Rabu, 10 April 2019

Enaknya jadi Kandidat Petahana

Menjadi kandidat petahana dalam pemilu itu memang menguntungkan. Sumber daya negara bisa menjadi “fasilitas” yang menyenangkan untuk kepentingan kampanye. Lebih enaknya lagi, hal itu bisa dilakukan tanpa melanggar aturan hukum manapun selama berada dalam wilayah penyelenggaraan pemerintahan dan tidak ada penyelewengan di dalamnya. Walaupun problemnya tentu saja: perilaku demikian sangat berpotensi abuse of power.

Contoh praktik abuse of power untuk mempertahankan kekuasaan yang paling nyata adalah apa yang dilakukan Soeharto sepanjang 32 tahun. Melalui jalur A-B-G (ABRI, Birokrasi, dan Golkar), Soeharto secara masif memanfaatkan angkatan bersenjata untuk mempertahankan stabilitas pemerintahan: militer di keluarkan dari barak, mengisi jabatan-jabatan politik, dan memukul setiap anasir yang mengganggu kursinya. Birokrasi sentralistis yang cenderung melayani kepentingan penguasa, dan birokrat sebagai regulator utama pembangunan Orde Baru. Serta yang tidak kalah penting adalah peran Sekretariat Bersama (Sekber) Golkar sebagai kendaraan politik yang memuluskan Soeharto untuk terus-menerus mempertahankan posisinya.

Dalam konteks pemilu, Golkar adalah organisasi sosial politik (orsospol) yang menaungi ABRI dan pegawai negeri. Para pegawai negeri ini disatukan dalam wadah Korps Pegawai Negeri (Korpri) yang dikekang dalam loyalitas tunggal. Tak ayal, meski pemilu rutin dilakukan, Golkar dan Soeharto terus berkuasa dengan perolehan suara mayoritas. Pemilu di era itu hanya formalitas untuk melegitimasi Soeharto sebagai Presiden.

Meski Orde Baru sudah berlalu, kecenderungan dari mereka yang telah memiliki jabatan publik untuk mempertahankan posisinya masih terlihat. Para kandidat dari kalangan petahana yang memiliki akses terhadap birokrasi, anggaran, termasuk kalangan militer, seringkali offside dalam memanfaatkan berbagai akses tersebut.

Salah satu contohnya adalah tren kenaikan dana bantuan sosial (bansos) di tahun-tahun diselenggarakannya pemilu. Pada kasus pilkada, banyak kandidat kepala daerah petahana yang menggunakan pos APBD untuk memberikan bansos kepada kelompok loyalis kandidat. Pada 2008, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menemukan ada 18 daerah yang sedang melakukan pilkada memiliki anggaran bansos yang lebih besar dari tahun sebelumnya. Anggaran tersebut kemudian turun kembali di tahun-tahun setelah pilkada tidak sedang diselenggarakan.

Pada tingkat nasional, tren peningkatan anggaran untuk bansos juga terjadi di tahun-tahun diselenggarakannya pemilu. Tahun 2009, dana bansos yang dianggarkan sebesar Rp 73,81 triliun, meningkat dari tahun sebelumnya yaitu sebesar Rp 57,74 triliun, dan menurun kembali di tahun setelahnya (tahun 2010) yaitu menjadi Rp 68,61 triliun. Kemudian tahun 2014, anggaran bansos sebesar Rp 97,92 triliun meningkat dari tahun sebelumnya yaitu sebesar Rp 92,14 triliun.

Bahkan tahun ini, tahun diselenggarakannya pemilu, anggaran bansos meningkat sangat fantastis menjadi Rp 103,24 triliun, dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp 77,26 triliun.

Pemerintah boleh berdalih bahwa dana tersebut untuk kepentingan pengentasan kemiskinan. Dan seperti yang saya katakan, hal itu sama sekali tidak melanggar aturan. Meskipun tentu saja fakta bahwa anggaran bansos meningkat di tahun pemilu akan membuat kita “bersuudzan” bahwa kandidat petahana ingin menaikkan citra positifnya di mata masyarakat dengan memberikan bantuan langsung yang terasa manfaatnya.

O ya, kenaikan anggaran bansos untuk tahun 2019 ini berada di era pemerintahan Jokowi, yang juga menjadi kandidat presiden petahana. Ini bisa jadi satu celah bagi kita untuk menduga bahwa kandidat petahana Jokowi memanfaatkan anggaran tersebut untuk menaikkan citra positifnya di mata masyarakat.

Selain anggaran bansos yang dinaikkan, beberapa fakta juga menunjukkan bahwa kandidat Presiden Jokowi juga cukup ambisius untuk memenangi lagi kontestasi pilpres tahun ini. Contohnya TNI diminta untuk mensosialisasikan pencapaian pemerintah kepada masyarakat – sesuatu yang berpotensi keluar dari tupoksi militer. Kemudian mendagri juga meminta para ASN untuk tidak “netral” dan turut mensosialisasikan pencapaian kinerja pemerintah. Jadi, kira-kira kalau kita analogikan, baik TNI maupun ASN ditempatkan layaknya humas pemerintah.

Mereka yang memberikan dukungan diberikan perlindungan oleh pemerintah. Sebaliknya, kalau ada yang resek, ya tinggal dipukul saja. Cukup berikan mereka cap radikal dan mengganggu NKRI sehingga masyarakat memandang apa yang dilakukan pemerintah adalah benar.

Kalau ada yang protes karena menganggap presiden telah memanfaatkan jabatan untuk kampanye, tinggal bilang: "Lho, yang saya lakukan ini untuk kepentingan bangsa dan negara."

Nah, enak kan, jadi kandidat petahana?

0 comments:

Posting Komentar