Minggu, 19 Mei 2019

Cak Nur Tentang Agama dan Politik

Melawan arus utama itu berat. Nurcholish Madjid, yang akrab disapa Cak Nur, telah membuktikannya. Gagasannya tentang pembaruan Islam telah menimbulkan pertentangan sengit dari mereka yang tidak setuju. Tidak sedikit yang menganggap Cak Nur sebagai "musuh di dalam selimut" maupun dituduh munafiqun karena dianggap menghancurkan Islam dari dalam. Jika diibaratkan dengan era Rasulullah Muhammad SAW, kira-kira Cak Nur memiliki status yang sama seperti Abdullah bin Ubay bin Sahlul (gembong munafiqun di kala itu).

Sepertinya semua bermula dari makalah berjudul, "Keharusan Pembaruan Islam dan Masalah Integrasi Umat" yang beliau sajikan pada 2 Januari 1970 silam di hadapan beberapa organisasi Islam. Dalam makalah itu, Cak Nur menampilkan istilah yang cukup sensitif bagi kalangan kelompok Islam: sekularisasi dan liberalisasi. Andai makalah itu disajikan hari ini, bisa-bisa Cak Nur langsung dituduh sesat dan menyesatkan.

Kita memang perlu eksta hati-hati memahami pikiran Cak Nur. Dengan penuh kehati-hatian, kita tentu akan temukan mutiara sesungguhnya yang terkandung di dalamnya. Bahkan menurut saya, tampaknya mutiara pikiran Cak Nur ini masih sangat relevan dengan konteks kekinian. Oleh sebab itu, dengan cara yang sedikit ugal-ugalan, dan pemahaman yang minim, saya ingin mencoba merefleksikan mutiara pemikiran Cak Nur ini dengan keadaan hari ini, terutama yang berkaitan dengan relasi agama dan politik.

Pandangan Soal Sekularisasi

Pertama-tama saya mulai dari pandangan Cak Nur soal sekularisasi. Istilah "sekular" memang perlu didefinisikan dengan hati-hati. Sebab, apabila kita menyebut bahwa sekularisasi itu artinya "proses menuju sekularisme" yang berarti memisahkan antara moralitas masyarakat dengan norma agama, itu bukanlah yang dimaksud oleh Cak Nur. Atau dalam konteks kenegaraan, sekularisme adalah pemisahan antara kehidupan politik (yang di dalamnya termasuk badan kenegaraan) dengan agama.


Gagasan sekularisme di atas memang berasal dari dunia Barat. Sekularisme berasal dari pengalaman negara-negara Eropa yang baru saja melepaskan diri dari keterkungkungan Teokrasi - sebuah model negara yang menjadikan pemimpin politik sebagai representasi dari ajaran Tuhan. Ketika reformasi berlangsung, perlahan-lahan Eropa mengalami modernisasi yang memunculkan masyarakat rasional. Rasionalitas inilah yang kemudian membuat peran agama semakin redup. Filsuf kenamaan Jerman, Juergen Habermas di masa mudanya juga pernah menyebut bahwa modernisasi ini akan membuat agama hanyalah sebagai artefak.

Dalam dunia Islam, pengalaman yang berbeda dari dunia Barat menyebabkan reaksi yang berbeda pula. Saat kekhilafahan Utsmani runtuh dan kemudian Turki menjadi negara republik yang modern, peta politik keislaman dunia berubah drastis. Masyarakat Islam kemudian bertransformasi ke dalam ragam negara kebangsaan (nation state).

Beberapa aktivis muslim menganggap bahwa keadaan inilah yang membuat masyarakat Islam menjadi mundur, bodoh, dan miskin. Sekularisme kemudian menjadi terminologi yang diharamkan mengingat ia adalah produk Barat, dan sekularisme pula yang membuat masyarakat muslim jadi tertindas. Pikiran-pikiran kontra-Barat inilah kemudian terwarisi secara turun-temurun dan tersebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia hingga hari ini.

Dengan konstruk historis itu, sangat wajar dipahami jika kemudian istilah "sekular" yang dibawa Cak Nur menimbulkan pertentangan keras. Bahkan hingga hari ini.

