Selasa, 11 September 2018

Efek Lompat Katak

Tulisan ini pertama kali saya publikasikan pada 11 September 2017. Ketika itu, isu tentang hunian Meikarta sedang gencar-gencarnya. Silakan disimak:

Jika Anda tinggal di wilayah pinggiran Jakarta, seperti saya, kita akan temukan fenomena pertumbuhan pemukiman yang semakin pesat. Observasi saya di wilayah Pamulang (Tangsel) hingga Sawangan (Depok), tanah-tanah yang dahulu kosong kini mulai diisi oleh pembangunan kawasan properti.

Dan tentunya ini terjadi di banyak tempat. Para pengembang properti saling berlomba-lomba akan kelebihan hunian yang sudah disiapkan, mulai dari harga hingga fasilitas-fasilitasnya. Pun, segmentasi pasar dari bisnis properti tersebut sudah sangat jelas; yaitu kelas menengah atas.

Seorang ahli perkotaan, Hans Dieter-Evers (1990), menyebutkan bahwa fenomena kelas menengah atas yang berpindah ke wilayah pinggiran kota sebagai “efek lompat katak”. Bagi kelas menengah atas, pusat perkotaan sudah terlalu sesak dan penuh polusi. Mereka menginginkan wilayah yang indah, asri, tenteram sebagai tempat istirahat di tengah kesibukan pekerjaan.

Keinginan ini ditangkap oleh para pengembang, yang mewujudkan mimpi itu menjadi nyata, yaitu menyulap wilayah pinggiran kota menjadi tempat istirahat impian. Alhasil kalangan kelas menengah atas ini satu per satu berpindah ke wilayah pinggiran tersebut, yang tidak jarang memunculkan problem ekologis di tanah yang relatif subur.

Analisis Evers mengingatkan saya pada Meikarta, sebuah kota raksasa yang diciptakan oleh salah satu kelompok bisnis terkaya. Pengembang kota Meikarta ini sangat mengerti keinginan dari kelas menengah atas ini. Iklan besar-besaran, yang saya yakin mengorbankan dana milyaran, dilakukan demi mewujudkan impian mereka.

Keinginan yang kemudian diubah sebagai peluang pasar ini akan mendatangkan keuntungan besar, tidak heran persoalan izin pun ditabrak. Pun saya yakin, lahan (di Cikarang) yang kini hendak diubah menjadi Meikarta, berdampak pada kerugian ekologis. Paling tidak pengurangan lahan pertanian yang biasanya mengelilingi kota-kota besar.

Siapa yang tetap rugi? Jelas kelas menengah bawah. Kelompok ini sejak dahulu adalah mereka yang berpindah ke kota demi mendapatkan hidup yang layak. Impian mereka sama seperti kalangan menengah atas, namun sayangnya mobilitas mereka sangat terbatas. Sesampainya di kota, bukan kehidupan yang layak, justru mereka tetap terkungkung dalam kemiskinan.

Pertumbuhan ekonomi perkotaan tidak mampu menyerap tenaga kerja dari para migran (yang datang dari desa) ini. Tidak heran akhirnya lebih dari 60% mereka terserap di sektor informal; jadi Pedagang Kaki Lima (PKL), pemulung, pengamen yang sering “dikutuk” oleh kelas menengah atas sebagai penyebab kekumuhan. Padahal di desa pun, mereka juga tidak dapat lepas dari kemiskinan karena minimnya pembangunan wilayah pedesaan sejak dulu. Lalu di kota, mereka diusir karena dianggap bikin sesak dan tidak teratur.

Karena rasa kesal kelas menengah atas terhadap kekumuhan, seperti kata Evers, bak “lompatan katak”, mereka mengisi wilayah pinggiran sebagai tempat tinggal. Disinilah hebatnya kota Meikarta, sangat mengerti kebutuhan mereka yang benci kekumuhan, dan ingin ketenteraman.

Mana mungkin nanti ada pemulung yang berani masuk ke dalam kota Meikarta, yang ada mereka sudah diusir satpam depan gerbang! Begitu pun aturan ini akan berlaku di “kota-kota kecil” yang kini telah/sedang dibangun di wilayah pinggiran seperti Depok, Tangerang, Bekasi sebagai tempat istirahat impian.

Jadi, mimpi “aku ingin pindah ke Meikarta”, akan jadi kenyataan (bagi kelas menengah atas).

0 comments:

Posting Komentar