Senin, 19 November 2018

Konteks yang Membentuk Diri Kita

Andai saja kita mau lebih cermat, kita akan temukan ragam peristiwa yang muncul di sekitar kita. Sekali pun itu adalah peristiwa biasa yang kita temui sehari-hari. Pekerja kantoran yang berjalan terburu-buru, tukang ojek yang sedang ngopi di pinggir jalan, anak-anak sekolah di bus kota, dst. Lagi-lagi karena kita menganggapnya biasa, justru membuat kita abai akan konteks dalam setiap peristiwa tersebut. Termasuk apa yang terjadi dalam diri kita. Semuanya tidak hadir secara serta-merta.

Misalnya begini. Pandangan diri kita sendiri terhadap dunia saat ini adalah hasil penempaan panjang yang terjadi dalam garis historis. Proses historis itu tidak akan berhenti hingga kita meninggal dunia. Apa yang kita pikirkan saat ini akan berbeda dari apa yang kita pikirkan 10 tahun yang lalu, dan mungkin akan berbeda lagi dalam 10 tahun yang akan datang.

Katakanlah usia saat ini adalah seperti saya, 25 tahun. 10 tahun yang lalu saya hanyalah seorang anak SMA kelas 1 yang baru mengenal cinta. Tapi kini, saya adalah pekerja kantoran dengan gaji yang ngepas. Dua fase kehidupan saya tentu akan berbeda dalam memandang dunia. Misalnya tentang kesuksesan dalam hidup. 10 tahun yang lalu saya memandang kesuksesan jika saya meraih peringkat pertama di kelas, meraih nilai tinggi, atau mendapat pujian dari guru. Tapi kini, setelah 10 tahun berlalu dalam rangkaian peristiwa, saya memandang kesuksesan saat saya meraih gelar doktor, memiliki keluarga bahagia, rumah, dan harta yang mencukupi.

Kalau diingat-ingat, momentum penting yang membentuk persepsi saya terhadap dunia adalah sesaat saya memasuki masa-masa kelulusan. Komunitas "sialan" yang saya gandrungi telah mendogmatisasi saya agar memiliki perencanaan yang matang di mulai setelah kelulusan, dan mengejar karier untuk menjadi A, B, atau C sebagaimana pilihan yang mereka paparkan. Kemudian para senior dari komunitas "sialan" itu berkhotbah tentang begini dan begitu, tidak lupa dengan bumbu-bumbu persistensi, komitmen, dan kerja keras. Secara visual, makna keberhasilan itu mereka munculkan dengan menghadirkan para tokoh yang dianggap telah "sukses" berkarier di bidangnya masing-masing.

Dampaknya? Ya, seperti saya di usia 25 tahun ini. Saat saya sadar bahwa karier pertama pasca kampus tidak sesuai dengan arahan si komunitas "sialan" itu, membuat saya justru mengutuk keputusan yang saya ambil sendiri. Apalagi jika membayangkan standar hidup yang ketat, kemudian dibandingkan dengan diri sendiri yang lebih banyak habis waktu untuk ngopi, bengong, dan menonton anime, membuat saya merasa semakin jauh dari gaya hidup ideal yang secara berulang kali dikhotbahkan ke telinga saya.

Akhirnya, sampai pada satu titik, di mana saya harus menyadari bahwa pandangan saya terhadap dunia adalah subyektif. Apa yang saya pandang ideal dalam hidup nyatanya tidak benar-benar menggambarkan yang ideal itu sendiri. Dan saya sadar bahwa subyektifitas telah memenuhi alam pikiran saya hingga ia penuh sesak, dan rasanya sulit sekali untuk mengusirnya.

Kalau kita bandingkan dengan kehidupan orang yang benar-benar berbeda dengan kita, katakanlah pedagang cilok di pinggir jalan. Apakah mereka akan berpikir bahwa karier mereka akan menjadi A, B, atau C seperti yang saya pikirkan? Saya rasa tidak, meski mungkin ada beberapa yang iya. Beberapa tukang cilok dan gorengan yang saya temui, saat saya tanya mengenai definisi kesuksesan, mereka menjawab yang penting bisa makan untuk keluarga, bisa sehat, dan bisa menyekolahkan anak dengan baik. Bahkan, dalam sebuah buku yang saya baca tentang kehidupan di bantaran kali, untuk bisa dapat makanan yang cukup di hari itu saja sudah membuat mereka merasa puas. Yang kalau kita bayangkan, kondisi kita saat ini adalah apa yang mereka bayangkan tentang kesuksesan.

Inilah yang saya maksud mengenai: Konteks yang Membentuk Diri Kita. Atau dalam filsafat Hegel, diri kita adalah proses panjang yang bergerak secara dialektis menuju tatanan pikiran yang mapan. Kalau anggapan Hegel benar, itu artinya saat ini kita akan bergerak kepada pola pikir yang mapan itu. Mungkin juga sampai kita mati, pola pikir yang mapan itu tidak akan pernah kita dapatkan. Namun, ide Hegel tentang dialektika ini menunjukkan dengan gamblang bahwa pandangan kita tidak lepas dari konteks. Saat kita menandang X, kemudian muncul peristiwa Y sebagai antitesis pandangan kita, maka kemudian muncul Z sebagai antitesis baru (antitesisnya antitesis). Kemudian begitu seterusnya.

Maka kita tidak boleh abai terhadap konteks. Oleh sebab itu pula, kita tidak boleh menjadi makhluk ahistoris. Kita harus menerima kenyataan bahwa setiap individu memiliki garis historisnya masing-masing. Yang tidak boleh kita lakukan adalah menuduh individu lain dengan anggapan dungu, bodoh, atau terbelakang karena ia tidak memiliki pandangan yang sama dengan kita. Atau kita juga tidak layak untuk merendahkan diri sendiri hanya karena memiliki pandangan hidup yang berbeda dengan orang lain. Meski saya tahu, melepaskan dari belenggu para bajingan itu sangat sulit. Tapi mau tidak mau harus kita upayakan.

Demikianlah semesta. Semuanya berdiri di garis historisnya masing-masing. 

0 comments:

Posting Komentar