Rabu, 12 September 2018

Mengenal Bangsa Sendiri

Tulisan ini adalah reflektif, terutama bagi saya dan bagi siapa pun yang secara kebetulan membaca tulisan ini.

Judul di atas saya ambil dari potongan novel Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer, di mana tokoh utamanya, Minke, dihadapkan dengan kenyataan pahit bahwa dirinya tidak mengenal bangsanya sama sekali. Kenyataan ini yang membuat Minke gusar, terlebih tuduhan itu juga disertai desakan dari teman Prancisnya, Jean Marais dan Kommer agar Minke menulis dalam bahasa bangsanya (bahasa Melayu). Berawal dari rasa kesal dan gusar inilah Minke akhirnya tergerak untuk membuktikan, yang pada akhirnya ia menyadari bahwa dirinya memang benar-benar belum mengenal bangsanya sendiri.

Ia melakukan rangkaian observasi terhadap mereka yang digolongkan sebagai "pribumi" dalam politik kolonial, saat menemani mertuanya, Nyai Ontosoroh, ke daerah Tulangan, Sidoarjo. Dari observasinta kita akan menemukan catatan, seperti, betapa zalimnya Administratur pabrik gula telah bertindak semena-mena terhadap kalangan Pribumi. Lalu ada sepotong kisah tentang Surati, anak dari kakak mertuanya, yang diserahkan kepada Plikemboh, seorang administratur pabrik, untuk dijadikan gundik. Atau observasi Minke lainnya saat menceritakan penderitaan seorang petani yang bernama Trunodongso. Kemudian, dengan berapi-api Minke mencatat pengamatannya tentang bagaimana lahan-lahan petani di sana harus dijual dengan biaya murah untuk kepentingan perluasan pabrik.

Dari sepotong catatan reportase itu, kita akan dapati di mana Minke berpihak, dan bagaimana upaya awalnya sebagai seorang jurnalis mulai menangkat realitas sosial bangsanya sendiri yang selama ini tidak pernah diungkap. Apalagi zaman kolonial, tentu saja media milik Belanda tidak lain adalah untuk kepentingan kolonial itu sendiri.

Itu dari satu novel, Anak Semua Bangsa. Ada lagi novel yang mirip, dan memang menjadi sumber inspirasi pertama bagi Pram untuk menuliskan novel sejarah dengan gaya sastra yang hampir serupa.

Nama novel itu Max Haveelar. ditulis oleh Eduard Douwes Dekker yang memakai nama pena Multatuli. Dalam novel Pram, nama Multatuli disinggung beberapa kali sebagai guru agung Minke - dan nyatanya juga menjadi guru agung bagi Pram sendiri.

Seperti Anak Semua Bangsa, novel Max Haveelar ini adalah reportase Multatuli terhadap kondisi pribumi yang tertindas tidak hanya oleh kolonial, melainkan oleh bangsanya sendiri. Dari novel - yang tentunya lebih dari sekedar novel - ini kita akan paham bahwa kolonialisme tidak akan langgeng tanpa adanya feodalisme. Dan dari novel ini pula mata kita akan terbuka bahwa musuh bangsa ini bukanlah semata-mata invasi asing, melainkan ketidakadilan yang juga bisa dilakukan oleh golongan bangsa sendiri.

Baik Multatuli, atau Pram, keduanya memiliki kesamaan: mengungkapkan realitas sosial yang tidak pernah terungkap, dan bahkan berpotensi mengganggu eksistensi kaum penindas. Karya Multatuli memang agung, tapi berapa biaya yang harus ia bayar untuk membela bangsa yang ia tidak menjadi bagian di dalamnya, sementara ia harus berakhir menderita? Atau, sebelum karya Pram ini dibaca banyak orang, berapa kali sensor dilakukan oleh pemerintah Orde Baru hanya karena menganggap karya ini berpotensi mengganggu stabilitas?

Keduanya adalah sastra Indonesia klasik. Satu-satunya mengapa novel Max Haveelar yang ditulis oleh orang Belanda, dapat disebut sastra Indonesia karena ia memberikan gagasan bagi Indonesia itu sendiri. Memberikan gagasan bagi Indonesia, itu berarti ia harus tahu bagaimana realitas Indonesia yang sedang ia gagas itu. Oleh sebab itu, di dalamnya mengandung visi, dan arah tentang bagaimana seharusnya bangsa ini dibangun.

Jika kita mengulik ke era reformasi atau demokrasi, apakah gagasan keindonesiaan itu masih kita dapatkan? Jawabannya pasti ada yang membuatnya, tapi masalahnya apakah elit politik negara ini memilikinya? Sayangnya tidak, dan ini kenyataan pahit bagi kita.

