Sabtu, 01 September 2018

Menggugat Kolonial: Sebuah Catatan dari Novel Max Haveelar

Apa yang enak dari hidup di bawah tekanan pihak lain secara sewenang-wenang? Tentu tidak ada yang mau. Tapi nyatanya penjajahan tetap saja terjadi. Dalam satu abad ke belakang, banyak di antara bangsa Timur yang dikolonialisasi oleh kebanyakan mereka bangsa Eropa. Hindia Belanda adalah satu contoh bagaimana kesewenang-wenangan terjadi secara sistemis. Untuk waktu yang lama mata dunia tertutup terhadap penderitaan bangsa tertindas.

Kisah Max Havelaar yang ditulis Multatuli - nama pena Eduard Douwes Dekker, seorang Belanda tulen sekaligus mantan pegawai pemerintahan Hindia Belanda - bukan hanya untuk menyenangkan mata pembaca dengan karya fiksi. Lebih dari itu, kisah Havelaar adalah gugatan terhadap kolonialisme, sekaligus gugatan terhadap mata dunia yang tertutup di atasnya.

Kisah ini ditulis setelah pemecatan Eduard dari jabatan terakhirnya sebagai asisten residen Lebak. Tentu saja, Haveelar yang jadi tokoh utama dalam kisah ini tidak lain adalah personifikasi Eduard sendiri saat masih bertugas di Banten. Secara gamblang ia menyajikan bagaimana sistem kesewenang-wenangan itu telah menjatuhkan martabat manusia serendah-rendahnya. Tanam paksa, kerja rodi, dan perampasan adalah gambaran yang secara khas dikisahkan dalam novel ini. Dan nantinya engkau akan tahu - jika sudah membaca - bahwa potongan kisah yang disajikan terpisah akan memiliki keterkaitan satu sama lain.

Simak ulasan singkat saya mengenai novel ini...

Jika membuka lembaran-lembaran pertama, engkau akan diperkenalkan dengan sosok yang menyebalkan. Namanya Batavus Droogstoppel, seorang makelar kopi dari firma Last & Co - dan tentu saja adalah orang kaya. Penulis menggambarkan sosok ini sebagai orang yang hanya mementingkan diri sendiri dan pekerjaannya. Alih-alih merasa paling logis dan benar, Droogstoppel justru menyalahkan orang miskin karena kemiskinannya. Menurutnya, orang miskin pada akhirnya akan tetap miskin, bahkan dengan semena-mena ia menganggap bahwa orang miskin tidak lagi diberkati Tuhan akibat ulahnya sendiri.

Droogstoppel adalah penggambaran umum dari kalangan Eropa penikmat hasil bumi yang dijarah dari tanah Jawa. Ia membanggakan bisnis kopi dan lelang musiman yang padahal rodanya digerakkan oleh sistem tanam paksa yang dibangun oleh pemerintah kolonial di negeri jajahan, tapi Droogstoppel membantah itu.

Nah, di sini kita akan temukan bagaimana penulis ingin menyampaikan bahwa orang Belanda sendiri secara umum tidak mengetahui kondisi riil di tanah kolonisasi yang dikendalikan pemerintah mereka. Seperti pernyataan-pernyataan Droogstoppel di bagian akhir buku yang menyebutkan bahwa pemerintah mereka baik, bahkan dikatakan bahwa seharusnya orang-orang Jawa yang kafir itu (menurut Droogstoppel) berterima kasih karena pemerintah mereka telah membeli hasil bumi Jawa dengan harga yang mahal - padahal sebaliknya.

Lalu apa yang sebenarnya terjadi di tanah Jawa pada pertengahan abad 19?

Dalam novel itu dikatakan bahwa Havelaar memohon kepada Droogstoppel untuk menerbitkan "paket" miliknya yang merupakan kumpulan catatan Havelaar selama mengabdi di Hindia Belanda, khususnya di Banten, pulau Jawa - lebih spesifik lagi saat menjadi asisten residen di Lebak. Meskipun Droogstoppel merasa jijik terhadap Haveelar - yang ia panggil dengan Sjaalman, si lelaki pemakai Syal - tetap saja akhirnya paket Haveelar disusun dan diterbitkan. Alasannya karena Droogstoppel sudah terlanjur membuka paket itu, dan dengan kepribadian yang sangat ingin menjaga harga diri, terpaksa si tuan makelar kopi ini memenuhi permintaan Havelaar.

