Lima tahun silam, Jokowi
pernah menjanjikan apabila terpilih menjadi Presiden 2014-2019, tidak akan ada
politik transaksional (Republika, 31 Maret 2014). Kenyataan hari ini justru
berbanding terbalik: pemerintahan Jokowi telah mempraktikkan politik transaksional
secara terang-benderang.
Ada dua argumen yang mendukung
hal ini. Pertama, memberikan jatah kursi kepada para pendukungnya di pemilu
2014. Tidak hanya soal membagi jatah kursi menteri, melainkan juga memberikan
posisi publik yang seharusnya “netral politik” kepada para operator yang turut
memenangkan Jokowi dalam kontestasi pemilu 2014.
Sebut saja pengangkatan
politisi partai NasDem, H.M. Prasetyo, sebagai jaksa agung. Bagi mereka yang
berpikir waras, ditempatkannya seorang politisi – sekalipun memiliki jejak
karier yang mendukung – dalam posisi seperti Jaksa Agung tidak hanya menurunkan
kepercayaan publik terhadap penegakan hukum, melainkan juga potensi tercampur
aduknya kekuasaan eksekutif terhadap kewenangan yudikatif. Tentu saja ini
menjadi preseden buruk bagi Indonesia yang sedang berada dalam tahap
konsolidasi demokrasi.
Realitas lain yang juga
menunjukkan betapa masifnya politik transaksional adalah pemberian jatah kursi
BUMN besar-besaran kepada “relawan” yang dikenal ambisius membela Jokowi. Setidaknya
ada 21 kursi komisaris yang telah dibagi sepanjang tiga tahun pertama
pemerintahan Jokowi (detik.com, 20 Oktober 2017). Apabila Jokowi berkomitmen
pada ucapannya bahwa tidak akan ada politik transaksional, seharusnya posisi
strategis BUMN diberikan kepada para profesional. Alasannya sederhenana saja:
produktivitas badan usaha akan bergantung pada profesionalitas institusi, bukan
untuk mempertahankan loyalitas pendukung dengan memberikan “potongan kue”.
Kedua, ada kesan kuat bahwa
pemerintahan Jokowi dapat melindungi para supporter yang baru saja berpindah
kapal. Sebut saja mantan gubernur NTB, TGB Muhammad Zainul Majdi, yang awalnya
merupakan salah satu pendukung utama Prabowo di pemilu 2014. Secara
mengejutkan, TGB membuat pernyataan terbuka bahwa dirinya mendukung Jokowi
untuk memimpin kembali di periode berikutnya. Pernyataan ini muncul tidak lama
setelah KPK akan memeriksa keterlibatan TGB dalam kasus penyimpangan divestasi
saham PT Newmont. Gelagat yang sama juga terlihat pada saat Hary Tanoesoedibjo
ditetapkan tersangka atas ancaman yang ia lakukan kepada jaksa Yulianto
(detik.com, 17 Juli 2017). Selang waktu yang tidak lama, Hary tiba-tiba
mengubah haluannya menjadi pendukung Jokowi.
Baik apa yang dilakukan Hary
maupun TGB keduanya memiliki kesamaan: mendukung Jokowi setelah tersangkut
masalah hukum. Kelanjutannya pun bisa ditebak bahwa ternyata sampai hari ini
keduanya masih berada dalam posisi yang aman.
Meskipun pembuktian akademik
terhadap politik transaksional sangat sulit, namun pola-pola yang saya sebut di
atas disebut oleh Allen Hicken (2011) sebagai klientelisme. Klientelisme adalah
bentuk relasi pemberian resources dari
patron (penguasa utama) kepada para kliennya dengan timbal balik berupa
dukungan/loyalitas. Mereka yang dulunya mendukung Jokowi habis-habisan,
diberikan resources berupa
jabatan publik. Atau mereka yang memiliki masalah hukum, kemudian memberikan
loyalitasnya kepada penguasa dengan harapan mendapat timbal-balik berupa
perlindungan.
Jokowi: A New
Hope(less) for Democracy
Tidak lama setelah pelantikan
Jokowi sebagai Presiden 2014 – 2019, majalah TIME – yang berbasis di Amerika
Serikat – menerbitkan edisi dengan sampul wajah Jokowi. Judul yang ditulis di
atasnya sangat optimistis: “A
New Hope: Indonesian President Joko Widodo is a Force for Democracy”.
Dengan ambisius, artikel dalam majalah tersebut menggambarkan sosok Jokowi yang humble, serta memiliki
karakter personal yang mendukung kemajuan bagi demokrasi di Indonesia.
Agaknya kita perlu menelan
ludah. Sebab, selain dalam praktiknya pemerintahan demokratis a la Jokowi
diracuni oleh politik transaksional, juga tampaknya pemerintahan Jokowi tidak
segan untuk “menghajar” anasir yang menganggu stabilitas pemerintahannya.
Dengan dalih mempertahankan
demokrasi, pemerintah Jokowi justru ikut membunuh demokrasi secara perlahan.
