Hasil hitung cepat (quick count) pemilu legislatif
menunjukkan bahwa perolehan suara PKS pada pemilu 2019 ini mengalami kenaikan
yang cukup signifikan bila dibandingkan dengan hasil pemilu 2014 yang sebesar
6,79%. Menurut hasil hitung cepat Indobarometer, perolehan suara PKS mencapai angka
9,93%. Meski tidak mencapai target 12%, pencapaian ini bahkan jauh melampaui
ekspektasi Fahri Hamzah dan pendaku pengamat politik lainnya yang menganggap
kelahiran GARBI adalah akhir dari PKS.
Sebetulnya kejutan seperti
ini bukan yang pertama kali. Ketika Partai Keadilan (PK) bertransformasi
menjadi PKS guna menyongsong pemilu 2004, perolehan suara PKS bukan hanya
mengejutkan para pengamat eksternal, melainkan juga kalangan kader PKS sendiri.
Pasalnya, peningkatan suara PKS mencapai 700% dari 1,3% (1,4 juta suara) di
pemilu 1999 menjadi 7,2% (8,2 juta suara) di pemilu 2004. Jumlah suara yang
dicapai pun melebihi target perolehan 8 juta suara yang dicanangkan sebelumnya.
Atas pencapaian itu, banyak
kalangan yang memuji PKS. Muhammad Imdadun Rahmat (2008), kader NU sekaligus
penulis buku “Ideologi Politik
PKS”, menyebut PKS sebagai the
rising star karena mampu melesat dengan cepat meski terhitung sebagai
partai baru. Ahmad Norma Permata (2008) dalam disertasinya juga menunjukkan
“rasa kagumnya” terhadap pencapaian PKS, yang menurutnya, padahal kader-kader
PKS tidak memiliki pengalaman sebelumnya dalam politik praktis sampai dengan
reformasi bergulir. Bahkan, dalam konteks pengelolaan keuangan, di saat
partai-partai banyak yang terjerat korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (2017)
dan Indonesia Corruption Watch (2015) justru memuji laporan keuangan PKS
sebagai yang paling transparan dan akuntabel.
Buat saya PKS memang sangat
fenomenal. Selentingan negatif yang terus-menerus menyerang partai ini sama
sekali tidak menurunkan prestasi PKS. Seperti 2004, pada pemilu kali ini PKS
membuat publik kembali terkejut. Apa yang menyebabkan PKS mampu meraih angka
perolehan suara hingga 9%, jauh melampaui banyak prediksi yang ditujukan kepada
partai ini?
Organisasi Partai
yang Mapan: Kekuatan PKS
Fungsi organik partai
adalah agregasi kepentingan. Mereka yang memiliki pandangan dan arah perjuangan
yang sama disatukan dalam wadah yang dijamin haknya oleh konstitusi. Persoalan
utamanya justru banyak partai politik di Indonesia kehilangan orientasi
perjuangannya karena ingin meraih kekuasaan dan dukungan publik
sebanyak-banyaknya. Dalam istilah lain, partai politik telah mengubah
orientasinya dari policy-seeking
menjadi vote-seeking.
Memang ada gejala bahwa PKS mengubah orientasinya
menjadi vote-seeking. Hal
ini terlihat dari narasi PKS yang cenderung lebih moderat pasca 2004, dan lebih
mengakomodasi kepentingan lintas kelompok (catch-all).
Dirk Tomsa (2012) dalam “Moderating
Islamism in Indonesia” menyebut bahwa PKS telah menjadi lebih moderat dan
lebih permisif dalam berkoalisi dengan partai-partai sekuler. Ada kesan bahwa
PKS juga ingin memperluas basis dukungan di luar basis tradisionalnya. Meski
menurut saya, gejala PKS ini lebih cocok dikatakan sebagai usaha partai untuk beradaptasi
di tengah lingkungan yang plural, bukan karena PKS menjadi partai yang
pragmatis.
Saya punya alasan yang kuat mengapa PKS tidak
bisa dikatakan pragmatis meski ada gejala menjadi partai yang moderat. Alasan
ini pula yang kemudian menjadi jawaban mengapa PKS bisa meraih lebih dari 9%
suara berdasar hasil hitung cepat pemilu 2019. Jawabannya adalah: organisasi
partai yang mapan. Sebab, kebanyakan partai yang ingin mendulang suara
sebanyak-banyaknya, justru menanggalkan ideologi perjuangan, dan ini tidak
terjadi dalam kasus PKS.
Dalam kajian ilmu politik, ada istilah yang
menggambarkan proses di mana organisasi partai bergerak menjadi lebih mapan.
