Sabtu, 30 Maret 2019

Tuhan.. Engkau Maha Mengetahui apa yang Aku Inginkan...

Suatu ketika saya menghubungi seorang teman yang akan melaksanakan ibadah umrah. "Bro, kan elu mau umrah, gue titip doa ya", pesan saya melalui Whatsapp kepadanya. Ia pun hanya menjawab: "Siap!". Maka dari itu saya pun menuliskan daftar hajat hidup di atas kertas, dan menyerahkan kepada teman tersebut, agar nantinya ia panjatkan doa sesampainya di tanah suci.

Selang beberapa pekan setelahnya, ia mendarat kembali ke Jakarta. Dengan sigap saya menodong pertanyaan ketika bersua kembali, "Bro, gimana? daftar keinginan gue udah didoain di sana gak?".

"Duh, sorry nih bro, begini, yang nitip doa ke gue ternyata lumayan banyak banget".

"Jadilah pas gue di sana, gue cuma berdoa begini: Ya Allah, Engkau Maha Mengetahui apa yang ada di dunia ini, termasuk pada catatan yang aku pegang ini, oleh sebab itu, Ya Allah, hamba mohon agar Engkau mengabulkan daftar keinginan pada catatan ini, Ya Allah"

"Gitu ya bro?", respons saya sembari terheran-heran.

"Iya, bro", jawaban singkat darinya.

---

Sejatinya Tuhan memang Maha Mengetahui segala sesuatu. Termasuk pengetahuan-Nya terhadap isi hati setiap manusia, tanpa terkecuali. Jadi sebenarnya wajar saja apabila teman saya meminta Tuhan agar "melihat sendiri" isi catatan untuk mengetahui hajat mana saja yang hendak dikabulkan.

Tanpa kita sadari, terkadang dalam keseharian kita juga sering seperti itu. Dengan dalih bahwa Tuhan Maha Mengetahui, lantas kita menyingkat isi doa dengan satu kalimat: "Ya Allah, Engkau Maha Mengetahui atas apa yang aku inginkan, maka kabulkanlah keinginan hamba". Saya tidak tahu dengan kalian, tapi dulu saya beberapa kali pernah seperti itu. Saking banyaknya yang diinginkan, agar ringkas, jadilah kalimat itu yang muncul saat berdoa.

Dalam kurun waktu belakangan ini saya sadar, bahwa konsep yang menyingkat kalimat doa itu salah! Karena sejatinya, esensi berdoa bukan hanya memanjatkan keinginan, melainkan juga saluran komunikasi antara seorang hamba dengan Tuhannya. Dengan kata lain, kita "berdialog" langsung dengan Tuhan; melaporkan kondisi diri sendiri, meminta ampunan dan petunjuk, dan termasuk meminta agar Tuhan mengabulkan segala hajat hidup kita.

Oleh sebab itu, berdoa harus diiringi dengan puji-pujian kepada Tuhan, dan mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan.

Seorang kiai di sebuah kampung pernah menasihati saya. "Dek, kalau kamu menghadap Allah, posisikan dirimu yang serendah-rendahnya, lalu, tinggikan Tuhanmu setinggi-tingginya". Beliau pun melanjutkan nasihatnya: "Lepaskan baju kesombonganmu. Berdialoglah dengan perlahan dan lirih, sembari mengisi dengan perasaan penuh harap. Bayangkan bahwa kamu tidak akan kuat dengan azab-Nya yang maha pedih, dan bayangkan pula betapa indah rahmat-Nya".

"Lakukan itu setiap waktu, secara rutin. Sediakanlah waktu khusus untuk kamu berdoa, dengan demikian kamu bisa menghadap Tuhan dengan adab yang benar, berpakaian suci, dan dalam keadaan tubuh yang suci".

"Dan itu adalah shalat. Bukankah inti utama dari shalat adalah berdoa?"

Selepas kalimat terakhir, sang kiai meninggalkan langgar, dan saya pun teringat doa yang selalu diucapkan seorang muslim saat duduk di antara dua sujud ketika shalat:

Rabbighfirli, warhamni, wajburni, warfa'ni, warzuqni, wahdini, wa'afini, wa'fuanni

Ya Tuhanku, sayangi aku, tutuplah aib-aibku, angkatlah derajatku, berilah aku rezeki, berilah aku petunjuk, sehatkanlah diriku, dan maafkanlah diriku.

0 comments:

Posting Komentar