Sabtu, 15 September 2018

Melampaui "Kami", dengan Menjadi "Saya"

Kita hidup di dalam kungkungan persepsi. Baik persepi yang muncul atas penafsiran pribadi, atau persepsi yang dipengaruhi oleh persepsi di luar diri kita. Meskipun demikian, persepsi yang berasal dari penafsiran pribadi tidak benar-benar murni. Kenyataannya ia berangkat dari persepsi di luar kita; yang sebagian besar adalah persepsi kolektif.

Tentu ini wajar-wajar saja. Sebab kita hidup dalam komunitas sosial, yang barang tentu kita berada dalam sub-komunitas atau yang lebih kecil dari itu. Sebagai contoh, komunitas (atau sub-komunitas) yang memiliki persepsi kolektif bahwa menikah dengan segera adalah sebuah pencapaian penting di usia muda, akan membentuk persepsi individu yang selaras komunitas tersebut.

Kita akan temukan narasi propagandis dari yang paling ilmiah, seperti kajian dari sudut pandang disiplin ilmu terutama agama, sampai dengan guyonan seperti "kapan nikah?" atau meme-meme liar yang bertebaran di media sosial, terutama grup Whatsapp. Dampaknya adalah, individu dalam komunitas menafsirkannya dengan membentuk persepsi pribadi; bahwa menikah dengan segera akan meningkatkan mobilitas sosial dalam komunitas yang kita gandrungi.

Otomatis mereka yang sudah menikah menempati strata sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang belum menikah.

Dasarnya memang watak itu sangat alamiah bagi manusia. Berabad-abad lalu saat revolusi kognitif, manusia telah memanfaatkan persepsi kolektif itu sebagai perekat satu sama lain. Misalnya kepercayaan akan mitos, bahwa mereka diatur oleh kekuatan gaib seperti dewa-dewa yang membuat mereka harus memberikan beragam sesembahan.

Ketika ada gunung meletus, atau petir yang menyambar-nyambar, mereka dengan serta merta menyebutkan bahwa para dewa sedang marah. Atau lebih mengerikannya lagi mereka percaya bahwa ketika itu mereka sedang dikutuk.

Sampai dengan konteks kekinian, banyak benda-benda imajiner yang digunakan manusia sebagai indikator hidup yang baik dan yang buruk. Seperti persepsi kolektif bahwa menikah di usia muda adalah baik, menimbulkan persepsi bahwa mereka yang belum menikah di usia muda adalah sesuatu yang buruk.

Dalam dunia akademik sekali pun, benda imajiner ini juga turut menimbulkan strata sosial dalam komunitas ilmuwan. Tiga per empat abad yang lalu, di Amerika Serikat, mereka yang memiliki kepakaran terhadap ilmu-ilmu yang praktis (terutama fisika, kimia, dan koleganya) lebih dianggap ilmiah dibandingkan dengan ilmu sosial yang bahkan masih diperdebatkan keilmiahannya.

Apa yang kita kenal sebagai revolusi saintifik menimbulkan persepsi kolektif bahwa mereka yang belajar "ilmu praktis" lebih tinggi dibandingkan mereka yang belajar "ilmu abstrak". Atau dengan kata lain, yang abstrak dipersepsikan sebagai sesuatu yang tidak memberikan manfaat praktis apa pun.

Sebab itu kita sebagai individu, memiliki persepsi yang berbeda sesuai dengan pengalaman kita pada komunitas yang kita gandrungi. Seperti pengalaman saya di sebuah komunitas tentang bagaimana menanjak jalan hidup atau karier yang dianggap tepat. Sehingga, mereka yang tidak memiliki perencanaan masa depan yang baik adalah sesuatu yang buruk bagi hidup.

Di akhir masa saya sebagai mahasiswa, saya dipaparkan tentang dunia karier yang melulu berkutat pada tiga sektor: sektor publik (pemerintahan), swasta, atau sektor ketiga (seperti NGO). Lalu kami "dicecar" dengan bagaimana membangun karier di antara tiga pilihan itu. Para tokoh yang sudah sukses kemudian diundang berbicara sembari memaparkan pahit-manis pengalaman saat membangun karier.

Alih-alih menfenisikan standar hidup, dalam banyak kasus, persepsi kolektif justru sering menimbulkan bias. Seperti persepsi kolektif dalam komunitas saya soal karier, yang tentu tidak akan sama dengan persepsi pada komunitas lain dengan jenjang usia yang sama.