Dalam memahami sekularisasi yang dimaksud Cak Nur, kita tidak bisa melihatnya secara an sich. Ihwal ini, saya perlu mengutip perkataan beliau sendiri dalam makalah yang saya sebut di atas:

"Dengan sekularisasi, tidaklah dimaksudkan dengan sekularisme, sebab, secularism in the name of an ideology, a new closed world view which functions very much like a new religion. Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah setiap bentuk liberating development"

Cak Nur sendiri sudah menegaskan bahwa sekularisasi yang dimaksud tidaklah sama dengan apa yang dipahami di dunia Barat. Sekularisasi yang dimaksudkan adalah liberating development. Pembebasan (liberating) yang dimaksudkan oleh Cak Nur tidak terlepas dari alur kesejarahan Umat Islam yang tidak sanggup membedakan mana yang masuk ke dalam nilai transendental (ukhrawi) dengan nilai temporal (duniawi). Menurut Cak Nur, masih banyak yang menempatkan wilayah yang seharusnya temporal ke dalam transendental.


Umat Islam semestinya menempatkan porsi keduniawian sebagai sesuatu yang duniawi. Sebab, manusia seharusnya bisa bebas menentukan cara dan tindakan yang dilakukan di dunia dalam rangka mencapai perbaikan hidup. Apabila tidak demikian, menurut Cak Nur, umat Islam kehilangan kreativitasnya dalam kehidupan duniawi yang fana. Dalam hal ini, Cak Nur mengatakan: "mereka telah kehilangan semangat ijtihad".

Dalam bahasa yang paling sederhana kira-kira seperti ini: karena urusan duniawi bukan sesuatu yang sakral, manusia semestinya tidak perlu takut untuk mengembangkan wilayah keduniawian mereka untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik. Inilah yang dimaksudkan oleh Cak Nur sebagai liberating dalam konteks sekularisasi. Lebih lanjut lagi, Cak Nur menganggap bahwa semestinya sakralisasi adalah semata-mata untuk Tuhan, bukan kepada yang lain. Sakralisasi selain kepada Tuhan bisa diibaratkan sebagai perbuatan syirik yang dilarang agama.

Sekularisasi inilah yang kemudian menjadi jalan pembaruan Islam bagi Cak Nur. Demi membebaskan umat Islam dari kemandegan, umat Islam semestinya memiliki kebebasan berpikir (intellectual freedom). Umat Islam semestinya tidak perlu takut untuk mengutarakan gagasan "nyeleneh", karena bisa jadi hal itu justru menjadi sesuatu yang benar. Dalam hal ini, Cak Nur menegaskan:

"Seharusnya kita memiliki kemantapan kepercayaan bahwa semua bentuk pikiran dan ide, betapapun anehnya kedengaran di telinga, haruslah mendapatkan jalan untuk dinyatakan. Tidak jarang dari pikiran-pikiran dan ide-ide itu yang umumnya semula dikira salah dan palsu, ternyata kemudian benar."

Mengenai Agama dan Politik


Setelah memahami konsep sekularisasi yang dimaksud Cak Nur, kita akan mendapatkan paham bahwa sebenarnya urusan politik adalah urusan temporal/duniawi. Makanya Cak Nur tidak sepakat dengan formalisasi agama dalam negara, dan menafikan eksistensi negara Islam. Jika kita mendapati bahwa politik adalah urusan duniawi yang tidak semestinya disakralisasi, manusia bisa mengembangkan wilayah ini dengan lebih leluasa.


Apakah dengan demikian Cak Nur menganggap bahwa politik adalah sesuatu yang terpisah dengan agama? Tentu saja tidak. Cak Nur tetap menganggap bahwa agama dan politik itu sesuatu yang tidak terpisah. Kita harus paham bahwa menempatkan urusan politik dalam wilayah duniawi bukan berarti menghilangkan elemen agama dari dalamnya. Sebab sejak awal Cak Nur sudah menegaskan bahwa sekularisasi ini "untuk lebih memantapkan tugas duniawi manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi".

Maksud tidak terpisahnya agama dari politik menurut Cak Nur bukanlah praktik berpolitiknya, melainkan orientasi dari politik itu sendiri. Bagi Cak Nur, seorang muslim dalam bernegara harus berniat dalam rangka mencapai ridha Allah dengan itikad baik guna mencapai tindakan yang tepat. Dalam hal ini, tujuan politik adalah untuk mengatur urusan publik demi tercapainya keadilan. Oleh sebab itulah manusia perlu mengembangkan gagasannya di wilayah politik guna mencari output yang bermanfaat bagi masyarakat luas dalam rangka beribadah kepada Allah SWT.