Professor ANU, Marcus Mietzner (2018), dalam artikel risetnya yang berjudul “Fighting Illiberalism with
Illiberalism” merangkum berbagai tindakan anti-demokrasi Jokowi terhadap
elemen yang dianggap anti-demokrasi.
Pertama, kriminalisasi
tokoh-tokoh aktor penggerak yang tergabung dalam aliansi Gerakan Pengawal Fatwa
MUI (GNPF-MUI). Isu yang diperkarakan pun sama sekali tidak berkaitan langsung
dengan aksi-aksi sebelumnya. Misalnya, [1] pemimpin FPI, Rizieq Shihab
diperkarakan akibat konten pornografi, [2] koordinator GNPF-MUI, Bachtiar Nasir
diperkarakan atas kasus money
laundering yang merupakan kasus di masa lalu, [3] Koordinator Forum
Umat Islam (FUI), Al-Khaththah diperkarakan atas tuduhan pengkhianatan terhadap
negara, serta (4) sekjen FPI, Munarman yang diperkarakan karena keterlibatannya
dalam kasus bom Bali 2002 silam. Hasil di antaranya cukup jelas, Al-Khaththah
di bui dan Rizieq Shihab menghindar dengan pergi ke Arab Saudi.
Kedua, Pemerintah menindak
organisasi yang dianggap bertentangan dengan Pancasila, yaitu membubarkan
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Melalui Perppu Ormas yang seolah buru-buru
diterbitkan, HTI pun dapat dengan mudahnya dicabut hak politiknya. Ketiga,
"memanfaatkan" milisi-milisi yang dianggap pro-Pancasila seperti GP
Anshor untuk menindak berbagai acara yang diselenggarakan oleh kalangan Islam
populis (dalam bayangan pemerintah Jokowi, kalangan Islam populis ini adalah
ekstrimis).
Kembali pada kesimpulan
Mietzner (2018), bahwa tindakan pemerintah Jokowi yang represif justru
mendegradasi konsolidasi demokrasi yang sedang berjalan di Indonesia (democratic deconsolidation).
Senada dengan Mietzner, Thomas
P. Power (2018) bahkan secara tegas menyebut otoritarianisme a la Jokowi
sebagai judul utama dalam artikelnya: “Jokowi’s
authoritarian turn and Indonesia’s Democratic Decline” (Bulletin of Indonesian Economic Studies,
Vol.54, Issue 3). Thomas Power menyebut elemen kunci kemunduran demokrasi era
Jokowi selain “menghajar” para elit oposisi, juga “menghajar” para pendukung
oposisi di tingkat akar rumput.
Saat gerakan bertagar
#2019GantiPresiden mencuat ke publik, secara serta merta pemerintah menganggap
bahwa gerakan tersebut inkonstitusional. Polisi menyita atribut dan
mengintimidasi mereka yang terang-terangan mendukung hastag tersebut. Kegiatan
gerakan #2019GantiPresiden juga dilarang di Serang, Bandung, Pekanbaru,
Surayabaya, Pontianak, Bangka Belitung, dan Palembang. Dalam ranah hukum,
polisi juga menjerat mereka yang menyuarakan #2019GantiPresiden dengan UU ITE
karena dianggap ekstrimis, anti-sistem, dan perbuatan makar serta penghinaan
kepada pemerintah.
Tidak berhenti di sana, bahwa
pemerintahan Jokowi tampak re-politisasi militer dengan menghidupkan kembali
“Dwifungsi ABRI” – sesuatu yang sudah dihapuskan sejak reformasi bergulir.
Misalnya, Jokowi ingin mendistribusikan perwira nonjob di internal TNI ke kementerian.
Wacana ini bahkan akan diatur dan dimasukkan ke dalam revisi UU TNI. Selain
itu, pemerintah Jokowi juga menempatkan TNI layaknya “humas” pemerintah
(Tirto.id, 7 Februari 2019). TNI diminta untuk ikut mensosialisasikan
keberhasilan program pemerintah kepada masyarakat luas. Tentu ini sangat
bermasalah karena berpotensi abuse
of power: militer diperintahkan untuk melakukan tugas di luar tugas
pokoknya.
Lalu pertanyaannya, apakah
Jokowi merupakan harapan baru bagi demokrasi? Jawabannya saya pikir, sama
sekali tidak.
Ramai-Ramai Mendukung Jokowi
Tercatat ada 35 kepala daerah
yang telah menyatakan dirinya mendukung Jokowi untuk kembali menjadi penguasa
periode berikutnya. Tidak hanya kepala daerah, para menteri juga mulai
memamerkan aksi dukungan mereka.
Terlepas dari problem etik,
yang saya khawatirkan, justru mereka yang mendukung Jokowi ini berharap agar
pos kekuasaan mereka tetap aman untuk periode berikutnya. Dan lagi-lagi:
politik transaksional pun akan terulang.
Jadi, saya rasa tidak ada
harapan bahwa konsolidasi demokrasi akan berjalan mulus apabila nanti Jokowi
terpilih dan pemerintahannya masih mempraktikkan hal yang serupa.
0 comments:
Posting Komentar