Pada bagian pertama yang disusun adalah gambaran tanah Lebak dan bagaimana birokrasi kejam itu bisa berjalin mesra dengan pejabat-pejabat pribumi. Jawabannya adalah karena pemerintah kolonial memanfaatkan tradisi feodal yang telah mapan jauh sebelum kolonialisme itu hadir. Dalam sistem feodal, para raja-raja nusantara memanfaatkan rakyat yang dipimipinnya untuk melayani kepentingannya.

Dalam novel ini digambarkan bagaimana rakyat - khususnya Jawa - melayani kepentingan raja mereka. Mereka akan membawa persembahan yang biasanya berasal dari hasil panen sebagai bentuk loyalitas kepada raja. Lalu pemerintah Belanda memanfaatkan sistem ini. Untuk meningkatkan gairah pasar Eropa, pemerintah kolonial berupaya mengeruk hasil panen di Jawa sebagai komoditas ekspor negara melalui sistem feodal itu sendiri. Caranya, para elit pribumi diberikan insentif yang besar jika mereka mampu memberikan "persembahan" yang juga besar kepada pemerintah kolonial.

Dari sistem feodal ini dibentuklah sebuah birokrasi modern. Pertama-tama sistem pemerintah kolonial membangun sistem hukum di tanah jajahan mereka. Sistem hukum inilah yang dijadikan alat bagi aparat kolonial untuk membuat rakyat yang dianggap bersalah dihukum dengan kerja paksa tanpa bayaran. Kemudian para raja-raja itu diangkat menjadi bupati di distriknya masing-masing.

Setiap distriknya, ada pegawai Belanda sebagai penanggung jawab yang disebut dengan asisten residen dibantu oleh seorang pengawas. Asisten residen ini bertanggung jawab terhadap Residen (setingkat provinsi), dan kemudian di atasnya lagi adalah Gubernur Jenderal yang bertanggung jawab terhadap keseluruhan wilayah Hindia Belanda. Nantinya Gubernur Jenderal ini akan menjadi penghubung dengan pemerintah pusat di Eropa. Seperti inilah birokrasi kolonial dibangun.

Dari penjelasan tersebut kita akan tahu betapa pentingnya posisi Haveelar sebagai asisten residen di distrik Lebak. Haveelar bukan pegawai rendahan. Posisinya sangat penting dalam birokrasi kolonial. Tapi sifatnya justru tidak mendukung sistem kolonial itu sendiri.

Novel ini menggambarkan sifat Havelaar yang sangat berbeda dengan pegawai Hindia Belanda pada umumnya yang sewenang-wenang dan korup. Sosok Haveelar justru anti tesis dari kenyataan itu.

Misalnya, digambarkan dalam novel itu bahwa Havelaar sangat miskin meskipun ia adalah seorang pejabat sekali pun. Diceritakan bahwa Haveelar tidak mau menggunakan "hak" kemewahan yang biasanya digunakan oleh pejabat lain. Penolakan ini karena kemewahan ini didapat dari kerja-kerja paksa orang pribumi yang menurut Haveelar sangat tidak pantas. Bahkan dalam kondisi miskin pun, Haveelar masih sangat dermawan. Berkali-kali ia membantu orang tertindas yang meminta pertolongannya, dan ia tidak bisa menolak. Hati nurani telah menggerakan tindakannya.

