Rabu, 03 Oktober 2018

Catatan Kedua Saya Berkonsultasi dengan Psikolog

Ini catatan kedua saya saat berkonsultasi dengan psikolog. Dibanding pertemuan pertama, pertemuan kali ini pembahasannya lebih spesifik. Kira-kira begini ceritanya.

Siang itu saya datang dalam keadaan yang berbeda dari minggu lalu. Tanpa rasa tegang, dan juga lebih rileks. Lagi pula sebelum pertemuan kedua ini, saya sudah mengontak psikolog yang menangani saya sebelumnya bahwa saya akan datang hari itu. Tentu saja tetap mengikuti prosedur layanan puskesmas: mengambil nomor pendaftaran, mengantre, dan membayar uang administrasi. Setelah itu saya langsung bertemu dengan psikolog berseragam dinas DKI Jakarta sebagai pasien kedua. Ya, kali ini saya tidak sendiri, ada orang lain yang berkunjung sebelum saya!

Dalam ruangan yang dinginnya begitu menusuk, saya membuka catatan. Lalu menyampaikan perkembangan saya setelah satu minggu sejak konsultasi pertama. "Mba, sekarang saya lebih baik dari pertemuan pertama", ungkap saya dengan nada sedikit optimis, "tapi, rasanya kok saya merasa stagnan ya? Kayak gak ada perkembangan apa pun dalam diri saya". Psikolog depan saya tidak langsung menjawab. Ia hanya mengeluarkan selembar kertas berisi daftar pertanyaan yang cukup saya jawab "Iya", atau, "tidak". Ini mengingatkan saya pada permainan "yes, or, no" yang harus dijawab dengan jujur. Bedanya kali ini saya tidak harus menjawabnya dengan spontan, tidak ada pertanyaan jebakan, dan tidak ada hadiah satu juta rupiah dipotong pajak seperti kuis Luwak White Coffee yang cukup dijawab dengan "kopi nikmat, gak bikin kembung". Malah setiap pertanyaan saya jawab dengan penjelasan tambahan. Contohnya seperti ini:

Pertanyaan 1: "Apakah Anda merasa kurang nafsu makan?"

Jawaban 1: "Wah, saya malah banyak makan. Cuma memang badan saya aja yang kerempeng"

Pertanyaan 2: "Apakah pencernaan Anda terganggu?"

Jawaban 2: "Alhamdulillah pencernaan saya berfungsi dengan baik. Input yang banyak harus diimbangi dengan output. Bahkan saya terkadang tersiksa akibat kebelet karena KRL yang tertahan lama akibat sinyal masuk stasiun manggarai. Haha. (Bagian terakhir tentu saja tidak saya sebutkan)"

Beberapa pertanyaan lain seperti apakah kurang tidur, ada keluhan fisik, dst, sebagian besar saya jawab lengkap dengan penjelasan. Padahal yang diminta hanya jawaban "ya" dan "tidak" saja. Ini malah saya nyerocos lengkap dengan keterangan. Seolah ingin mengekspresikan seluruh pokok-pokok pikiran saya. Padahal sih ujung-ujungnya yang ditulis hanya tanda checklist di antara kolom "iya" dan "tidak". Dasar manusia edan yang haus pengakuan. Huh!

Oke, lanjut. Menyambung di pertanyaan saya pertama, psikolog itu kemudian balik bertanya pada saya. "Jadi, sebenarnya mas ini berharap kondisi seperti apa setelah konsultasi?" Nada tanyanya terdengar lebih tegas. Ini adalah pertanyaan yang sebetulnya sudah diajukan sebelumnya, sekaligus secara tidak langsung menjadi jawaban atas pertanyaan saya. Bisa dibilang ini adalah pertanyaan kunci dari sesi kali ini. Tapi bablas saja saya lupa. Bahkan daftar catatan yang saya buat hanya berisi poin-poin masalah, tanpa memproyeksikan apa yang akan saya lakukan setelahnya. Syahdan, pertanyaan itu membuat saya berpikir keras. Kemudian saya jawab, "saya hanya ingin merasa nyaman dengan situasi yang saya hadapi saat ini". Dan dimulailah sesi cas-cis-cus di antara kami guna membahas kondisi yang saya harapkan setelahnya.

