Selasa, 26 Maret 2019

Semua Bisa Jadi Pengamat

Di media sosial, terutama WA dan FB, sering saya temukan ragam artikel/tulisan panjang yang berisi analisis tentang suatu peristiwa. Intensitasnya bahkan lebih sering menjelang gelaran pemilu 2019. Tentu yang sudah pasti, di setiap tulisan tersebut tertera nama penulis yang diikuti dengan label “kepakarannya” sebagai pengamat/pemerhati. Kalau pembahasan seputar copras-capres, ya berarti pengamat politik. Atau yang belum lama ini soal perilaku masyarakat Jakarta saat mencicipi uji coba MRT, muncul beberapa tulisan yang penulisnya mengklaim diri sebagai pengamat transportasi, atau bahkan pengamat perilaku masyarakat.

Beberapa di antaranya bahkan ada yang berani mengklaim diri sebagai analis. Misalnya, saya lihat beberapa tulisan mengenai peristiwa di Timur Tengah ditulis oleh penulis yang mengklaim diri sebagai analis politik timur tengah, atau ada juga yang mengklaim diri sebagai analis politik global. Klaim ini akan semakin mantap apabila konten tulisan dibuat seolah-olah ilmiah; mencoba untuk menghubungkan sebab-akibat suatu peristiwa dengan memasukkan beberapa variabel yang dianggap relevan.

Andai kita lacak rekam jejak penulis, latar belakang pendidikan sama sekali tidak berhubungan dengan klaim yang ia lekatkan dalam tulisan. Seperti contoh yang saya sebut di atas, menyebut diri sebagai analis politik global, namun latar belakang pendidikan adalah teknik. Ada juga yang menyebut diri sebagai ahli geopolitik, padahal latar belakangnya adalah syariah. Yaa mirip-mirip dengan orang yang menyebut diri sebagai ustaz dan banyak berkomentar tentang fiqih, namun ternyata tidak pernah belajar serius mengenai fiqih.

Pokoknya yang penting, isi tulisan atau komentarnya terkesan ilmiah dan berbobot.

Seharusnya, mereka yang disebut pengamat, atau pemerhati, bahkan analis telah menempuh proses belajar yang panjang dan tidak mudah. Title kepakaran itu akan bergantung pada seberapa banyak riset yang telah ia lakukan sesuai dengan bidang kepakarannya. Bahkan riset yang dilakukan telah melalui proses yang panjang sampai bertahun-tahun. Seperti penelitian mengenai kebencanaan di Indonesia, sepengetahuan saya para ahli telah melewati proses riset bertahun-tahun. Riset yang sudah selesai pun masih diuji lagi dengan riset selanjutnya, dan seterusnya, dan seterusnya.

Tapi masalahnya justru analisis dari pengamat karbitan lebih sering mendominasi wacana. Beberapa stasiun TV pun banyak memanggil kalangan yang sebetulnya tidak memiliki otoritas ilmiah pada bidang yang sedang dikomentari. Para pemirsa pun hanya mengangguk-angguk, meng-iya-kan setiap komentar dan tulisan yang mengalir lincah; seolah-olah peristiwa X sudah pasti dipengaruhi oleh variabel Z dengan kalimat-kalimat yang meyakinkan.

Ya, saya pun sering mengklaim diri saya sendiri sebagai pengamat politik, padahal pengalaman riset yang saya lakukan hanya sebatas skripsi, itu pun agak dipaksakan untuk maju sidang karena waktu studi saya yang hampir offside. Dan ya, sekarang saya menjadi pengamat karbitan. Dari tulisan ini, saya menyebut diri saya sebagai pengamat para pengamat. Hehe.

Ditulis oleh: Grady Nagara
Pengamatnya para pengamat

0 comments:

Posting Komentar