Dalam sistem kolonial, Bupati (pejabat pribumi) sangat berperan penting. Sebab dari para bupati inilah pemerintah kolonial mendapatkan keuntungan. Pada kasus Lebak tempat Haveelar bertugas, bupati Lebak adalah gambaran pejabat pribumi yang sangat keji. Di sini engkau harus membaca kisah cinta Saidjah dan Adinda yang harus pupus akibat kesewenang-wenangan menantu Bupati Lebak di distrik Parang Kujang. Bagian ini, menurut saya sangat menyentuh nurani pembaca. Bukan karena kisah cinta Saidjah dan Adinda, melainkan bagaimana para petani hanya bisa menangis gigit jari karena kerbau pembajak sawah mereka di ambil paksa oleh pejabat pribumi.

Bentuk kesewenang-wenangan lain yang digambarkan adalah tanam paksa. Pada sistem tanam paksa, para petani diharuskan menanam kebun sesuai dengan kebutuhan pasar Eropa: terutama kopi dan teh. Lahan yang seharusnya digunakan untuk menanam padi justru digunakan sebagai perkebunan. Akibatnya, produksi beras menurun, kebutuhan konsumsi karbohidrat masyarakat pribumi pun menurun drastis. Dampak akhirnya kelaparan hebat yang merajalela khususnya di Jawa.

Meminjam istilah sejarawan Hilmar Farid, sistem feodal ditambah kolonial menghasilkan akumulasi kapital. Dan pemerintah kolonial memiliki libido yang besar untuk mengakumulasikan kapital sebesar-besarnya demi menghidupkan pasar.

Rantai inilah yang dijelaskan secara gamblang oleh Multatuli tanpa tedeng aling-aling. Bahkan secara eksplisit penulis mengatakan bahwa para pejabat kolonial telah membuat laporan-laporan palsu mengenai kondisi di tanah jajahannya. Seperti kenyataan bahwa kelaparan merajalela, namun laporan ke pemerintah pusat sebaliknya dengan menyebutkan justru yang terjadi adalah over produksi beras. Oleh sebab itu wajar saja jika novel Max Haveelar ini membuka fakta yang tidak pernah diketahui oleh masyarakat dunia pada saat itu.

 Ada satu lagi bentuk kesewenang-wenangan, yaitu kerja paksa. Biasanya ini didahului dengan kriminalisasi masyarakat pribumi. Dari kesalahan-kesalahan kecil yang dibuat, mereka harus menanggung hukuman yang lebih berat dari pada kesalahannya sendiri. Mereka yang divonis bersalah, akan diminta untuk menjadi buruh kasar tanpa bayaran untuk membangun infrastruktur Hindia Belanda, atau memperhias istana pejabat mereka. Tentu saja, kenyataannya mereka yang dikriminalisasi sangat banyak mengingat pemerintah kolonial telah menetapkan hukum yang sangat ketat.

Lalu apa respons Haveelar? Dengan sifatnya yang humanis ini, Haveelar berani melayangkan gugatan sebagai protes atas ketidakadilan di tempat ia bertugas. Ia menyurati residen Banten untuk menangkap bupati Lebak yang dianggapnya sudah keterlaluan. Sialnya, residen Banten justru membela Bupati - karena memang sudah diketahui bersama peran penting Bupati untuk memastikan kelancaran arus kapital. Bahkan residen menyuap Bupati untuk berbicara fitnah terhadap Haveelar.

Dalam sistem ini, bisa dipastikan Haveelar dipecat. Pemecatan secara tidak terhormat disampaikan langsung melalui surat dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Haveelar dituduh sebagai pembangkang. Dan ia dipulangkan ke negerinya dalam keadaan melarat. Namun melarat sekalipun tidak menyurutkan rasa keadilannya untuk menyuarakan kebenaran. Jika tidak, mana mungkin novel Max Haveelar ini ditulis yang dikatakannya sendiri selama sebulan.

Bagaimana pun, Havelaar adalah karya fenomenal yang melampaui zamannya. Oleh sebab itu, engkau harus membaca karya ini, demi memelihara ingatan masa lalu yang mungkin tidak pernah kau ingat saat masih di bangku sekolah. Tidak hanya itu, karya ini harusnya menjadi refleksi atas kenyataan hari ini bahwa kesewenang-wenangan masih tetap terjadi sekalipun negeri ini telah merdeka.

0 comments:

Posting Komentar