Senin, 24 September 2018

Pengalaman Pertama Saya Berkonsultasi dengan Psikolog

Catatan bagi pembaca: tulisan ini saya bagikan dengan harapan bisa mendorong siapa pun agar tidak ragu lagi untuk konsultasi dengan psikolog.

Beberapa bulan ke belakang ini emosi terasa tidak stabil. Ada ketidakpuasan yang saya rasakan dalam kehidupan yang saya jalani. Masalah ini sangat mengganggu pikiran, bahkan membuat saya sulit fokus, cemas, dan terkadang membuat kepala bagian belakang terasa sakit dan kaku. Sampai titik tertentu saya masih terus berusaha untuk mengatasi sendiri. Saya pun hanya memendam ini karena saya merasa bahwa hanya diri saya sendiri yang mengetahui solusi paling tepat. Namun sialnya tidak ketemu. Perasaan negatif masih terus membayang-bayangi. Padahal buku-buku bacaan yang terkait sudah saya lahap, "terapi" mandiri juga saya lakukan, tapi semuanya tidak bekerja. Sampai akhirnya pada titik kesimpulan: saya harus konsultasi ke tenaga profesional. Tidak lain dan tidak bukan, adalah seorang psikolog.

Sebetulnya bisa dibilang kedatangan saya ke psikolog juga kebetulan, dan tidak saya rencanakan sebelumnya. Latar belakangnya adalah situasi yang semakin saya rasa tidak kondusif, dan semakin mengganggu pikiran saya paling tidak beberapa hari ke belakang. Meskipun hari-hari libur saya isi dengan kegiatan positif, nyatanya saya tidak mampu benar-benar mengalihkan pikiran saya untuk bisa lebih tenang. Tadi malam, pikiran saya berkecamuk. Saya tidur tidak terlalu lelap. Diperkirakan senin pagi saya berada dalam keadaan down yang luar biasa. Dan perkiraan itu tepat. Tadi pagi saya bangun dalam perasaan takut, cemas, dan menyesal yang berlebihan. Barulah hari ini (Senin, 24 September 2018), saya benar-benar memberanikan diri untuk ke psikolog karena sudah tidak tahan dengan keadaan diri sendiri yang semakin buruk. Meskipun tentu saja, keputusan itu justru saya ambil secara mendadak. Yaa, ibaratnya ingin langsung ke IGD aja lah!

Jam 07.30 pagi saya langsung cabut ke Puskesmas Matraman (karena paling dekat dengan kantor saya di Salemba), salah satu tempat yang memiliki layanan psikologi. Pemilihan tempat ini sekelebat saja karena saya ingat bahwa belum lama ini beberapa puskesmas di Jakarta menyediakan jasa konsultasi psikologi dengan harga yang murah. Alias sesuai dengan layanan di puskesmas yang mana jika tidak memakai kartu BPJS kesehatan hanya sebesar 5000 rupiah. Coba saja bandingkan dengan klinik-klinik khusus konsultasi psikologi yang biayanya bisa sampai 100 ribu sampai 200 ribu rupiah per pertemuan dengan durasi kurang lebih satu jam. Oleh sebab itu, saya memutuskan untuk langsung ke Puskesmas saja. Ternyata sakit tidak punya uang masih lebih saya takuti dari pada sakit jiwa, haha.

Sekitar jam 07.45 saya sudah tiba di lokasi. Sayangnya di sana saya gagal bertemu dengan psikolognya. Pertama karena ia sedang dinas luar, dan yang kedua ternyata ia sudah membuat janji pertemuan dengan empat orang pasien di hari yang sama. Di sini saya tidak begitu paham, apa memang iya harus membuat janji dulu untuk puskesmas sekali pun? Petugas loket yang melayani saya di puskesmas Matraman meminta saya untuk kembali lagi besok pagi. Sebetulnya saya sudah agak lemas, karena saya berpikir bahwa jangan-jangan saya tidak bisa bertemu psikolog tanpa membuat janji terlebih dahulu. Padahal saya ingin bisa bertemu di hari itu juga, berhubung lonjakan emosi saya sudah agak darurat.