Istilah itu disebut sebagai pelembagaan partai (party institutionalization). Huntington
(1968) menyebut pelembagaan partai sebagai proses di mana aturan main partai
mencapai kestabilan dan menjadi nilai bersama. Panebianco (1988) menyebut
pelembagaan partai sebagai cara organisasi untuk mencapai soliditas atau
menjadi solid. Dengan bunyi yang senada, Randall dan Svansand (2002) menyebut
bahwa sebuah partai telah terlembaga (mapan) apabila memiliki empat dimensi
yang sempurna: kesisteman, otonomi pengambilan keputusan, infusi nilai, dan
reifikasi.
Tanpa berpanjang kalam, mari kita analisis
kriteria di atas dalam konteks PKS hari ini.
Pertama,
derajat kesisteman. Kesisteman yang dimaksud di sini adalah rutinitas interaksi
antar anggota yang didasari oleh aturan main yang ada. Aturan main ini yang
kemudian menjadi acuan utama bagi kader PKS. Menurut Firman Noor (2015) dalam
buku “Perpecahan dan Soliditas
Partai Islam di Indonesia”, PKS memiliki prosedur kepemimpinan yang
relatif stabil dalam partai. Badan yang disebut sebagai Majelis Syura meski
sangat sentral dalam pengambilan keputusan, mengutip Firman Noor (2015: 441),
masih menjaga semangat kolektivisme sehingga upaya pengambilan kebijakan yang
bersifat melanggar aturan main jarang ditemukan. Semangat menjaga aturan main
ini juga yang membuat partai ini relatif lebih otonom dalam menentukan arah
gerak dan kebijakan partai.
Kedua, adalah poin plus yang hanya dimiliki
oleh PKS, yaitu infusi nilai. Infusi nilai yang dimaksud adalah keberadaan
identitas kader PKS yang khas. Sudah menjadi rahasia umum bahwa core perjuangan kader PKS
adalah pembinaan kader. Pembinaan kader sebagai metode organisasi berkorelasi
positif terhadap apa yang disebut oleh Steven Levitsky (1999) sebagai “sikap
anggota yang menghargai partainya.” Oleh sebab itu, siapa pun sosok yang
memimpin PKS tidak akan mengubah rasa “kebanggaan” kader PKS terhadap partainya
sendiri. Dalam konteks organisasi partai, PKS sangat unggul soal ini.
Kalau kita bicara mengenai model partai yang
ideal, tentu saja PKS adalah contoh yang sangat tepat. Apabila Gerindra
mengandalkan Prabowo, PDIP mengandalkan Megawati, dan partai NasDem
mengandalkan Surya Paloh, PKS mengandalkan pembinaan kader sebagai basis utama
nilai yang dipegang. Pembinaan kader ini bukan hanya menjadi panduan kader
dalam berorganisasi, melainkan juga menjadi panduan dalam kehidupan mereka
sehari-hari. Oleh sebab itu, kolektivisme selalu didahulukan dibanding
kepentingan pribadi. Coba saja lihat implikasinya. PKS satu-satunya partai yang
konsisten mengumpulkan iuran anggota hingga akar rumput (Didik Suprianto,
2011). Kader-kader PKS rela bekerja untuk kepentingan partai tanpa dibayar
secara memadai (Burhanuddin Muhtadi, 2012). Soliditas organisasi PKS dibangun
karena loyalitas kader yang kuat terhadap nilai yang dianut partai (Imdadun
Rahmat, 2008).
GARBI Hanyalah Angin Lalu: PKS Tetap
akan Eksis
Jelas
sudah bahwa PKS memiliki organisasi partai yang mapan. Dalam kesimpulan
disertasi Firman Noor (2012), dibanding partai lain di Indonesia, PKS adalah
partai yang terlembaga (mapan) paling baik. Saya pun sependapat dengan hal itu,
dengan penjelasan yang telah dipaparkan di atas.
Apabila organisasi PKS adalah kekuatan, maka
munculnya organisasi sempalan seperti GARBI dan mengapa PKS bisa meraih suara
di atas 9% berdasar hasil hitung cepat untuk pemilu 2019 dapat terjelaskan.
Pertama,
clear bagi saya, GARBI
hanyalah angin lalu. Tidak ada sisi menarik dari organisasi ini, sehingga tidak
penting juga membesar-besarkan persoalan ini. Alasan saya yang paling utama
karena faksionalisasi dalam sebuah partai politik adalah sesuatu hal yang
sangat lazim. Dalam lanskap politik Indonesia, semua partai politik pasti
memiliki konflik: di PPP ada kubu Djan Fariz dan kubu Romahurmuziy, di Partai
Golkar ada konflik antara kubu Abu Rizal Bakrie dengan Agung Laksono. Bahkan
perpecahan panjang di tubuh partai Golkar telah melahirkan partai-partai baru
yang menjadi “sempalannya” semisal Partai Gerindra, Partai Hanura, dan Partai
NasDem. Prabowo, Wiranto, dan Surya Paloh berasal dari embrio yang sama.
