Sabtu, 18 Mei 2019

Sampai Kapanpun HTI Tetaplah HTI

Indonesia memiliki corak kebangsaan yang sangat unik. Meski memiliki jumlah penduduk muslim yang dominan, nyatanya identitas dan aliran keislaman yang dianut juga begitu beragam, terlebih-lebih dalam hal partisipasi di kehidupan sosial dan politik.

Ini bisa dilihat akarnya secara historis sejak era kolonial bahwa kecenderungannya justru bukanlah unifikasi umat Islam, melainkan transformasi umat Islam dalam ragam identitas yang berbeda-beda. Kalau kata Irsyad Zamjani (2009) dalam buku Sekularisasi Setengah Hati, salah satu sebab keragaman itu adalah kebutuhan akan eksistensi dari orang-orang nusantara yang baru saja tiba di Indonesia setelah menempa ilmu di wilayah Timur Tengah.

Orang-orang baru ini melihat adanya “ruang kosong” mengenai arah kebangsaan yang membuat mereka mengekspresikannya dalam organisasi dan perkumpulan. Jika kita lihat dalam spektrum yang paling sederhana, ekspresi keislaman itu dapat dilihat dalam dua hal: moderat dan fundamental. Moderat lebih kompromistis terhadap perbedaan, sedangkan fundamental lebih cenderung memaksakan kehendak.

Dulu, ketika Indonesia masih bergumul mencari bentuk, kalangan fundamental menginginkan agar Islam secara formal masuk dalam dasar negara dan konstitusi. Sedangkan kalangan moderat lebih cenderung mencukupkan diri bahwa instrumen tersebut yang penting selaras dengan nilai Islam, tidak perlu dieksplisitkan dengan tegas. Walhasil pilihan kedualah yang “dimenangkan”. Perdebatan selesai, namun ekspresi-ekspresi itu masih belum selesai, bahkan hingga hari ini.

Ekspresi keislaman yang tidak pernah puas dengan konsep kenegaraan Indonesia, salah satunya dicirikan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). HTI bukan hanya tidak terima konsep kenegaraan Indonesia, melainkan juga menganggap seharusnya umat Islam di Indonesia menyatu dengan masyarakat Islam sedunia dengan menegakkan apa yang mereka sebut sebagai Daulah Khilafah. Sebagai bagian dari gerakan transnasional, secara terang-terangan HTI ingin menegakkan Daulah Khilafah di Indonesia. Menurutnya, persoalan seperti kemiskinan, kebodohan, korupsi, kerusakan moral adalah akibat kegagalan sistem sekulerisme. Sistem demokrasi yang dianggap produk sekularisme adalah salah satu yang dikambing hitamkan.

Setidaknya ada dua buku utama yang menjadi pijakan bagi HTI.

Pertama, Nidzamul Islam yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi, Peraturan Hidup dalam Islam, karya pencetus gerakan mereka, Taqiyudin An-Nabhani. Kurang lebih buku ini bercerita tentang lemahnya sistem yang dibangun manusia, sehingga manusia harus mengembalikan semua aturan kehidupan dengan aturan Allah. Sebab itu, manusia tidak berhak membuat aturan, karena itu sama saja menjerumuskan manusia dalam kehancuran.

Aturan Allah yang dimaksud akan terwujud dengan berdirinya sebuah pemerintahan Khilafah. Bahkan, Taqiyudin sendiri menjabarkan secara lebih operasional bagaimana bentuk sistem tersebut dengan membentuk konstitusi negara Khilafah. Jumlahnya mencapai 190 pasal yang mencakup hukum-hukum umum, sistem pemerintahan khalifah, dan struktur kenegaraan. Buku ini yang kemudian menjadi cetak biru (blue print) bagi organisasi Hizbut Tahrir di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Kedua, Manifesto Hizbut Tahrir Indonesia yang diterbitkan 2009. Kurang lebih manifesto ini adalah platform HTI, yang sumber utama pikirannya adalah karya Taqiyudin di atas. Manifesto ini diberi judul, Indonesia, Khilafah dan Penyatuan Kembali Dunia Islam. Manifesto ini memang eksplisit menerangkan bahwa HTI akan memperjuangkan sistem khilafah di Indonesia sebagai upaya untuk menyatukan dunia Islam dalam kekuasaan tunggal. Kalau dibuat vis a vis dengan konstitusi Indonesia, jelas saja bertentangan.

