Rabu, 24 Oktober 2018

Filosofi Qonaah

Qonaah itu sederhananya merasa cukup. Definisi lebih panjangnya adalah merasa ridho dengan segala ketetapan Tuhan atas dirinya. Dalam ajaran agama, sifat qonaah ini sangat diperlukan. Sebab, ia menjadi "rem" bagi hawa nafsu manusia yang merasa tidak pernah puas. Sudah kaya, ingin tambah kaya. Sudah sangat kaya, lalu ingin dipandang masyarakat, lalu iseng-iseng ikut pemilu, bikin partai, meskipun ujung-ujungnya kalah juga. Boro-boro ikut pemilu, tahap verifikasi KPU saja tidak lolos.

Kadang-kadang, sifat qonaah ini agak menyerempet sama "pasrah" dengan konotasi yang negatif. Problemnya, jika kita membiarkan diri kita pasrah begitu saja, yang muncul justru sikap pasif. Alias menganggap tidak perlu berusaha karena sudah merasa cukup. Kalau sudah cukup, apa lagi yang mau dicari? Nah disini jadi masalah. Karena yang muncul bukan qonaah, tapi malas.

Jadi bagaimana dong?

Setelah saya pikir dalam-dalam, sifat qonaah itu harus dimunculkan dalam mindset yang benar. Kita harus memulainya dengan sudut pandang yang tepat.

Misalkan, Anda adalah seorang pedagang. Sudut pandang Anda saat berdagang adalah menambah manfaat, menyebarkan nilai positif. Kemudian dari sudut pandang ini, Anda harus meningkatkan value bisnis perdagangan Anda. Digarap secara serius, jaringan meluas, bisnis Anda pun melejit. Lho, jadi di mana qonaah-nya? Qonaah-nya terletak di rasa cukup Anda terhadap segala penderitaan yang harus Anda ambil sebagai resiko perjuangan dalam berdagang. Anda harus merasa cukup saat terancam bangkrut, kehabisan modal, bahkan Anda tidak tahu besok mau makan apa. Disinilah qonaah berperan. Anda harus merasa cukup terhadap sedikitnya "kenikmatan" duniawi yang Anda rasakan di tengah cita-cita besar Anda dalam menyebarkan idealisme bisnis Anda. Tentu saja, ini tidak akan berlaku jika sudut pandang bisnis Anda adalah mengejar kekayaan dengan menumpuk harta.

Contoh lain, katakanlah Anda adalah seorang pegawai kelurahan. Sudut pandangnya juga harus dimulai dari kebermanfaatan publik. Dari sini Anda bisa membayangkan jika optimal dalam bekerja, berapa banyak kepala keluarga yang Anda bantu agar mereka mudah dalam memperoleh KTP, pindah alamat, dan status kependudukan lainnya. Dan Anda tahu, bahwa Anda telah menjadi bagian dari solusi atas masalah kewarganegaraan yang biasanya dimulai dari hal remeh-temeh birokratis di tingkat kelurahan.

Qonaahnya di mana? Anda harus menanggung resiko kelelahan dalam memberikan pelayanan publik, merasa cukup dengan komplain masyarakat, dan yang penting Anda merasa cukup dengan pendapatan bulanan Anda. Karena, jika sudut pandang Anda ingin hidup sejahtera dari pekerjaan tersebut, yang ada justru Anda menjadi bagian dari masalah birokrasi hari ini; korup dan menyebalkan.

Itulah bagi saya, qonaah adalah rasa cukup terhadap penderitaan duniawi yang dialami. Penderitaan yang muncul sebagai resiko berjuang. Anda merasa cukup dengan menaiki KRL jabodetabek pada jam-jam sibuk, meskipun kaki pegal berdiri berjam-jam. Tapi Anda sadar, dibalik kaki pegal yang Anda tanggung itu ada tujuan yang jauh lebih mulia dari sekedar pergi ke kantor dan beraktivitas sehari-hari.

Nah, begitu pula dengan buruh-buruh yang menuntut upah naik. Menuntut upah naik bukan berarti mereka maruk. Sudut pandangnya dulu yang harus kita ubah. Coba bayangkan, dibalik perjuangan itu ada nilai yang jauh lebih mulia; yaitu kehidupan pekerja yang lebih layak. Buruh yang berjuang bisa jadi jauh lebih menderita dari buruh-buruh lain; waktunya habis untuk kegiatan serikatnya, belum lagi terancam dipecat, dibully, dst.

Itulah perjuangan. Jika qonaah adalah ridho terhadap ketetapan-Nya atas diri kita. Maka, qonaah yang tepat adalah ridho terhadap penderitaan yang dialami karena sedang berjuang memenuhi idealisme demi maslahat umum yang lebih besar.


0 comments:

Posting Komentar