Setelah muslim menempatkan urusan politik dalam wilayah duniawi (sekularisasi), dalam kacamata Cak Nur, muslim tersebut dapat mengembangkan gagasannya secara bebas (liberal) dengan belajar kepada siapa saja dan di mana saja. Ilustrasinya, apabila sistem demokrasi dapat mencapai taraf hidup manusia yang lebih baik, maka muslim harus mempelajarinya dari siapa pun untuk mencapai bentuk demokrasi yang lebih kokoh.

Inilah konteks dari mantra yang disebut Cak Nur: "Islam Yes, Partai Islam no". Mantra tersebut adalah dekonstruksi bahwa urusan agama harus dibedakan dengan urusan politik. Dengan demikian, kualitas agama seseorang tidak ditentukan oleh apakah seseorang itu tergabung atau memilih partai Islam atau tidak. Melainkan, yang dilihat apakah orientasi seorang muslim tersebut dalam keputusan politiknya adalah untuk mencapai keadilan yang tentu saja diridhai oleh Allah SWT.

Harus dipahami betul bahwa yang terpenting adalah output-nya yang tepat. Sedangkan cara harus dikembangkan secara bebas untuk mendapatkan output yang tepat tersebut.

Konteks Kekinian

Kekhawatiran Cak Nur bahwa umat Islam masih tidak sanggup menentukan secara tegas mana yang temporal dan mana yang sakral masih terbukti hari ini. Kontestasi pemilihan presiden (pilpres) 2019 lalu adalah bukti kuat bahwa masih banyak muslim yang gagap menyikapi urusan politik.


Contohnya kita lihat polarisasi yang terjadi. Bagaimana kemudian banyak ustaz di mimbar-mimbar agama berkhotbah agar umat Islam mendukung calon tertentu. Digunakanlah dalil bahwa Islam itu kaffah (menyeluruh) sehingga urusan pilpres ini adalah urusan Islam. Di satu sisi ini memang benar, bahwa Islam itu ada di setiap urusan makhluk. Masalahnya di sisi lain, dorongan-dorongan tersebut membuat pilpres ini menjadi sakral sehingga terlalu kaku. Hal ini pula yang membuat muslim menjadi tidak punya kebebasan untuk bertindak karena ada kekhawatiran bahwa melenceng dari pilihan sama saja menggadaikan separuh keimanan.

Andai "resep" Cak Nur ini diterapkan, semestinya polarisasi ini tidak perlu terjadi. Sebab semua muslim sama-sama memiliki orientasi untuk mencari jalan keadilan sebagai output dari politik. Dalam rangka mencari jalan itu, terbukalah proses dialog, saling belajar, saling memahami, dan saling mencari titik temu. Dibutuhkan sikap moderat dalam mencari jalan tersebut.

Ada kisah menarik dari Cak Nur. Setelah Cak Nur menyampaikan gagasan "Islam Yes, Partai Islam No", justru Cak Nur melakukan kampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di kala itu. PPP di era Orde Baru adalah hasil unifikasi rezim terhadap partai-partai Islam. Kok, Cak Nur yang sedari awal mendeklarasikan "Partai Islam No" justru berkampanye untuk partai Islam? Bukankah ini sebuah tindakan yang paradoks?

Inilah pentingnya memahami konteks. Seperti yang telah dijelaskan di atas, setiap tindakan dalam urusan duniawi (dalam hal ini politik) haruslah dalam rangka mencapai ridha Allah SWT. Keridhaan itu akan tercapai apabila seorang manusia menjalankan perannya sebagai khalifah di muka bumi sebaik-baiknya guna mencapai taraf hidup yang lebih baik.

Cak Nur, dalam hal ini beralasan bahwa tindakannya tersebut bukan dalam rangka menyelisihi ucapannya sendiri. Cak Nur justru mendukung PPP agar menjadi penyeimbang bagi Golkar yang ketika itu sangat dominan. Sebab itulah orientasi Cak Nur adalah pertimbangan demokratis, agar output yang dihasilkan dapat mendekati keadilan.

Nah, persoalannya, apakah mungkin jika gagasan Cak Nur ini diimplementasikan untuk mencapai model relasi agama dan politik yang lebih baik lagi?

0 comments:

Posting Komentar