Setelah itu saya memutuskan untuk langsung ke Puskesmas Kemayoran. Pilihan saya ke puskesmas ini karena sudah tidak mau lagi ambil pusing, dan memang kelihatannya lebih dekat dari Matraman. Saya tiba di tempat sekitar pukul 09.00. Pasiennya sudah membludak, sebagian besarnya adalah lansia yang ingin berobat. Nomor urut pendaftaran saya sudah mencapai 160, dan itu masih bertambah hingga 200 lebih. Jujur saja saya agak waswas; jangan-jangan saya tidak bisa bertemu psikolognya. Saya khawatir ujung-ujungnya saya harus membuat jadwal baru, padahal sudah mengantre cukup panjang. Akhirnya sekitar pukul 10.15 saya dipanggil ke loket pendaftaran.

"Mau ke poli apa mas?", tanya mba-mba petugas loket pendaftaran.

"Emmm, saya mau ke psikolog mba", jawab saya sambil malu-malu.

Lho kok malu-malu? Iya dong, karena nyatanya saya sempat diperhatikan ibu-ibu di loket sebelah yang berdekatan. Mungkin saya dikira punya gangguan jiwa (padahal memang benar). Tapi lagi-lagi tidak saya ambil pusing. Menyelesaikan masalah saat ini adalah prioritas utama.

Setelah itu saya membayar uang sebesar 5000 rupiah di kasir, dan langsung diarahkan ke lantai dua. Jantung saya pun berdetak kencang. Selain sepertinya saya pasien satu-satunya di poli jiwa (karena nomor urut saya pertama), ini adalah pengalaman saya konsultasi masalah kejiwaan dengan seorang profesional. Pikiran saya melayang-layang; apa iya saya bisa disembuhkan? Psikolognya baik atau galak ya? Dia bakal tertawa gak ya dengan masalah remeh-temeh yang saya alami? Di tengah pikiran yang berkecamuk campur deg-degan, saya mengetuk pintu poli yang saya tuju di ujung lorong jalan. Nama unitnya adalah poli jiwa dan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR). Sepertinya poli ini juga menangani kesehatan jiwa remaja yang dituliskan berusia 10 - 19 tahun. Selain itu, saya lihat ada tulisan konsultasi pra-nikah dan keluarga. Memang puskesmas ini cukup lengkap layanan kesehatannya. Saya pun bersyukur karena petugas yang melayani antrean bersikap ramah.

Setelah saya mengetuk pintu, saya diminta menunggu sebentar, dan dipersilakan untuk masuk. Petugas medis di depan saya menanyakan identitas dan tujuan saya berkunjung. Di situ saya cuma bilang ingin konsultasi saja. Kemudian petugas medis itu membawa saya ke ruangan yang tertutup untuk menjaga privasi, hingga dimulailah sesi konsultasi sekitar pukul 10.30.

Kegugupan saya menjadi-jadi. Bahkan saya tidak berani menatap mata lawan bicara saya. Pikiran saya masih melayang-layang tentang apa yang akan terjadi sepanjang konsultasi. Meski saya sudah siapkan catatan yang akan saya konsultasikan, rasanya kegugupan itu tidak bisa dibohongi. Lagipula saya pikir tenaga medis berseragam dinas di depan saya ini adalah seorang dokter jiwa (psikiater) karena saya lihat di kursinya ada sepotong jas putih. "Siapa lagi yang mengenakan jas itu kalau bukan dokter?", pikir saya. Sepertinya petugas medis depan saya ini menangkap kegugupan saya, hingga akhirnya ia duluan yang memperkenalkan diri. Ia langsung menyebutkan bahwa dirinya adalah psikolog, bukan psikiater. Mungkin ia sadar saya salah sangka karena saya memanggilnya "dok", dan ini yang membuat saya agak tenang (entah mengapa saya masih berpikir psikiater itu lebih menakutkan daripada psikolog). Sesi konsultasi pun dimulai.

Saya membuka catatan saya. Di ruangan yang sunyi saya mulai memperkenalkan diri dan menceritakan masalah saya sambil tergugup-gugup. Ini adalah pengalaman pertama saya, dan lagi, saya juga kurang sreg cerita masalah yang sangat personal. Untuk itu saya langsung to the point saja, menyampaikan sesuai dengan layout yang sudah saya buat. Entah mengapa bibir saya makin lancar berbicara, dan tanpa sadar saya membuka segala uneg-uneg yang ada di pikiran. 