Persepsi itu tidak akan tepat jika misalnya, kita sampaikan kepada pengamen seusia saya, yang boro-boro memikirkan masa depan karier mereka sendiri: apakah mau jadi PNS, pengusaha, atau aktivis. Kecuali mungkin angan-angan para pengamen itu untuk mendapatkan jalan hidup yang lebih baik. Gawatnya, persepsi kolektif itu sendiri juga sering bias di antara individu-individu yang berada dalam komunitas yang sama.

Begini. Setiap individu punya kekhasannya masing-masing. Ada yang memiliki daya mobilitas, namun ada juga yang tidak memilikinya. Daya mobilitas ini biasanya bergantung pada latar belakang keluarga, tradisi, sampai dengan kemampuan finansial. Saat seseorang memiliki persepsi yang sama dengan persepsi kolektif di mana ia bergaul, dan kenyataannya ia tidak mampu memenuhi ekspektasi dari persepsi itu, justru akan membahayakan dirinya sendiri.

Saya memiliki dugaan bahwa penyakit depresi timbul karena seseorang tidak memiliki daya mobilitas untuk mencapai persepsi kolektif dalam kelompoknya. Kalimat ini terkesan rumit? Baik, sederhananya: masalah akan timbul saat keinginan [persepsi kolektif] tidak sesuai dengan kenyataan [daya mobilitas].

Ada seorang teman yang satu komunitas dengan saya mengeluhkan perjalanan kariernya tidak sesuai dengan persepsi kolektif tentang bagaimana seharusnya mencapai karier sesuai dengan "panduan" di komunitas kami. Sebagian percaya bahwa ini gejala yang disebut-sebut sebagai "krisis seperempat baya" (Quarter Life Crisis), yang padahal, menurut saya juga terlalu digeneralisasi. Misalnya, apakah anak muda berusia 25-an yang kebetulan hanya mampu sekolah sampai SMP, akan mengalami "krisis" seperti anak-anak muda yang baru saja lulus jenjang sarjana?

Menurut saya, jawabannya adalah tidak akan - hanya dugaan semata, dan jika saya keliru mohon diluruskan. Ini karena apa yang dibicarakan di kedua komunitas tersebut akan berbeda. Sekalipun ada akses internet, apa yang dilihat dan apa yang ditafsirkan juga bisa jadi sangat kontras. Alias tidak bisa disamakan.

Pada individu yang gagal menuruti persepsi kolektif komunitasnya, bisa-bisa percaya bahwa mereka berada dalam situasi krisis. Sebab mereka memercayai itu, justru mereka benar-benar membuat mereka berada dalam keadaan krisis.

Seperti, bagaimana keadaan krisis kemudian dialami seorang anak SD karena tidak memiliki telepon pintar seperti teman-teman sebaya di kelasnya. Anak SD yang tidak memiliki alat mutakhir itu, akan merasa terkucilkan. Seolah-seolah ia berada dalam strata yang rendah dan sangat sulit untuk melebur dengan strata sosial di atasnya (yang memiliki telepon pintar).

Saya memohon maaf jika penjelasan di atas terlalu rumit dan berbelit-belit. Satu hal yang ingin saya sampaikan adalah: lepaskanlah persepsi kolektif yang mengungkung diri sendiri. Ibarat katak yang terkungkung dalam tempurung, ia tidak bebas meloncat ke arah mana pun yang ia mau. Sebab itu, yang diperlukan adalah membangun persepsi sendiri secara "inter-persepsi". Atau, kita perlu sekiranya untuk bergaul, bertemu, atau sekedar ngobrol dengan komunitas-komunitas yang sama sekali berbeda dengan komunitas sendiri.

Dari situ, saya pikir, kita memiliki kebebasan sebagai individu untuk menentukan persepsi tanpa harus terikat dengan persepsi kolektif. Hal ini karena mata kita akan lebih terbuka, dan dunia kita lebih luas. Misalnya, jika kita masih percaya bahwa usia seperti saya (20-an) adalah generasi milenial yang konsumtif, dan, terhubung dengan dunia internet, ada baiknya untuk melihat komunitas lain seusia saya yang sama sekali tidak memenuhi ciri khas sebagai bangsa milenial.

Oleh sebab itu, kita harus kembali kepada diri kita sebagai "saya", bukan lagi sebagai "kami".

0 comments:

Posting Komentar