Meski bertentangan, pembubaran sepihak yang dilakukan pemerintah Indonesia juga merupakan langkah yang fatal. Di saat Indonesia sedang berada dalam tahap penguatan demokrasi, justru pemerintah mendegradasi demokrasi dengan bersikap intoleran terhadap perbedaan pikiran. Pemerintah bahkan menetapkan dirinya sebagai penafsir tunggal yang tentu saja ini mirip dengan era otoritarianisme Orde Baru. Selain itu, sikap intoleran pemerintah ini juga ahistoris disebabkan ragam pikiran kelompok Islam bukanlah sebuah ancaman, melainkan hanya ekspresi eksistensial di tengah iklim demokrasi.

Sebuah Logical Fallacy

Masalahnya, masih banyak orang yang menarasikan bahwa agenda penegakan khilafah di Indonesia ini bukan hanya milik HTI semata. Tak lama setelah pembubaran, politisi partai NasDem, Victor Laiskodat menyebut bahwa empat partai; yaitu Gerindra, Demokrat, PKS, dan PAN memiliki agenda tersembunyi untuk mengganti NKRI dengan Khilafah. Tampaknya kesimpulan Victor berakar dari sikap keempat partai tersebut yang membela HTI di parlemen.

Tapi, di antara keempat partai di atas, PKS adalah yang paling kena batunya. Sebab, masih banyak kalangan yang menyebut bahwa sebenarnya agenda tersembunyi yang sedang diperjuangkan PKS adalah menegakkan Khilafah di Indonesia. PKS yang paling konsisten merepresentasikan kepentingan Islam di parlemen selalu dianggap sebagai sarangnya kaum ekstrimis, intoleran, termasuk anggapan bahwa kepentingan eks-HTI berada di belakang PKS. Sialnya, justru banyak juga masyarakat yang mengaminkan hal tersebut.

Menyamakan PKS dengan HTI hanya karena PKS membela HTI saat dibubarkan pemerintah adalah sebuah kecacatan logika (logical fallacy). Ini sama saja termakan perangkap fallacy of dramatic instance (penarikan kesimpulan dari satu-dua kasus untuk mendukung pendapat yang bersifat umum). Oleh sebab itu, ini perlu diluruskan. Setidaknya ada dua bukti kuat yang menunjukkan bahwa PKS berbeda dengan HTI.

Pertama, platform organisasi yang dipakai oleh PKS dan HTI sangat berbeda. Jika di atas saya sebut HTI memiliki dokumen manifesto, PKS memiliki Falsafah Dasar Perjuangan dan Platform Pembangunan (2008) yang disahkan oleh Majelis Pertimbangan Pusat partai. Di platform tersebut, PKS bahkan menyebut salah satu misi yang diemban adalah reformasi sistem politik untuk penguatan demokrasi (hlm.2). Bagaimana mungkin PKS disamakan dengan HTI jika agenda PKS adalah menguatkan demokrasi, sedangkan HTI justu tidak menerimanya?

Platform yang ditawarkan PKS secara teknis selaras dengan konstitusi negara yang ingin memperkuat kelembagaan pemerintah. Jika HTI menyebut bahwa kemiskinan terjadi akibat diterapkannya sistem demokrasi, justru PKS mengedepankan solusi demokratis seperti pemerataan ekonomi dan pembangunan yang berkelanjutan. Bagaimana mungkin partai yang menyebut pada platform-nya keinginan untuk mewujudukan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana UUD Negara Republik Indonesia disamakan dengan HTI?

