Senin, 01 April 2019

Merangkul Kawan, Menghajar Lawan, Membunuh Demokrasi

Lima tahun silam, Jokowi pernah menjanjikan apabila terpilih menjadi Presiden 2014-2019, tidak akan ada politik transaksional (Republika, 31 Maret 2014). Kenyataan hari ini justru berbanding terbalik: pemerintahan Jokowi telah mempraktikkan politik transaksional secara terang-benderang.
Ada dua argumen yang mendukung hal ini. Pertama, memberikan jatah kursi kepada para pendukungnya di pemilu 2014. Tidak hanya soal membagi jatah kursi menteri, melainkan juga memberikan posisi publik yang seharusnya “netral politik” kepada para operator yang turut memenangkan Jokowi dalam kontestasi pemilu 2014.
Sebut saja pengangkatan politisi partai NasDem, H.M. Prasetyo, sebagai jaksa agung. Bagi mereka yang berpikir waras, ditempatkannya seorang politisi – sekalipun memiliki jejak karier yang mendukung – dalam posisi seperti Jaksa Agung tidak hanya menurunkan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum, melainkan juga potensi tercampur aduknya kekuasaan eksekutif terhadap kewenangan yudikatif. Tentu saja ini menjadi preseden buruk bagi Indonesia yang sedang berada dalam tahap konsolidasi demokrasi.
Realitas lain yang juga menunjukkan betapa masifnya politik transaksional adalah pemberian jatah kursi BUMN besar-besaran kepada “relawan” yang dikenal ambisius membela Jokowi. Setidaknya ada 21 kursi komisaris yang telah dibagi sepanjang tiga tahun pertama pemerintahan Jokowi (detik.com, 20 Oktober 2017). Apabila Jokowi berkomitmen pada ucapannya bahwa tidak akan ada politik transaksional, seharusnya posisi strategis BUMN diberikan kepada para profesional. Alasannya sederhenana saja: produktivitas badan usaha akan bergantung pada profesionalitas institusi, bukan untuk mempertahankan loyalitas pendukung dengan memberikan “potongan kue”.
Kedua, ada kesan kuat bahwa pemerintahan Jokowi dapat melindungi para supporter yang baru saja berpindah kapal. Sebut saja mantan gubernur NTB, TGB Muhammad Zainul Majdi, yang awalnya merupakan salah satu pendukung utama Prabowo di pemilu 2014. Secara mengejutkan, TGB membuat pernyataan terbuka bahwa dirinya mendukung Jokowi untuk memimpin kembali di periode berikutnya. Pernyataan ini muncul tidak lama setelah KPK akan memeriksa keterlibatan TGB dalam kasus penyimpangan divestasi saham PT Newmont. Gelagat yang sama juga terlihat pada saat Hary Tanoesoedibjo ditetapkan tersangka atas ancaman yang ia lakukan kepada jaksa Yulianto (detik.com, 17 Juli 2017). Selang waktu yang tidak lama, Hary tiba-tiba mengubah haluannya menjadi pendukung Jokowi.
Baik apa yang dilakukan Hary maupun TGB keduanya memiliki kesamaan: mendukung Jokowi setelah tersangkut masalah hukum. Kelanjutannya pun bisa ditebak bahwa ternyata sampai hari ini keduanya masih berada dalam posisi yang aman.
Meskipun pembuktian akademik terhadap politik transaksional sangat sulit, namun pola-pola yang saya sebut di atas disebut oleh Allen Hicken (2011) sebagai klientelisme. Klientelisme adalah bentuk relasi pemberian resources dari patron (penguasa utama) kepada para kliennya dengan timbal balik berupa dukungan/loyalitas. Mereka yang dulunya mendukung Jokowi habis-habisan, diberikan resources berupa jabatan publik. Atau mereka yang memiliki masalah hukum, kemudian memberikan loyalitasnya kepada penguasa dengan harapan mendapat timbal-balik berupa perlindungan.
Jokowi: A New Hope(less) for Democracy
Tidak lama setelah pelantikan Jokowi sebagai Presiden 2014 – 2019, majalah TIME – yang berbasis di Amerika Serikat – menerbitkan edisi dengan sampul wajah Jokowi. Judul yang ditulis di atasnya sangat optimistis: “A New Hope: Indonesian President Joko Widodo is a Force for Democracy”. Dengan ambisius, artikel dalam majalah tersebut menggambarkan sosok Jokowi yang humble, serta memiliki karakter personal yang mendukung kemajuan bagi demokrasi di Indonesia.
Agaknya kita perlu menelan ludah. Sebab, selain dalam praktiknya pemerintahan demokratis a la Jokowi diracuni oleh politik transaksional, juga tampaknya pemerintahan Jokowi tidak segan untuk “menghajar” anasir yang menganggu stabilitas pemerintahannya.