Kalau diruntutkan, berikut adalah masukan yang saya dapatkan dari pertemuan kedua. Catatan ini semata-mata adalah refleksi dari konsultasi panjang saya, dan tidak menggambarkan dialog yang sebenarnya.

Begini, kanda. Dalam hidup, manusia memang dipenuhi dengan ragam ekspektasi. Sialnya tidak melulu ekspektasi selalu terpenuhi. Saat keinginan tidak selaras dengan kenyataan, di situlah masalah muncul. Sebagian ada yang legowo, tapi banyak juga yang tidak menerimanya. Saat hati dan pikiran menolak kenyataan, yang kemudian muncul adalah masalah yang semakin bertambah. Bukan hanya merembet ke problem fisik, namun juga beban psikis yang terus larut dalam jurang ketidakberdayaan. Pikiran berkutat pada "menyesali masa lalu, mencemaskan masa depan". Ini adalah masalah yang sangat serius, meskipun secara kasat mata terlihat sepele. Mengatasinya pun cukup sulit, namun bukan berarti tidak ada jalan keluarnya sama sekali.

Selain itu, ada satu masalah lain yang muncul di dalamnya: sikap manusia yang justru menikmati ketidakberdayaannya. Alih-alih ingin menghilangkan kesedihan, beberapa orang justru "menikmati" larutan kesedihannya sendiri. Realitas paradoks ini saya sadari dari pertanyaan psikolog yang melayani saya. Jadi apa kondisi yang Anda harapkan setelah konsultasi? Dan saya sadar bahwa saya masuk dalam situasi ini. Entah kenapa beberapa kali pikiran saya menyangkal pernyataan psikolog, dengan mengajukan pernyataan balik seperti, "kok susah banget ya?", atau, "kok gak berubah ya?". Mengeluh, dan terus mengeluh. Tapi kemudian saya sadar, bahwa ternyata saya sudah menciptakan tembok saya sendiri. Ibarat saya tenggelam, justru saya mengabaikan pelampung yang dilemparkan ke arah saya. Oleh sebab itu, langkah pertama yang harus kita lakukan adalah meruntuhkan dinding "kenikmatan" semu itu, dan memulai dengan tekad serta kesadaran penuh bahwa saya memang harus berubah. Mengapa ini penting? Karena sikap ini sangat menentukan apakah secara psikologis, kita bisa sehat kembali atau tidak. Jika tidak, sia-sia usaha untuk sembuh, meski sudah konsultasi berkali-kali sekali pun.

Inilah jalan ninja yang sesungguhnya. Dan saya memulai jalan ninja saya dengan "mengalahkan" paradoks dalam diri saya sendiri.

Setelah ada keyakinan kuat untuk berubah, barulah kita menapaki langkah guna mencapai goals yang diharapkan. Karena tujuan saya adalah menemukan kenyamaan dalam menghadapi situasi saat ini, ada dua kemungkinan yang bisa saya lakukan. Pertama, adalah mengubah situasi itu sendiri, dan kedua, mengubah cara pandang kita terhadap situasi. Yang pertama jelas tidak bisa, oleh sebab itu, jangan berharap pada pilihan ini. Hal yang sangat bisa dilakukan adalah kemungkinan yang kedua, yaitu mengubah cara pandang saya. Nah, ini unik memang. Bukan hanya cara mengubahnya saja yang tidak instan, melainkan juga dibutuhkan pelatihan serius untuk terbiasa dengan sudut pandang yang tidak biasa. Kira-kira seperti, emm, jalan tasawuf guna mencapai derajat makruf amin, eh bukan, maksud saya makrifat. Caranya adalah dengan apa yang disebut (dalam istilah keren) sebagai "mindfulness".