Saat para elit politik berbondong-bondong bicara tentang kesejahteraan, ditambah dengan analisis ekonomi yang meyakinkan, nyatanya kemiskinan tetap saja kronis. Terlebih realitas itu semakin tereduksi dengan kontestasi pemilu. Kubu pendukung petahana mengklaim bahwa pemerintah telah berhasil, setidaknya sukses dalam menurunkan tingkat kemiskinan secara signifikan, sedangkan kubu oposisi hanya mengkapitalisasi kemiskinan untuk kepentingan elektabilitas. Pada akhirnya, semua itu hanya berhenti pada angka-angka statistik, perdebatan apakah uang lima puluh ribu cukup untuk makan sekeluarga atau tidak, dan perdebatan yang berdampak nihil lainnya.

Sementara itu kita masih bisa menyaksikan Trunodongso-Trunodongso lainnya di Orde Reformasi.

Apa bedanya antara petani Tulangan era kolonial yang lahannya dirampas untuk kepentingan pabrik gula dengan petani Kendeng era reformasi yang lahannya dirampas untuk kepentingan pabrik semen? Sama saja! bahkan media-media zalim sama-sama menyatakan bahwa itu bukanlah perampasan, melainkan sebuah mekanisme yang berkeadilan. Hanya saja bedanya, di era kolonial, orang protes maka dianggap kriminal, sedangkan di era reformasi, orang protes justru diabaikan. Suara mereka kalah dengan hingar-bingar berita elit yang tidak penting.

Sialnya, para peneliti sosial sebagian besar masih gagap terhadap kenyataan, dan gagal dalam memahami kondisi bangsanya sendiri. Seperti Minke, saya dan mereka sama-sama masih belum mengenal bangsanya sendiri!

Akhirnya dari cerita panjang di atas, perhatian saya teralihkan pada sebuah buku yang berjudul Tempat Terbaik di Dunia, karya Roanne van Voorst, seorang antropolog asal Amsterdam, Belanda. Buku ini telah sukses membuat saya merasa malu, malu karena tidak mengenal lingkungan tempat saya lahir, tumbuh, dan tinggal. Alih-alih mengenal bangsa sendiri.

Jika cerita di atas adalah kehidupan petani di desa, Roanne memotret situasi paradoksial dalam megapolitan Jakarta, yang kita sebut sebagai kampung kumuh atau bantaran kali. Saya, dan mungkin Anda pasti pernah melihat deretan gubuk di pinggir kali Jakarta. Tapi berengseknya kita, kita tidak pernah bertanya-tanya tentang; bagaimana mereka bertahan hidup dalam keadaan miskin yang esktrem?

Sementara justru kita memandang mereka - seperti pejabat setempat - bahwa keadaan itu adalah salah mereka sendiri. Dugaan negatif seperti mereka adalah pemalas dan sarang kriminal barangkali melayang-layang dalam pikiran kita. Dan secara tidak sadar kita ikut mengutuk mereka, dan mengaminkan adanya penggusuran dengan dalih menjaga ketertiban. Atau mungkin kita berada di pihak mereka, namun lagi-lagi gagap karena kita tidak pernah tahu bagaimana struktur sosial, dan merasakan cara mereka hidup sehari-hari.

Hey Grady, kamu tidak lebih dari seorang sombong yang tidak tahu apa-apa, karena engkau tidak benar-benar mengenal mereka!

Kita butuh Roanne-Roanne lain dari bangsa kita, untuk kemudian mengenal selingkungan bangsanya sendiri. Kita butuh keberanian seperti Roanne, yang meninggalkan kenyamanan, lalu menjawab pertanyaan tentang, "bagaimana mereka bertahan hidup?", dengan merasakan sendiri dari lingkungan dan cara mereka hidup. Ya, ia memang antropolog, dan metode riset itu adalah hal yang memang wajib ia lakukan.

Seharusnya kita sadar atas - meminjam istilah Rocky Gerung - kedunguan kita, bahwa kita bicara kemiskinan, tapi tak mengenal antropologi kemiskinan itu sendiri. Padahal Roanne hanya memotret sebagian kecil fenomena, tapi banyak fakta yang justru saya sendiri tidak pernah tahu-menahu. Ini membuktikan bahwa fenomena kemiskinan, atau, fenomena yang dialami seperti Trunodongso, adalah sepotong fenomena yang khas. Fenomena ini hanyalah bagian dari puzzle yang saling menyatu, dan membentuk sebuah bangunan realita bahwa kemiskinan di negeri ini sangat beragam, dan memiliki kekhasannya masing-masing.

Lalu, kenapa kita dengan berlagak merasa paling tahu dan mengabaikan kenyataan itu. Lalu dengan gagahnya menyebutkan bahwa kita memiliki analisis yang paling valid, disertai dengan angka dan istilah rumit, serta kutipan-kutipan dari jurnal bergengsi. Dari situ kau bangga, lalu membagikannya ke kanal-kanal media sosial, hingga kau merasa bahwa gagasanmu bisa menyelesaikan masalah. Padahal tujuanmu hanya ingin dianggap cerdas, tidak lebih.

Hey bangsat! memangnya kau mengenal bangsamu sendiri? memangnya kau mengenal lingkunganmu? Orang-orang sekitarmu? Apa yang mereka rasakan?

Ya, saya, dan juga Anda, kita semua adalah para bangsat-bangsat!

0 comments:

Posting Komentar