Minggu, 02 September 2018

Sesal

Andai kita tahu detail dari resiko yang kita dapat dari setiap pilihan-pilihan, mungkin rasa sesal bisa kita minimalisir. Aku katakan dapat diminimalisir - bukan dihilangkan - karena terkadang pertimbangan atas pilihan kita tidak melulu rasional. Selalu ada pertimbangan emosional yang bahkan lebih dominan. Biasanya, yang emosional ini justru paling banyak menyumbangkan rasa sesal di akhir.

Sesal adalah kondisi psikologis yang sangat sulit dilalui. Sialnya justru banyak orang yang menjatuhkan dengan mengatakan, "lagian sih, yang kayak begitu diambil", atau, "baru deh sekarang nyesel". Jika engkau berada dalam situasi krisis ini, sedang temanmu berkata demikian, engkau tentu akan semakin terpuruk. Seolah-olah tidak ada lagi jalan keluar yang dapat kau tempuh.

Aku berpikir jangan-jangan rasa sesal ini adalah salah satu yang mendorong orang untuk bertindak nekat: bunuh diri. Penyakit ini ibarat kanker yang bisa menggerogoti organ tubuh yang lain. Saat kau menyesal dan dibiarkan, organ-organ dalam jiwamu akan dihabisi juga. Perlahan-lahan engkau semakin merasa tidak berguna. Engkau lalu mencari alternatif lain seperti merokok, minum alkohol, seks bebas, dan tindakan tidak terpuji lainnya demi mengalihkan perhatian dari krisis yang engkau rasakan. Tapi sayangnya, krisis ini justru semakin bertambah. Engkau pun menyesal karena membiarkan diri tenggelam dalam penyesalan. Alhasil penyesalan semakin bertambah. Dan kau akhirnya menjadi mayat hidup, itu pun jika engkau masih ada rasa takut untuk mati.

Engkau harus tahu bahwa penyakit mental ini sangat mengganggu. Hari-harimu di mulai dengan tidak ada gairah. Engkau dilanda kemalasan yang besar untuk menjalankan pekerjaanmu. Hubungan dengan keluarga bisa merenggang, karena kali ini engkau pun merasa berat untuk bersosialisasi dengan mereka. Kalaupun seluruh aktivitasmu bisa dilakukan dengan normal, itu pasti dilakukan dengan rasa keterpaksaan. Fisikmu terlihat normal, engkau mungkin bisa tertawa lepas, tapi mentalmu yang sakit tidak akan hilang.

Sialnya di negeri yang kata orang zamrud khatulistiwa ini, penyakit mental belum jadi prioritas. Bukan, bukan karena ingin menyalahkan pemerintah, psikiatri, dan psikolog. Aku yakin mereka telah bekerja keras, dan setidaknya ini yang kulihat dari teman-temanku yang berprofesi di bidang ini. Prioritas yang ku maksud adalah masyarakat kita; mulai dari keluarga, kerabat, tetangga, bahkan teman-teman kita sendiri. Perhatian masyarakat kita terhadap kesehatan mental - berdasarkan observasi pribadi - masih minim. Oleh sebab itu, banyak para penderita gangguan mental ini harus berjuang sendiri.

Penyebabnya bisa jadi karena si penderita enggan untuk bercerita. Boleh jadi karena malu atau gengsi, dan tidak ingin dianggap lemah. Tapi engkau mungkin setuju jika sebetulnya masyarakat kita sendiri juga berperan besar dalam menciptakan berbagai varian gangguan mental. Terlebih pada dunia modern yang penuh dengan definisi-definisi kesuksesan, kecantikan, ketampanan, kemapanan, yang pada akhirnya menjadi sebuah standar yang disepakati bersama. Masalahnya adalah tidak semua orang berangkat dari garis start yang sama. Akibatnya kecemburuan sosial mewabah.

Pembaca, dalam kasus penyesalan yang ku angkat ini, aku harap engkau mengerti bahwa keluar dari krisis penyesalan bukanlah perkara yang gampang. Engkau harus berjuang melawan diri sendiri. Nasihat seperti "melapangkan dada" adalah pil pahit yang pada dosis tertentu tidak akan lagi mempan pada dirimu. Bahkan sekali pun engkau membutuhkan bantuan orang lain, engkau harus berjuang untuk mengalahkan ego-mu sendiri. Mengalahkan ego untuk tidak merasa malu dan gengsi, sembari menyadari kenyataan bahwa jiwamu sedang sakit. Dan kau butuh pertolongan.

Bagaimana pun engkau harus hidup tenang, dan seperti kata orang, engkau harus memaafkan masa lalu. Dan ku tahu itu hal yang sangat sulit sekali. Beberapa kali engkau mencoba untuk memisahkan sikap profesional dan perasaan, berkali-kali itu pula gagal. Apa yang kau pikirkan dan rasakan akan memengaruhi bagaimana kau bersikap dan bertindak.

O, pilihan-pilihan yang menjemukan, kenapa engkau telah menjebak orang-orang yang bodoh nan tolol ini? Kenapa setiap pilihan tidak kau ceritakan apa yang akan ku rasakan setelahnya. Dan karena dirimu, wahai pilihan-pilihan, aku merasa semakin bodoh dan tolol. Karena aku membiarkan diriku terjebak pada pilihan yang kau ajukan, dan aku tidak menikmatinya sama sekali.

Pembaca, apakah engkau pernah menggugat pada pilihan-pilihan? Mereka sejatinya telah menjebakmu dalam lubang hitam yang disebut penyesalan, karena waktu tidak akan pernah bisa di ulang.

0 comments:

Posting Komentar