Masih belum puas? Di partai Hanura ada konflik antara
kubu Oesman Sapta Odang dengan kubu Daryatmo. Di partai Demokrat ada
ketidakpuasan kubu Sahat Saragih terhadap kepemimpinan SBY. Bahkan yang lebih
lawas, Partai Masyumi pernah berkonflik dengan NU yang berujung akhirnya NU
membuat partai sendiri untuk menghadapi pemilu tahun 1955. Hasilnya, semua
partai-partai yang tengah berkonflik tetap saja eksis, dan ini pun berlaku bagi
PKS di mana faksionalisasi ini tidak akan berpengaruh serius terhadap partai.
Alasan berikutnya, sepanjang PKS masih mampu
mempertahankan infusi nilai di antara anggotanya, kemunculan GARBI bukanlah
ancaman serius. Satu-satunya hal yang membuat GARBI ini seolah seperti ancaman
serius adalah kehebohan yang dibuatnya, dan adanya informasi asimetris antara
struktur partai pusat hingga partai di tingkat akar rumput. Meski dibuat
“terguncang”, sepanjang idealisme masih terjaga, meminjam istilah Myron Weiner
(1957), masih adanya toleransi terhadap keberadaan faksi lain, soliditas
organisasi PKS tidak akan terdegradasi. Secara organisasional, mekanisme
resolusi konflik dipegang oleh Badan Penegak Disiplin Organisasi (BPDO), dan
sejauh ini para kader PKS masih menaati hal itu.
Justru yang jadi persoalan adalah organisasi
yang menamakan diri sebagai GARBI ini. Andai mereka menjadikan diri sebagai
partai politik, dan mampu melembagakan dirinya, mungkin GARBI akan menjadi
partai yang eksis dan layak diperhitungkan dalam politik Indonesia. Namun, apabila
GARBI tidak memiliki infusi nilai yang kuat di antara anggota-anggotanya,
terlebih hanya didasar pada kebencian terhadap “kawan lama” yang sifatnya
sangat sementara, saya yakin eksistensi GARBI akan tergerus sendiri seiring
berjalannya waktu. Seperti yang sudah saya jelaskan, sekaligus mengutip Robert
McGuire (1997) dalam “Peronism
without Peron”, infusi nilai memiliki peran utama (causal primary) terhadap kemapanan suatu
partai politik.
Kedua, berkenaan dengan prestasi PKS dalam mencapai
suara di atas 9%, yang kemudian membantah anggapan bahwa PKS akan tenggelam
akibat konflik internal, saya sangat meyakini ini berkorelasi positif dengan
kekuatan organisasi PKS itu sendiri. Logika sederhananya begini: karena PKS
memiliki organisasi yang mapan, alias solid, serta anggota yang memiliki
semangat kolektivisme yang kuat, nilai-nilai perjuangan partai akan lebih mudah
tersampaikan ke masyarakat. Saya yakin program sosial yang diadakan kader PKS
kepada masyarakat sudah hampir tak terhitung jumlahnya.
Selain itu, untuk pemilu 2019 kali ini, PKS
menawarkan janji yang lebih konkret kepada masyarakat dibanding partai lain:
penghapusan pajak sepeda motor dan penghapusan pajak bagi orang yang
berpenghasilan di bawah delapan juta, serta SIM seumur hidup. Karena inilah,
media vice.com melalui rubrik “Review Parpol” memberikan nilai plus kepada PKS
karena bersedia mengajak publik berdebat mengenai program, alih-alih menawarkan
janji manis yang tidak jelas dan tidak terarah.
Namun lagi-lagi, tanpa kekuatan organisasi
partai, program yang debatable
itu akan sulit sampai di logika masyarakat. Program itu tersampaikan tentu saja
berkat kerja keras yang dilakukan kader-kader PKS di level akar rumput dalam
mensosialisasikan janji kampanye partai. Prestasi PKS yang berhasil melewati
angka 9% berdasar hasil hitung cepat, saya yakin bahwa ini adalah implikasi
dari kader militan yang bekerja di lapangan. Mereka inilah yang mempertahankan
nilai bersama yang dibangun oleh organisasi partai, dan hal ini pula yang
menunjukkan bahwa PKS memiliki model organisasi yang patut dicontoh
partai-partai lain.
Dengan demikian, akhirnya PKS membuat
masyarakat terkejut dengan prestasinya yang menurut saya sangat fantastis.
Semua tudingan yang menyebut bahwa PKS akan habis sama sekali tidak terbukti.
Untuk itulah, saya yakin, sedikit demi sedikit
PKS pasti mampu meningkatkan pengaruhnya terhadap politik di Indonesia.
0 comments:
Posting Komentar