Memang benar bahwa PKS adalah partai yang cukup kental memperjuangkan norma Islam bagi masyarakat Indonesia. Namun itu bukan berarti bahwa kemudian PKS ingin menegakkan khilafah seperti HTI. Sikap PKS tersebut adalah untuk mewujudkan bangsa yang unggul dengan nilai-nilai kebaikan dari Islam yang tumbuh subur. Dalam platform kebijakan partai, PKS mengakui pluralitas masyarakat Indonesia namun tidak boleh memarginalkan peran Islam. Menurutnya, masa depan demokrasi di Indonesia sangat berpengaruh oleh faktor Islam (hlm.69). Oleh sebab itu, PKS memfokuskan pada kualitas SDM umat Islam yang unggul dengan format perjuangan yang bersifat damai, non-kekerasan, rasional, obyektif, kultural, dan konstitusional (hlm.70).

Lalu jika kita membaca lagi manifesto HTI, yang kita temukan hanyalah bentuk sistem dan struktur negara khilafah dan penjelasan terhadapnya. Dari awal penjelasan, manifesto tersebut sudah mengesampingkan sistem aturan yang dibuat manusia seperti demokrasi.

Kedua, sudah sejak lama PKS menempuh jalan moderat dalam praktiknya sebagai partai Islam. Justifikasi ilmiah juga sudah dilakukan mulai dari studi yang dilakukan Faishal Aminuddin (2010) dalam Reorganisasi Partai Keadilan Sejahtera, Dirk Tomsa (2012) dalam Moderating Islamism in Indonesia, maupun Sunny Tanuwidjaja (2012) dalam PKS in post-reformasi Indonesia. Kesemuanya sepakat bahwa jalan yang ditempuh PKS adalah jalan moderat, bukan hanya secara textbook melainkan juga dalam implementasinya.

Ketika amandemen UUD 1945 bergulir di awal reformasi, PKS yang saat itu bernama PK tidak ikut dalam menggagas ide amandemen dengan Piagam Jakarta. Sebagaimana kita ketahui, Piagam Jakarta mengakui secara formal istilah penerapan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, dan PKS justru tidak menyepakati hal itu. Menurut Ali Said Damanik (2002) dalam Fenomena Partai Keadilan, PKS justru lebih mementingkan substansi dibanding bentuknya. Bahkan PKS menilai bahwa demokrasi tidaklah bertentangan dengan prinsip musyarawah yang berakar dari Islam (Damanik, 2002). Dengan melihat sikap ini, ada kecenderungan bahwa PKS lebih dekat dengan apa yang disebut oleh Asef Bayat (1996) sebagai post-islamisme.

HTI Tetaplah HTI

Dengan dua bukti di atas, HTI sangatlah jelas perbedaannya dengan PKS. Apalagi dengan Gerindra, Demokrat, dan PAN, yang justru partai-partai ini sama sekali tidak ada komitmen membela Islam sebagaimana dituduh Victor. Dengan tidak adanya latar belakang komitmen terhadap kepentingan Islam; pembelaan yang dilakukan Gerindra, Demokrat dan PAN hemat saya hanyalah gimmick belaka untuk menarik simpati massa. Meminjam istilah Andre Krouwel (2012) dalam Party Transformation in European Democracy, apa yang dilakukan ketiga partai tersebut adalah gejala partai lintas kelompok (catch-all party) yang tidak didasari pertimbangan ideologis.

Dan ya, gagasan HTI tidak akan pernah menerima negara Indonesia, dan juga tidak akan menerima demokrasi. Hal ini sudah menjadi ketetapan yang tidak akan pernah berubah. Terlebih-lebih menganggap bahwa sistem politik Islam yang legal-formal hanya bisa diterapkan dengan model negara khilafah. Titik.

Sebagai salah satu ragam ekspresi keislaman, HTI akan tetap menjadi HTI. Ia tidak bisa disama-samakan dengan kelompok-kelompok berbasiskan Islam lainnya. Kita tidak boleh terjebak pada pola pikir hitam-putih dengan melihat kejadian secara parsial dan perlu mengenal karakteristik mereka secara lebih tepat.

0 comments:

Posting Komentar