalanya. Padahal, perubahan
besar apa yang bisa dilakukan sepanjang masa kampus yang hanya empat sampai
enam tahun? Oleh sebab itu, mahasiswa harus dikembalikan pada hakikat idealisme
yang sesungguhnya.
Idealisme mahasiswa tentu saja berangkat dari terusiknya
nurani terhadap ketidakadilan, bukan membanggakan kehebatan diri sendiri yang
nyatanya tidak hebat. Jika kita sepakat dengan definisi ini, mari kita pikirkan
format gerakan yang lebih efektif dan mengena. Misalnya, seberapa kuat pengaruh
kalian terhadap para perumus kebijakan? Mengapa kalian tidak mengajukan judicial review terhadap UU yang kalian
tahu bertentangan dengan konstitusi? Seberapa sering kalian mengeluarkan kertas
posisi, dan seberapa serius kalian mengkaji isu sosial selain sekedar tolak dan
demo? Intinya, seberapa tulus kalian berjuang saat tidak ada media massa yang
menyoroti aksi-aksi kalian?
Lalu, yang juga tidak kalah penting adalah, seberapa
yakin kalian sebagai individu sudah idealis? Apakah kalian masih mampu
mempertahankan idealisme jika kelak lulus dari kampus? Apakah kalian mampu menjamin
dan bertekad dalam diri bahwa kalian tidak akan menjilat pantat elite politik
yang kalian demo sebelumnya?
Sudahlah, hentikan romantisasi. Kenyataannya kalian tidak
bisa berbuat apa-apa seperti kebanyakan masyarakat pada umumnya. Cobalah
pikirkan hal yang strategis: berdampak kecil dan dapat diwariskan ke generasi
mahasiswa setelah kalian. Misal, seberapa signifikan perjuangan kalian untuk
mengadvokasi anak-anak gelandangan yang sulit mendapatkan akses pendidikan?
Lagi-lagi ini adalah masalah yang diselesaikan dalam kesunyian, tapi berdampak
jika serius digarap.
Sayangnya, justru kalian lebih memilih hiruk pikuk dengan
mengangkat isu besar padahal kalian tidak tahu mau berbuat apa lagi setelah
dipukul aparat keamanan.
Kalian makin tidak setuju? Tidak apa-apa, silakan berikan
komentar kalian di bawah tulisan ini.
0 comments:
Posting Komentar