Jadi, opo iki mindfulness? Mindfulness sederhananya adalah kondisi diri yang berfokus pada diri kita berada (here), dan diri kita saat ini (now). Jadi, misalkan saya berada di puskesmas, saya tidak perlu berpikir bahwa saya berada di Jurassic World, apalagi sedang dikejar-kejar dinosaurus galak. Kalau kita berpikir seperti itu, mungkin Zakir Naik akan berkata, "you are not here, brother". Kemudian jika kita menggunakan perspektif here and now, kita tidak perlu berpikir tentang kebodohan kita di masa lalu, atau pun mencemaskan kehidupan di masa depan. Yang ada adalah diri kita di sini, dan diri kita saat ini! Kita harus memfokuskan diri pada aktivitas yang memang sedang kita lakukan. Katakanlah makan, jalan, bekerja, membersihkan rumah, dan aktivitas harian lainnya, harus dimaknai saat itu juga. Seperti saat makan, kita fokuskan pada makanan yang sedang kita makan. Kita juga perlu untuk menikmati makanan itu secara perlahan, merasakan sensasi nasi dan lauk yang dikunyah, ditelan, dan masuk ke lambung. Begitu pun saat jalan, kita sejatinya harus benar-benar menikmati aktivitas jalan kita.


Saya pikir ini rumit. Tapi pada intinya adalah, kita bisa menikmati segala aktivitas sederhana yang kita lakukan. Karena untuk menikmati aktivitas yang besar, harus dimulai dengan aktivitas sederhana yang biasa kita lakukan sehari-hari. Cara menikmatinya ya fokuskan diri pada aktivitas itu, bukan ke tempat lain, masa lalu, atau pun masa depan. Guna melatih mindfulness ini, ada teknik relaksasi otot dan pernapasan yang sekiranya bisa kita lakukan. Misalnya, kita meregangkan jari-jari sembari menekan badan dengan tangan, kemudian secara perlahan dilemaskan. Atau yang umum kita lakukan adalah relaksasi pernapasan, dengan memasukkan udara ke paru-paru, menahannya sejenak, lalu menghembuskannya perlahan. Memang teknik relaksasi ini jika dilakukan secara tepat, bisa membuat kita tenang. Tapi sebetulnya tenang itu sendiri hanyalah efek samping. Utamanya adalah pelatihan itu sendiri untuk fokus pada apa yang saya sebut sebagai "here and now" di atas. Lalu apa yang kita fokuskan saat relaksasi itu? Jawabannya adalah sensasi. Ya, sensasi saat otot tegang yang kemudian di lemaskan perlahan, atau udara yang berputar-putar dalam dada. Bisa jadi pikiran kita melayang ke mana-mana, tapi itu harus segera dikembalikan dengan fokus pada sensasi di tubuh. Sulit fokus memang wajar, oleh sebab itu kita harus sering-sering melatihnya. Diikuti dengan merasakan sensasi kenikmatan pada hal-hal kecil yang biasa kita lakukan. Catatan penting bahwa sensasi ini adalah kenyataan obyektif, sedangkan pikiran kita sangat subyektif. Seperti saat kaki kepentok meja, rasa sakit dan ngilu adalah kenyataan obyektifnya, ya karena memang nyatanya sakit, bukan?

Ingat sekali lagi! Apa yang kita pikirkan hanyalah persepsi terhadap realitas, bukan realitas itu sendiri. Karena masalahnya kita sudah membangun judge terlebih dahulu, padahal belum tentu terjadi. Atau kalau pun terjadi, nyatanya pikiran kita tidak mampu sepenuhnya menggambarkan realitas itu sendiri. Lantas, apakah saat kepala Anda kejedot pintu yang pasti sakitnya minta ampun, lalu Anda berpikir bahwa kepala anda sedang dipijit, ya kan enggak gitu maliih!

O ya, karena saya seorang muslim, saya berpikir bahwa aktivitas shalat juga bisa jadi cara ampuh untuk melatih mindfulness ini. Dalam shalat, kita diminta untuk khusyuk. Caranya adalah dengan fokus pada bacaan dalam shalat (yang isinya adalah doa-doa), dan merasakan seolah-olah Tuhan berada di depan kita. Meskipun tentu saja sulit, lagi-lagi bukan berarti tidak bisa. Apalagi dalam Al-Quran disebut bahwa orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya digolongkan sebagai orang yang beruntung. Karena intinya dalam shalat kita berfokus pada realitas obyektifnya. Dan kita meyakini bahwa Tuhan adalah kenyataan obyektif itu, oleh karenanya Ia harus kita sembah sepenuh hati.

Nah, kawan-kawan yang budiman, tertarik untuk mencicipi mindfulness ini? Kalau saya boleh meminjam nada bicara Zakir Naik lagi, "What are you waiting for, brother?"

0 comments:

Posting Komentar