Sabtu, 16 Maret 2019

Rommy dan Racun Kekuasaan

Ketua umum PPP, Muhammad Romahurmuziy (Rommy) ditangkap KPK. Rommy kini ditetapkan sebagai tersangka suap seleksi pengisian jabatan pimpinan tinggi di Kementerian Agama (Kemenag). Penangkapan Rommy ini menambah catatan kelam bagi PPP setelah Suryadharma Ali, Ketua umum PPP sebelumnya ditangkap dengan tuduhan korupsi dana haji. Tapi saya tidak ingin membahas partai berlambang Ka’bah ini. Saya hanya ingin menyoroti bahwa kasus Rommy adalah contoh bagaimana kekuasaan politik dapat memproduksi ‘racun’.

Racun itu bernama klientelisme, sebuah relasi personal di antara dua atau lebih individu yang memiliki resources untuk kemudian saling dipertukarkan. Kuncinya adalah kepemilikan resources, di mana resources ini dapat berupa uang, barang, lisensi, maupun akses ke jabatan publik.

Jika kita ilustrasikan dalam kasus Rommy kira-kira seperti ini: Rommy memiliki akses kekuasaan terhadap kementerian agama dengan asumsi karena seorang kader PPP saat ini menjabat sebagai menteri agama. “Akses kekuasaan” ini adalah resource yang dimiliki Rommy Sebaliknya, dua orang tersangka lainnya yang menyuap Rommy memiliki resource berupa uang. Secara mutualis, kedua pihak saling bertukar resources.

Rommy memberikan aksesnya dengan timbal balik mendapatkan keuntungan berupa uang. Sederhananya, ini adalah perdagangan. Hanya saja yang diperdagangkan adalah pengaruh (trading in influence).

Sebetulnya dalam literatur ilmiah, klientelisme adalah pola relasi personal yang cukup langgeng apabila resources terjamin ada. Sebab, resources adalah perekat yang penting untuk menjaga keberlangsungan relasi. Kita belum bisa menyimpulkan apakah kasus Rommy ini dapat masuk dalam konteks klientelisme dengan syarat tersebut. Relasi Rommy dan dua orang penyuapnya sejauh ini belum terjabarkan lebih detil. Namun, yang harus kita sadari bahwa, pola klientelisme ini adalah hal yang lazim dalam struktur politik di Indonesia.

Mengutip Allen Hicken (2011) dalam jurnal Annual Review of Political Sciences, sifat klientelisme yang sangat personal dan tertutup ini adalah sumber korupsi yang sangat besar. Klientelisme tidak melulu menimbulkan korupsi, tapi ia adalah pintu gerbang yang besar bagi praktik korup. Klientelisme adalah racun bagi kekuasaan di negara demokratis sekalipun.

Banyak kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik terindikasi dari relasi-relasi klientelistik sebagaimana terjabar di atas. Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (2017) dalam artikel bertajuk, “Politisi Korup dan Operasi Tangkap Tangan”, sepanjang 2005 s.d. 2016 sebanyak 87 politisi di DPR dan DPRD ditangkap KPK tersebab kasus suap-menyuap. Jika ditelusuri, kasus suap ini berasal dari relasi personal para politisi dengan pihak ketiga (biasanya disebut broker), untuk mengutip keuntungan dari berbagai macam proyek pemerintah. Nah, relasi para politisi dengan broker ini bisa dikatakan relasi klientelistik, dan biasanya mereka memang saling “berteman” satu sama lain dalam kurun waktu yang lama.

Contoh praktik klientelistik dalam konteks pemilu adalah money politics. Kandidat sebagai patron, biasanya “memelihara” beberapa kelompok/organisasi di masyarakat sebagai kliennya dengan memberikannya uang atau akses jabatan (apabila si kandidat menang) demi menjaga kesetiaan. Kesetiaan bisa berupa dukungan elektoral, bahkan bisa menjadi mesin politik bagi kandidat untuk menjalankan kampanye secara masif.

Dalam banyak hal, kandidat incumbent sangat diuntungkan dengan posisinya di pemerintahan. Tren relasi klientelistik yang terjadi di Indonesia, terutama di pilkada, adalah pemberian dana bantuan sosial (bansos) kepada kelompok masyarakat yang memang sedang dijaga kesetiaannya. Perlu diingat bahwa dana bansos bersumber dari APBD.

Masalahnya justru anggaran bansos ini trennya mengalami peningkatan di daerah di tahun-tahun pemilu. Misalnya, temuan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) di 42 daerah yang menyelenggarakan pilkada 2008, terdapat 18 daerah yang anggaran bansosnya meningkat pesat. Dengan adanya temuan ini, apalagi kalau bukan untuk kepentingan pemenangan di pemilu?

Beberapa kalangan menyebut korupsi dan relasi klientelisme terjadi karena biaya politik yang mahal. Untuk menang dan mempertahankan kekuasaan, mau tidak mau, para kandidat harus mencari sumber finansial yang besar melalui relasi yang dimilikinya. Semakin besar relasi “pertemanan”, semakin besar peluang untuk menggalang dana, dan semakin besar pula peluang korupsinya. 

Jadi, bisa dibilang ini seperti lingkaran setan. Selama kekuasaan terus dikejar dan dipertahankan, ”racun” tersebut akan semakin muncul secara masif.

0 comments:

Posting Komentar