Dengan dalih mempertahankan demokrasi, pemerintah Jokowi justru ikut membunuh demokrasi secara perlahan. Professor ANU, Marcus Mietzner (2018), dalam artikel risetnya yang berjudul “Fighting Illiberalism with Illiberalism” merangkum berbagai tindakan anti-demokrasi Jokowi terhadap elemen yang dianggap anti-demokrasi.
Pertama, kriminalisasi tokoh-tokoh aktor penggerak yang tergabung dalam aliansi Gerakan Pengawal Fatwa MUI (GNPF-MUI). Isu yang diperkarakan pun sama sekali tidak berkaitan langsung dengan aksi-aksi sebelumnya. Misalnya, [1] pemimpin FPI, Rizieq Shihab diperkarakan akibat konten pornografi, [2] koordinator GNPF-MUI, Bachtiar Nasir diperkarakan atas kasus money laundering yang merupakan kasus di masa lalu, [3] Koordinator Forum Umat Islam (FUI), Al-Khaththah diperkarakan atas tuduhan pengkhianatan terhadap negara, serta (4) sekjen FPI, Munarman yang diperkarakan karena keterlibatannya dalam kasus bom Bali 2002 silam. Hasil di antaranya cukup jelas, Al-Khaththah di bui dan Rizieq Shihab menghindar dengan pergi ke Arab Saudi.
Kedua, Pemerintah menindak organisasi yang dianggap bertentangan dengan Pancasila, yaitu membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Melalui Perppu Ormas yang seolah buru-buru diterbitkan, HTI pun dapat dengan mudahnya dicabut hak politiknya. Ketiga, "memanfaatkan" milisi-milisi yang dianggap pro-Pancasila seperti GP Anshor untuk menindak berbagai acara yang diselenggarakan oleh kalangan Islam populis (dalam bayangan pemerintah Jokowi, kalangan Islam populis ini adalah ekstrimis).
Kembali pada kesimpulan Mietzner (2018), bahwa tindakan pemerintah Jokowi yang represif justru mendegradasi konsolidasi demokrasi yang sedang berjalan di Indonesia (democratic deconsolidation).
Senada dengan Mietzner, Thomas P. Power (2018) bahkan secara tegas menyebut otoritarianisme a la Jokowi sebagai judul utama dalam artikelnya: “Jokowi’s authoritarian turn and Indonesia’s Democratic Decline” (Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol.54, Issue 3). Thomas Power menyebut elemen kunci kemunduran demokrasi era Jokowi selain “menghajar” para elit oposisi, juga “menghajar” para pendukung oposisi di tingkat akar rumput.
Saat gerakan bertagar #2019GantiPresiden mencuat ke publik, secara serta merta pemerintah menganggap bahwa gerakan tersebut inkonstitusional. Polisi menyita atribut dan mengintimidasi mereka yang terang-terangan mendukung hastag tersebut. Kegiatan gerakan #2019GantiPresiden juga dilarang di Serang, Bandung, Pekanbaru, Surayabaya, Pontianak, Bangka Belitung, dan Palembang. Dalam ranah hukum, polisi juga menjerat mereka yang menyuarakan #2019GantiPresiden dengan UU ITE karena dianggap ekstrimis, anti-sistem, dan perbuatan makar serta penghinaan kepada pemerintah.
Tidak berhenti di sana, bahwa pemerintahan Jokowi tampak re-politisasi militer dengan menghidupkan kembali “Dwifungsi ABRI” – sesuatu yang sudah dihapuskan sejak reformasi bergulir. Misalnya, Jokowi ingin mendistribusikan perwira nonjob di internal TNI ke kementerian. Wacana ini bahkan akan diatur dan dimasukkan ke dalam revisi UU TNI. Selain itu, pemerintah Jokowi juga menempatkan TNI layaknya “humas” pemerintah (Tirto.id, 7 Februari 2019). TNI diminta untuk ikut mensosialisasikan keberhasilan program pemerintah kepada masyarakat luas. Tentu ini sangat bermasalah karena berpotensi abuse of power: militer diperintahkan untuk melakukan tugas di luar tugas pokoknya.
Lalu pertanyaannya, apakah Jokowi merupakan harapan baru bagi demokrasi? Jawabannya saya pikir, sama sekali tidak.
Ramai-Ramai Mendukung Jokowi
Tercatat ada 35 kepala daerah yang telah menyatakan dirinya mendukung Jokowi untuk kembali menjadi penguasa periode berikutnya. Tidak hanya kepala daerah, para menteri juga mulai memamerkan aksi dukungan mereka.
Terlepas dari problem etik, yang saya khawatirkan, justru mereka yang mendukung Jokowi ini berharap agar pos kekuasaan mereka tetap aman untuk periode berikutnya. Dan lagi-lagi: politik transaksional pun akan terulang.
Jadi, saya rasa tidak ada harapan bahwa konsolidasi demokrasi akan berjalan mulus apabila nanti Jokowi terpilih dan pemerintahannya masih mempraktikkan hal yang serupa.

0 comments:

Posting Komentar