Tiba-tiba tangis saya pecah. Saya juga tidak tahu kenapa saya tiba-tiba menangis sampai terisak-isak, dan rasanya itu otomatis saja. Yang saya ingat hanyalah rasa malu setelahnya karena saya menangis di depan orang yang tidak saya kenal. Psikolog yang melayani saya adalah seorang perempuan muda, mungkin usianya hanya beberapa tahun di atas saya. Lengkap sudah, saya menangis di depan perempuan yang tidak saya kenal. Padahal kalau saya ingat-ingat, saya jarang sekali menangis sampai terisak-isak. Dengan melepas konteks saat bayi dan balita, ini adalah ketiga kalinya saya menangis sampai terisak-isak. Pertama saat menahan sakit luar biasa beberapa jam setelah sunat karena reaksi obat biusnya hilang, kedua saat ibu saya meninggal, dan ketiga adalah hari ini, saat konsultasi pertama kali dengan psikolog. Saya benar-benar merasa isin.

Tapi perasaan malu saya kandas begitu saja. Saya tahu yang dihadapan saya adalah seorang profesional, dan memang sepanjang proses konsultasi, psikolog di hadapan saya bersikap secara profesional. Ia kemudian menuntun saya untuk memetakan persoalan, dan mengajak saya untuk berpikir tentang persoalan-persoalan yang sudah saya tuliskan. Dari peta tersebut, ia mengajak saya untuk mengambil jarak antara diri saya dengan persoalan yang saya hadapi. Misalnya saat saya menuliskan bahwa, "saya merasa tidak berguna", ia menyuruh saya untuk menulis, "saya berpikir bahwa saya merasa tidak berguna". Kata "berpikir" di sini maksudnya adalah memberi jarak itu. Agar saya bisa memandang persoalan saya lebih jelas.

Lalu saya diminta untuk menuliskan pembelajaran-pembelajaran apa saja yang sudah didapatkan dalam beberapa bulan ke belakang, agar saya tidak terfokus melulu pada hal yang negatif, tetapi juga pada yang positif. Sayangnya saya tadi masih belum bisa berpikir jernih, dan akhirnya ini jadi PR buat saya. Saya juga diajarkan cara terapi pernafasan untuk relaksasi. Dari terapi ini saya diminta untuk merasakan sensasi udara yang masuk ke paru-paru saya, dan mengeluarkannya secara perlahan. Ia meminta agar saya melakukan ini dua kali sehari, atau saat-saat kepanikan sedang menyerang. Di akhir konsultasi, ia meminta saya untuk kembali lagi. Karena menurutnya pertemuan saya itu hanyalah tahap diagnosis saja, bukan solusi. Menurutnya lagi, belum semua bagian-bagian persoalan yang saya ceritakan dibahas secara tuntas.

Saya pun menanyakan apakah ada obat yang secara instan bisa menyembuhkan penyakit jiwa dengan cepat. Sayangnya tidak ada, menurutnya butuh proses, termasuk dengan apa yang saya alami ini. Ini adalah salah satu bagian yang saya suka. Karena nyatanya memang urusan kejiwaan itu bukan hal yang sepele, apalagi hanya karena gara-gara dianggap kurang bersyukur. Ia bahkan mengapresiasi apa yang sudah saya lakukan, termasuk keberanian saya untuk mencari pertolongan kepada pihak yang tepat. Yang juga saya merasa agak lega bahwa persoalan saya ini sangat normal bagi manusia, dan bisa dialami oleh siapa saja. Dari pertemuan pertama ini yang saya dapati adalah metode terapi untuk menenangkan pikiran dan bagaimana berusaha menempatkan situasi secara obyektif. Setelah itu ia akan menanyakan perkembangannya di pertemuan selanjutnya.

Konsultasi selesai pukul 12.30, artinya dua jam saya di dalam ruangan. Waktu yang cukup lama, namun saya tidak merasakannya. Semua stereotip yang berkecamuk dalam pikiran sebelum konsultasi sirna sudah. Yang saya temukan bukanlah psikolog baik, atau galak, karena, menurut saya yang saya temui adalah psikolog yang profesional. Mungkin seperti dokter, memilih psikolog juga urusan cocok-cocokan. Tapi saya tidak paham mana yang cocok buat saya karena memang baru pertama kali. Lagi pula, saya juga tidak bisa memilih karena saya menggunakan layanan puskesmas. Jadi, yang melayani adalah siapa pun yang kebetulan berdinas di hari itu.

Para psikolog itu memiliki metode yang khas dalam memperlakukan pasiennya. Karena sikap itulah, saya merasa nyaman untuk menceritakan masalah saya. Jika apa yang saya sampaikan melenceng dari persoalan utama, ia meluruskannya dengan rangkaian pertanyaan dan konfirmasi, agar saya pun mempertanyakan kembali masalah yang sedang saya rasakan. Hal ini berguna agar saya mengenal duduk persoalannya.
Setelah konsultasi, saya merasa sedikit lega. Tapi masalah saya belum selesai karena memang dasarnya pertemuan pertama hanyalah tahap assessment

Yang jelas, setelahnya saya merasa lapar dan langsung shalat zhuhur, setelah itu melanglang buana ke alam nyata yang menyebalkan.

Jujur saja, ini adalah pengalaman yang berharga untuk saya. Karena saya akhirnya bisa membawa persoalan saya kepada pihak profesional. Jadi, dasarnya mereka tidak diragukan lagi kemampuannya. Apalagi, untuk menjadi psikolog tidak cukup hanya lulusan S1, masih ada pendidikan pascasarjana yang harus ia tempuh hingga bisa membuka praktik. Kita tidak perlu meragukan mereka yang telah menempa ilmu bertahun-tahun. Inilah alasan paling kuat kenapa saya haqqul yakin untuk berkonsultasi dengan psikolog. Orientasi saya adalah menemukan jalan keluar dari situasi yang membuat saya buntu. Lagi pula, para psikolog ini juga yang mengkampanyekan agar masyarakat tidak ragu-ragu berkonsultasi dengan mereka.

Oleh karena itu, kesimpulan saya dari pengalaman pertama ini adalah:

1. Kesadaran bahwa penyakit mental adalah hal yang serius memang masih minim di masyarakat kita. Terbukti saat saya konsultasi, saya adalah pasien satu-satunya (ini juga diakui oleh petugas puskesmas yang menyatakan bahwa memang tidak banyak pasien ke poli jiwa setiap harinya). Harapan saya tentu saja layanan ini bisa menyebar di setiap puskesmas, dengan catatan bahwa tenaga medis terkait jumlahnya bisa diperbanyak. Mudah-mudahan pemerintah bisa lebih serius dalam memerhatikan tidak hanya sakit fisik saja, melainkan juga sakit jiwa.

2. Tidak perlu gengsi ke psikolog. Sebab yang kita temui adalah seorang profesional. Sangat jauh berbeda dengan sekedar curhat biasa dengan teman. Mereka mampu memetakan masalah kita dengan tepat dan hati-hati. Ibarat kita sakit diare, yang tepat tentu saja ke dokter, bukan ke dukun. Kalau tidak punya uang, bisa ke puskesmas saja. Ini adalah jalan yang diberikan pemerintah untuk masyarakat umum. Mudah-mudahan layanan ini di daerah juga semakin banyak.

3. Jika memang sudah mantap konsultasi, sebaiknya kita siapkan catatan yang ingin kita sampaikan dan apa kondisi yang diinginkan setelahnya. Sepengalaman saya saat konsultasi, psikolog menanyakan apa kondisi yang saya harapkan setelah saya berobat. Jika kita masih kebingungan, sebetulnya tidak terlalu masalah karena nanti psikolog akan membantu mengarahkan. Catatan yang kita buat sebelum konsultasi akan memudahkan kita untuk berkonsultasi secara efektif. Istilahnya supaya curhat kita bisa on the track.

Nah, itu dia sedikit pengalaman saya. Untuk berikutnya, mudah-mudahan bisa saya ceritakan lagi. Karena saya masih harus menindaklanjuti ke tahap konsultasi selanjutnya.

Salam,
Kemayoran, 24 September 2018

1 komentar:

  1. hi mas grady ndak sengaja nyasar ke web nya mas grady...
    saya juga pertama2 konsultasi ke psikolog seperti mas grady ada rasa takut dan cemas.
    semangat mas garady !

    BalasHapus